Setelah pembicaraan singkat dan bersalaman terakhir dengan CEO Sparkle itu, Sean buru-buru kembali ke ruang istirahat tempat ia meninggalkan Kean tidur.
Ia menaiki lift pribadi. Rasa tak enak yang muncul sejak ia meninggalkan anaknya tak kunjung reda.
Pintu ruang istirahat dibuka. Lampu ruangan masih menyala temaram, udara lembut dari mesin pendingin masih terasa hangat—semuanya tampak normal.
Tapi kasurnya…
Kosong.
Selimutnya terguling ke bawah. Bantalnya ada yanng masih berlekuk seperti habis dipakai dan satu terjatuh di lantai. Tapi Kean tidak ada.
“Kean?” panggilnya, datarnya suara berubah pelan-pelan jadi retak. “Kean, are you hiding?”
Ia berjalan cepat ke kamar mandi kecil di pojok ruangan. Kosong. Ia memeriksa balik sofa, lemari kecil, bahkan membuka laci yang jelas-jelas terlalu sempit.
Tak ada.
Lima detik kemudian, dadanya mulai panas. Tangannya gemetar ketika ia menyalakan ulang lampu utama ruangan dan memeriksa ulang semuanya. Tak mungkin Kean pergi sendiri.
Dia dalam kondisi tak sehat—mental dan fisik. Dan Sean… Sean sudah cukup kehilangan Kean dalam hidup ini.
Perasaan ini hadir kembali saat ia baru saja kembali ke Paris—Rasa resah yang sama saat ia tidak menemukan Kean di perusahaan dan apartemen nya.
Endingnya dia menemukan tas kerjanya tergeletak di bangku taman sedangkan Kean tidak ada!
Rasa takut yang sama ketika ia lihat jejak sepatu yang mengarah ke tengah danau.
Tidak, tidak Kean. Jangan hari ini.
“Security,” gumamnya panik, merogoh ponsel. “Cek semua kamera lantai Lima puluh. Sekarang juga. Anak saya hilang. Hilang.”
Namun sebelum panggilan tersambung, Sean bergerak satu langkah mundur dan kakinya… menginjak sesuatu.
Sesuatu yang empuk.
Dan bersuara.
“Urgh…” gumam lirih itu muncul bersamaan dengan gerakan tangan yang menyembul dari bawah kasur. Jemari pucat dan panjang milik Kean terlihat mencengkeram kain, seperti zombie bangkit dari tanah kubur.
Sean menunduk cepat.
Dan di sana.
Di bawah kolong kasur, dengan hoodie menutup kepala, satu lengan sebagai bantal, satu kaki terlipat aneh seperti origami gagal—Kean.
Anaknya.
Tertidur.
Dengan napas berat dan kening menempel di karpet seolah-olah itu kasur mewah.
Sean terdiam. Butuh lima detik untuk otaknya mencerna pemandangan itu. Kemudian—
“…Oh for God’s sake.”
Ia nyaris jatuh terduduk di lantai karena lega. Tapi juga… kesal. Ingin menangis. Ingin menertawakan dirinya sendiri. Ingin—memotret ini dan mengirimkannya ke media. “This is what my son thinks is a bed.”
“Kamu menakutiku, Kean,” bisiknya, separuh masih gemetar. “Do you think this is funny?”
Kean tak menjawab. Hanya mendengus kecil dalam tidur, mengerutkan alis dan membalik badan… hingga kepalanya membentur kaki ranjang.
“Ow.”
Sean memejamkan mata. Menahan tawa. Menahan air mata. Dan mungkin sedikit… amarah penuh kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
A R S E A N A
Random••• Tentang Arseana yang sudah mati namun menemukan dirinya yang lain masih hidup di dimensi berbeda dengan kisah hidup yang masih sama. Entah kenapa dirinya disini sudah mempunyai anak dan istri, keluarga nya sendiri yang dia pikir hanya impian yan...
