Sean meletakkan Kean perlahan di tempat tidur. Ia langsung menarik selimut dan mulai melepas hoodie Kean yang basah oleh keringat dan muntah.
Kean bergumam, "Jangan dilepas semua, Ayah... Aku masih punya harga diri..."
Sean terkekeh pelan. "Kau lahir telanjang, Kean. Aku sudah lihat semuanya. Bahkan waktu kau umur dua, kau pernah lari-lari telanjang sambil teriak 'AKU DORAEMON' keliling taman."
"Please... jangan... bahas... itu..."
Ayahnya melilit tubuh atas nya yang polos dengan selimut seperti buritto. Mencium pipinya lagi dan lagi. Apa dia tidak merasa jijik, jujur saja dirinya jijik pada tubuhnya. Kapan terakhir kali ia mandi ia tak ingat, belum lagi tadi ia muntah beberapa kali.
Ya walaupun tidak ada yang menempel tapi bukankah tetap menjijikan.
Sean kembali dengan Hoodie ditangan, melepas selimut yang membungkus tubuh anaknya. Dan memasangkan Hoodie dengan hati-hati seolah takut kukunya tak sengaja menggores tubuh putih itu.
"Pertama-tama aku harus menelpon seorang dokter profesional."
Sean menghubungi seorang dokter untuk datang ke apartemen-Mungkin sekitar lima belas menit lagi dia sampai. Tangannya sibuk mengelus rambut bayinya, dengan wajah khawatir yang kentara.
Napas Kean putus-putus, sedikit terseggal. Dahinya penuh peluh yang bercucuran, matanya mencoba menutup agar ia bisa lupa rasa sakitnya.
Sean melirik arlojinya, sudah lima belas menit. Suara bel itu pasti dia.
Dia membuka pintu dengan cepat, hampir menabrak sisi daun pintu saking paniknya. Seorang pria paruh baya berjas tebal dan membawa tas medis berdiri di ambang pintu, tersenyum tenang meski udara dingin menyergap dari luar.
"Dokter Pierre, terima kasih sudah datang secepat ini," kata Sean sambil mempersilakannya masuk.
"Sama-sama, Tuan Bennet. Di mana pasiennya?"
Sean tidak menjawab langsung. Ia sudah setengah berlari ke arah kamar Kean. "Tadi dia muntah-muntah beberapa kali, dan badannya panas, Bayiku yang malang kesakitan." gumamnya, lalu menoleh ke belakang. "Cepat ke sini, dok!"
Kean masih terbaring di ranjang, tubuhnya setengah ditutupi selimut tebal, pipinya pucat dengan rona kemerahan tak sehat, dan rambut hitamnya masih sedikit lembap.
Sesekali ia menggigil, matanya terbuka setengah, pandangannya mengambang ke langit-langit.
Dokter segera mendekat dan membuka peralatan medisnya. "Tuan muda, bisa dengar suara saya?"
Kean mengangguk pelan, lalu bergumam lemah, "Apa aku akan mati, Jangan-jangan malaikat maut sudah disini. Ayah... Aku tidak ingin mati seperti ini..."
"Perusahaanku bagaimana jika aku tidak ada. Usahaku.. Uangku ayah..."
Sean menutup wajahnya dengan tangan, tertawa tanpa suara. "Anakku yang dramatis ini... Dia tetap CEO bahkan di ambang kematian," Dia memukul kepalanya sendiri. "Apa yang aku bicarakan, bayiku kau tidak akan mati. Aku akan melawan malaikat maut untukmu."
Dokter mulai memeriksa suhu tubuh Kean, mengecek pernapasan, denyut nadi, dan tekanan darah. Wajahnya mulai serius.
"Dia mengalami hipotermia ringan dan kelelahan akut. Saya lihat juga ada tanda-tanda dehidrasi dan tekanan darah rendah. Depresi parah juga yang menjadi penyebab nya-Sudah berapa hari Tuan muda begini?"
Sean duduk di sisi ranjang, jari-jarinya menyelip ke dalam selimut dan menggenggam tangan Kean yang dingin.
"Sejak awal musim dingin dia bekerja seperti kerasukan. Oktober, November, Desember... Tiga bulan lebih dia hampir tak pernah berhenti. Depresi karena masalah keluarga dan perusahaan-Aku pikir dia hanya keras kepala seperti biasa... Aku bodoh."
KAMU SEDANG MEMBACA
A R S E A N A
Random••• Tentang Arseana yang sudah mati namun menemukan dirinya yang lain masih hidup di dimensi berbeda dengan kisah hidup yang masih sama. Entah kenapa dirinya disini sudah mempunyai anak dan istri, keluarga nya sendiri yang dia pikir hanya impian yan...
