November
Eropa sedang memasuki musim dingin hingga matahari pagi tak sampai menembus masuk ke jendela tapi cahayanya cukup membangunkan Kean dari tidurnya tanpa sadar jatuh tertidur disamping ayah nya.
Kean terbangun dengan tubuh terasa kaku dan dingin. Matanya mengerjap, menyadari kalau dirinya masih berada di kamar bersama Sean.
Cahaya abu-abu dari luar jendela memberi tahu bahwa pagi sudah datang, tapi matahari tetap tersembunyi di balik langit musim dingin yang muram.
Udara di dalam kamar terasa dingin menusuk, bahkan napasnya keluar dalam embusan tipis seperti asap. Ia melirik ke arah radiator yang sepertinya tidak menyala dengan baik semalaman.
Kean menatap Sean Yang masih terbaring dengan tenang tak ada pergerakan dari tidurnya apa dia tidak terusik dengan udara dingin ini?
Wajah pria itu masih pucat, tapi napasnya lebih stabil. Keringat dingin di dahinya mengering, dan tubuhnya tak lagi menggigil. Demamnya mulai turun.
Kean berdiri di samping ranjang, menatap ayahnya dalam diam. Rasanya aneh melihat Sean dalam keadaan seperti ini—lemah, tak berdaya, tidak seperti sosok yang dulu selalu terlihat kuat di matanya.
Matanya menyusuri setiap garis di wajah Sean. Ada kerutan di dahinya yang dulu tidak begitu jelas, ada lingkaran hitam samar di bawah matanya.
Kapan terakhir kali ia benar-benar memperhatikan wajah ayahnya?
Kean mengepalkan tangannya. Perasaan itu datang lagi—rasa benci yang bercampur dengan sesuatu yang lain. Sesuatu yang enggan ia akui.
Ia seharusnya tak peduli.
Seharusnya ia bisa pergi begitu saja tanpa melihat ke belakang.Tapi di sini dia, berdiri diam, memperhatikan Sean lebih lama dari yang seharusnya.
Udara dingin kembali menusuk kulitnya, membuatnya tersadar. Kean menghela napas, lalu perlahan mengambil handuk di dahi Sean dan menggantinya dengan yang baru.
Di luar, salju tipis mulai turun, menutupi jendela dengan lapisan putih samar. Dia, akhirnya berdiri, berjalan ke arah kamar mandi, melakukan ritualnya sebelum berangkat bekerja.
Kean menatap pantulan dirinya di cermin. Matanya kosong. Ada sesuatu di dalam dirinya yang terasa lebih berat dari biasanya.
Tapi dia tidak punya waktu untuk itu.
Dia menarik napas panjang, meraih dasi, merapikannya, lalu mengambil mantel dan sarung tangan. berjalan keluar.
Dirinya berjalan, mondar mandir. sibuk sendiri di kamarnya memasukkan berkas berkas yang tergeletak di mana mana—dia memang seperti ini, kalau mengerjakan berkas berkas selalu di simpan begitu saja hingga ada dimana-mana.
Setelah dirasa sudah memasukkan segala yang dibutuhkan, langkahnya kembali kesamping tempat tidur menatap Sean kembali.
Kenapa aku melakukan ini?
Kean memandangi tangannya sendiri—tangan yang semalaman menggenggam lengan ayahnya, tangan yang tadi begitu cemas merawatnya. Tapi hatinya terasa berat.
Dia benci ayahnya.
Seharusnya.
Sean bukan ayah yang baik. Terlalu banyak luka yang Kean simpan karena pria itu. Luka yang tak pernah sembuh, hanya terpendam dalam diam.
Jadi, kenapa semalam ia begitu panik? Kenapa ia merasa takut kehilangan Sean?
Kean mengepalkan tangannya, mencoba mengusir kebingungan yang memenuhi kepalanya. Ia menoleh ke arah Sean lagi. Pria itu tetap terlelap, wajahnya sedikit lebih tenang dibanding semalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
A R S E A N A
Random••• Tentang Arseana yang sudah mati namun menemukan dirinya yang lain masih hidup di dimensi berbeda dengan kisah hidup yang masih sama. Entah kenapa dirinya disini sudah mempunyai anak dan istri, keluarga nya sendiri yang dia pikir hanya impian yan...
