CHAP 24 : LOCATION UNKNOWN

523 46 8
                                        

Langit musim semi pagi itu pucat.
Awan bergelayut rendah, dan embun masih menetes dari ranting-ranting pohon birch yang mulai bersemi.

Udara dingin menusuk, tapi di tengah halaman batu yang luas dan sepi itu, seorang anak laki-laki berdiri sendiri, memegang tongkat kayu yang sudah terlalu sering pecah dan diganti.

Sean. Masih di Minggu kelimanya. Luka belum mengering. Tulang rusuk belum pulih. Tapi dia tetap ada di sana.

Tak ada perintah. Tak ada yang menyuruh.

Karena bagi Sean… jika hari ini ia tidak latihan, maka semua yang sudah ia korbankan akan sia-sia. Rasa sakit hanyalah cerita hari kemarin. Hari ini beda lagi tak boleh ia menyerah pada rasa sakit.

Sean tahu saat ia besar nanti saat dirinya sakit tak akan ada musuh yang akan menunggunya sembuh dahulu.

Kakinya pincang. Tapi ia tetap bergerak.

Satu putaran.
Dua puluh ayunan.
Tiga puluh teknik ulang.
Satu gerakan putar yang sama seperti kemarin—gerakan yang membuatnya nyaris mati.

Dan pada ayunan ke-empat puluh dua—

Dunia gelap.

Tubuhnya tumbang dengan sunyi.
Tidak ada jeritan. Tidak ada suara.
Hanya denting pelan tongkat kayu yang jatuh dan berguling di atas batu—
lalu diam.

Matanya menutup.

Salah satu prajurit jaga melihatnya dari menara pengawas. Beberapa detik ia tak percaya. Tak pernah sekali pun bocah itu roboh. Tapi kali ini... ia tidak bangkit.

Alarm pelatihan tidak dibunyikan, tapi semua orang mulai bergerak.

Langkah-langkah prajurit mulai berdatangan. Ada yang lari, ada yang mengangkat kepala dari ruang senjata, ada yang turun dari pohon penjagaan.

Mereka peduli... Sangat.

Dari lantai atas mansion, George Demetrio sedang berdiri di balik tirai jendela. Matanya menatap lurus ke bawah, seperti biasa. Tapi kali ini, ketika ia melihat tubuh Sean tidak bangkit… ketika ia menyadari tak ada gerakan sama sekali dari cucunya—

Sesuatu dalam dirinya berhenti.

Ia tidak berkata sepatah kata pun.
Tidak teriak. Tidak panggil siapa-siapa.

Dia langsung berjalan. Cepat. Terus.
Menuruni tangga batu tanpa suara. Menyusuri lorong dengan langkah panjang. Ketika para prajurit melihatnya lewat, wajah mereka langsung berubah.

George tidak pernah berjalan secepat itu. Tidak pernah menatap lurus seperti itu. Tidak pernah…

Tampak takut.

Ketika ia tiba di halaman, beberapa prajurit sudah berlari ke arah Sean.

“Menjauh,”
Suaranya datar, tapi beratnya seperti langit runtuh.

Dan semua… berhenti.

Ia berjalan melewati mereka. Lututnya menekuk. Ia berlutut—untuk pertama kalinya dalam puluhan tahun.

Semua orang yang melihat itu… terdiam.
Prajurit-prajurit yang biasa bersikap tegas langsung menunduk. Merasa tak pantas untuk melihat adegan di depannya.

Beberapa bahkan tampak ragu—seolah tidak yakin apa yang mereka lihat nyata. Atau Ilusi?

Saat Semua Orang Menahan Napas. Masih menerka-nerka apakah benar seorang Jenderal iblis mereka berlutut?

Sekali lagi..

George sendiri yang berjalan cepat ke arah Sean. Ia berlutut. Mengangkat tubuh cucunya perlahan ke pangkuan. Tangannya tetap mengenakan sarung tangan kulit hitam—tapi kali ini, dia mencabutnya dan menyentuh pipi Sean langsung.

A R S E A N ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang