Cahaya putih menyilaukan. Bau obat-obatan menusuk hidung. Suara bip mesin monitor berdetak pelan, seirama dengan denyut jantungnya yang masih lemah.
Berapa lama ia tidur?
Rasanya dia tidur lama sekali, dia merasa ada orang yang selalu berbisik di telinganya—Membangunkannya, bahkan suara itu menyanyi seperti menghiburnya—Suara lembutnya berkata ”Merry Christmas, Ken”
Apa Santa Claus datang kepadanya?!
Matanya memang terpejam. Tapi, Kean selalu merasakan ada yang menggenggam tangannya. Mencium wajah nya kadang ia merasa ada air mata yang mengalir ke wajahnya.
Dia harus tahu itu siapa.
Kean membuka mata dengan susah payah. Dadanya terasa sesak, paru-parunya masih berat seolah dipenuhi air. Atau itu hanya ilusinya?
Ketika ia mencoba menggerakkan tangannya, rasa sakit menusuk sekujur tubuhnya. Selang infus terpasang di pergelangan tangannya, masker oksigen menutupi hidung dan mulutnya.
Seseorang duduk di kursi di samping ranjangnya. Tubuhnya membungkuk, kepalanya tertunduk, kedua tangannya saling menggenggam erat.
Kean mengenali sosok itu dalam sekejap.
Sean.
Atau lebih tepatnya-ayahnya.
Saat Kean bergerak sedikit, Sean langsung menegakkan kepalanya. Matanya merah, entah karena kurang tidur atau karena sesuatu yang lain. Ada ekspresi yang jarang Kean lihat di wajah pria itu-ketakutan.
"Kean..." suara Sean serak. "Kau sadar."
Kean menelan ludah. Tenggorokannya terasa kering. Ia ingin berbicara, tapi suaranya hanya keluar sebagai bisikan lemah.
Sean buru-buru mengambil gelas dari meja samping dan menyodorkannya ke bibir Kean. "Minum pelan-pelan."
Kean meneguk sedikit air sebelum kembali bersandar ke bantal. Pandangannya masih buram, tetapi ia bisa melihat bagaimana tangan Sean gemetar saat meletakkan gelas itu kembali.
"Kenapa kau disini...?" Kean akhirnya bertanya, meski suaranya nyaris tak terdengar.
Sean menghela napas panjang. "Terimakasih, sudah bertahan, Kean." Terlihat kentara wajah senang itu.
Kean terdiam.
"Ayah hampir gila saat menemukanmu tenggelam di danau itu ... aku pikir, aku... akan terlambat. Aku takut tuhan membawamu, juga."
Sean menundukkan kepala, kata terakhir yang dia ucapkan, amat lirih seperti untuk dirinya sendiri. Sean menggenggam tangannya erat, seolah mencoba menenangkan diri.
Kean menatap langit-langit. Sesuatu di dadanya terasa berat, bukan hanya karena paru-parunya yang masih lemah, tetapi karena sesuatu yang lebih dalam.
Sean menarik napas panjang sebelum melanjutkan, "Dokter bilang kau bisa selamat karena kau segera dibawa ke sini... kalau terlambat sedikit saja-"
Ia berhenti, seolah tak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Sean diam menunduk menyembunyikan ekspresi nya, kalau bisa ia ingin meraung, menangis(?)
Kean memejamkan mata. Semua ini terasa salah. Ia telah menghabiskan bertahun-tahun membenci pria ini. Tapi sekarang, pria inilah yang menyelamatkannya.
"Kenapa?" tanyanya pelan, suaranya hampir bergetar.
Sean menatapnya, raut wajahnya penuh luka yang tak pernah ia tunjukkan sebelumnya. "Karena kau anakku, Kean. Cinta pertama kami"
Ruangan itu kembali sunyi. Kean tak tahu harus berkata apa. Ia masih ingin membenci pria itu. Tapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa ragu.
KAMU SEDANG MEMBACA
A R S E A N A
Разное••• Tentang Arseana yang sudah mati namun menemukan dirinya yang lain masih hidup di dimensi berbeda dengan kisah hidup yang masih sama. Entah kenapa dirinya disini sudah mempunyai anak dan istri, keluarga nya sendiri yang dia pikir hanya impian yan...
