CHAP 23 : HELL TRAINING

569 45 3
                                        

Musim semi datang dengan lambat di tanah Rusia. Seolah dunia belum rela melepaskan dingin. Embun pagi masih menggantung di ujung rumput liar yang tumbuh di halaman belakang mansion George Demetrio.

Udara belum sepenuhnya hangat, dan langit masih sering muram. Tapi dari kejauhan, dahan-dahan tua mulai menumbuhkan pucuk hijau muda-tanda bahwa bumi sedang berjuang untuk hidup kembali.

Begitu pula dengan Sean.

Usia lima belas, tubuhnya sudah meninggalkan wujud anak kecil, tapi jiwanya belum pernah diberi ruang untuk tumbuh lembut.

Sejak awal Sean datang, ia telah berlatih-setiap pagi sebelum matahari mengangkat embun, setiap sore sebelum kegelapan menelan suara burung terakhir.

Ia dilatih oleh prajurit-prajurit kakeknya di tempat pelatihan tersembunyi di balik hutan birch yang belum lebat. Mereka memanggilnya "Tuan Muda", tapi melatihnya seperti musuh.

Masuk ke pelatihan bawah tanah dan mencoba berbagai simulasi medan perang. Atau hanya mengurung diri dengan buku-buku di perpustakaan.

Namun pagi itu berbeda.

Sean berdiri di tengah halaman batu yang masih basah. Bajunya tipis, lengannya terbuka, kulitnya menggigil karena embusan angin musim semi yang menusuk tulang. Tapi dia tetap tegak.

Di seberang lapangan, George Demetrio berdiri dengan mantel abu-abu dan sarung tangan kulit. Sorot matanya tetap sama-tak berubah.

"Aku berjanji padamu, bukan?" katanya pelan, tapi tajam. "Hari ini tiga jam. Bersamaku."

Tanpa perintah lanjutan, Sean sudah tahu harus ke mana.

Ia mulai berlari mengelilingi halaman mansion, melintasi jalur tanah yang licin karena embun, menyusuri tepi hutan birch yang masih sunyi. Di punggungnya ada beban besi yang terikat kencang. Di kakinya, sepatu tempur penuh lumpur dan batu.

Tak ada pelatih. Tak ada aba-aba.

Hanya satu suara di kepalanya."Jangan berhenti."

Ia menahan napas ketika menuruni tanjakan tajam, lalu meninju kantung gantung yang tergantung di antara dua pohon, lalu memanjat tali tanpa kaki, hanya tangan.

Tangannya gemetar. Udara menusuk. Tapi setiap ia akan jatuh, ia menggigit lidahnya sendiri dan naik lebih tinggi.

Karena jika ia jatuh... ia tidak akan pernah diangkat lagi.

George melihat Sean di sisi lapangan dengan tangan memegang stopwatch. Mengikuti kemana Sean melangkah dengan tenang seolah memberi Sean ruang.

Ia melihat arlojinya. "Satu jam telah habis.."

Sean cepat-cepat turun. Dengan langkah cepat, menunggu instruksi selanjutnya. Kakeknya berjalan dan meliriknya mungkin kakeknya ingin Sean mengikutinya.

George telah menunggunya di tempat latihan terbuka. Di sana, dua bilah pedang kayu dilempar ke tanah. Sean mengambilnya tanpa bicara. Ia sudah tahu ini bukan sparring.

Ini adalah ujian. Duel.

George menyerang lebih dulu. Gerakannya cepat, seperti kilat yang tak pernah memberi peringatan. Sean menangkis, tapi tubuhnya terpental. Sebelah bahunya terkena hantaman. Ia merunduk, menghindar, menyerang balik, tapi George lebih cepat. Lebih kuat. Lebih tajam.

Mereka seperti dua roh-yang satu berumur panjang dan dingin, yang satu muda tapi menyala.

Setiap benturan pedang menghasilkan suara kayu retak dan tanah terinjak keras. Tubuh Sean mulai berdarah di sisi kanan, tapi ia tidak goyah. Karena bagi Sean, pedang ini bukan senjata.

A R S E A N ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang