CHAP 30 : END OF BEGINNING

377 31 4
                                        

Zaman berubah tahun demi tahun terlewat begitu saja. Sekarang sudah masuk zaman kolonial dimana ekspedisi pelayaran eksis dimana-mana.

Zaman juga terus berputar, tahun demi tahun meluncur tanpa henti. Dunia kini berdiri di ambang masa kolonial, ketika pelayaran menjadi nyawa peradaban dan lautan menjadi panggung perebutan kuasa.

Kapal-kapal asing berlayar ke segala arah, membawa bendera, ambisi, sekaligus bayangan gelap penjajahan.

Kapal-kapal Perancis sudah berangkat mengitari bumi bagian Utara, dan kapal-kapal Portugis mengitari bumi bagian selatan. Era-era penjajahan sudah berlangsung begitu lama.

Ada yang menderita ada juga yang bahagia, semuanya terasa seperti nada kehidupan yang naik dan turun.

Sekarang dua insan yang kembali tercipta lagi kedunia. Kembali lagi bertemu dengan pertemuan sederhana di tanah yang dipenuhi bunga tulip dan kincir angin.

Senja di tanah itu hangat, namun sunyinya menusuk. Perwira kolonial muda itu—Sean Matthias van Aardenne menunggang kudanya sendirian, menjauh dari benteng dan hiruk pikuk kota pelabuhan.

Ia terbiasa dengan kesendirian-tak ada lagi keluarga di dekatnya, hanya kehormatan, tugas, dan bayang-bayang perang yang menemaninya.

Langkah kakinya membawanya ke tepian sebuah danau yang tersembunyi di balik rimbun pepohonan.

Permukaan airnya berkilau diterpa cahaya matahari yang condong, seakan memantulkan emas. Dan di sanalah, untuk kedua kalinya dalam hidup yang berbeda, ia terdiam.

Seorang wanita duduk di tepi danau, gaunnya sederhana namun anggun, rambutnya jatuh bebas diterpa angin sore. Jemarinya menyentuh permukaan air, menciptakan riak-riak kecil.

Ia tampak begitu damai, seolah menyatu dengan alam di sekelilingnya.

Sean merasakan sesuatu yang aneh-deja vu yang menggetarkan. Matanya, hati, bahkan seluruh dirinya seakan berteriak:

Aku pernah mengenalnya... entah di mana, entah kapan.

Wanita itu mendongak, menyadari kehadirannya. Senyumnya ramah, tenang, dan dewasa-senyum yang baginya terasa akrab, seolah telah ia rindukan berabad-abad.

“Ya? Kau ingin bertemu denganku?” Tanyanya.

Namun Sean tetap diam. Apakah ia memang ingin bertemu dengannya entah kenapa hatinya terasa sudah menemukan apa yang hilang.

Rasa ini..

Ini kebahagiaan.

"Siapa namamu?" tanyanya lembut.

Sean tersentak mendengar pertanyaan yang familiar yang. entah ia dengar dimana, ia berjalan pelan mendekat. "Namaku Sean, Sean Matthias van Aardenne," jawabnya, suaranya dalam, agak tercekat. "Dan kamu?"

“Alisya, Alisya Thalassa van Velde.” ucap wanita itu, seolah tak ada keraguan di bibirnya.

Nama itu membuat jantung Sean berdegup kencang. Alisya. Lagi. Nama yang sama. Wajah yang sama. Senyum yang sama. Hanya dunia yang berbeda.

Entah kenapa Sean merasa puas karena ada suatu janji yang ia tepati. Apakah ini? Sepertinya iya.

Ia sempat terdiam lama, menahan perasaan yang meluap, sebelum akhirnya berkata lirih, "Sepertinya... aku sudah terlalu lama mencari nama itu."

Alisya tersenyum samar, lalu menepuk tanah di sisinya. "Kalau begitu, duduklah. Kita punya waktu untuk cerita."

Dan sore itu pun berubah menjadi awal dari kisah lain-dua jiwa yang kembali dipertemukan, seolah takdir enggan membiarkan mereka berpisah selamanya.

A R S E A N ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang