CHAP 21 : THE CONVERGENCE

608 47 2
                                        

Pagi Hari.

Angin musim semi menyapu tipis kabut pagi yang melayang di atas ladang lavender liar. Matahari menembus celah awan, tapi sinarnya enggan menyentuh tanah ini—Dartford Hollow, puri keluarga D’Bennet yang hanya dibuka saat The Convergence tiba. Hanya Tiga tahun sekali.

Bangunan itu berdiri di tengah lembah tersembunyi, dikelilingi hutan pinus yang dalam dan sepi. Gerbangnya dari baja hitam, menara-menara menjulang dengan gargoyle yang menganga, dan lambang keluarga—mata tertutup di atas mahkota—menghiasi seluruh dinding. Simbol kekuasaan yang tahu segalanya, tapi memilih diam.

Sean turun dari mobil bersama keluarganya. Hari ini, ia mengenakan mantel wol arang dengan sulaman benang perak di bahunya—first crest, pertanda bahwa ia akhirnya dianggap cukup layak hadir di pertemuan darah bangsawan itu.

Tapi begitu melangkah masuk ke dalam bangunan purba itu... Sean tahu. Tempat ini bukan rumah. Ini sarang.

Di Dalam Aula Agung.

Langit-langit aula tak terlihat saking tingginya. Lilin-lilin raksasa menyala tenang di candelabra besi hitam. Meja berbentuk tapal kuda mengisi ruangan, dengan kursi-kursi tua yang punggungnya berukir lambang masing-masing cabang keluarga.

Pilar-pilar batu membumbung tinggi. Lampu gantung dari kristal kuno menggantung seperti es yang membeku di udara.

Pelayan-pelayan tak berbicara sepatah kata pun, hanya membungkuk dengan wajah seperti ukiran batu. Bau ruangan ini seperti sejarah yang tidak mau dilupakan: lilin tua, kayu ek terbakar, dan... darah yang pernah mengering di karpet perangkap zaman.

Semua tamu sudah datang. Puluhan pria dan wanita duduk di meja panjang dari marmer gelap yang membelah aula. Mereka mengenakan pakaian seperti dari lukisan tua: jas panjang dengan lencana keemasan, pita-pita bangsawan, dan gaun berlapis-lapis renda serta kerah tinggi.

Mereka semua menoleh saat Sean dan keluarganya masuk.
Tidak satu pun tersenyum.

Persis ketika Pintu masuk terbuka kembali. Semuanya berdiri..

Para pria berdiri tegak dengan jas panjang warna gelap, sarung tangan kulit, dan cincin emas tua di jari telunjuk kanan. Para wanita... mengenakan gaun kebesaran seperti era Victoria, lengkap dengan korset dan kerah renda tinggi, wajah mereka tak bersisa ruang untuk senyum.

Tak ada tawa. Tak ada pelukan.
Hanya tatapan. Diam. Penilaian.

Sean berdiri di sisi ayahnya, menggenggam ujung mantel ayahnya dengan tangan kecilnya—tak karena takut, tapi karena suhu ruangan ini begitu dingin, bahkan membekukan napasnya.

Seseorang mengetuk tongkat ke lantai tiga kali.

DUG. DUG. DUG.

“The Bloodline has gathered,” ujar suara berat dari ujung ruangan. Seorang pria tua berdiri, kurus, tinggi, dengan rambut perak panjang yang dikuncir rapi.

Pangeran Magnus, pemimpin tertua cabang utama keluarga D’Bennet, usianya hampir seratus, katanya, tapi matanya masih setajam pisau.

“Anak-anak baru telah hadir. Yang satunya,” dia menoleh pelan, “dari cabang Caelan D’Bennet.”

Sean berpikir siapa itu Caelan, kepalanya berputar membuka buku-buku yang dia simpan di memorinya. Caelan.. Caelan..

Caelan, nama tengah ayahnya sekaligus nama tengah kakeknya. Jadi seperti ini mereka menyebut keluarganya. Cabang Caelan.

Mata-mata bangsawan lainnya menoleh ke arah Sean.

“Namanya?”

“Arseana Milan,” ujar ayahnya.

A R S E A N ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang