Best Leader

156 11 0
                                        

Studio kecilnya terasa sunyi malam ini, hanya suara kipas angin dan laptop yang mengisi ruangan. Di layar, Namjoon menonton ulang live streaming Taehyung. Ia terlihat ceria seperti biasa, dengan senyum manis yang membuat ARMY memenuhi kolom komentar dengan kata-kata hangat. Tapi di antara lautan pujian itu, ia menangkap komentar yang berbeda:

"Kenapa dia bertingkah seperti anak kecil? Bukankah dia sudah dewasa?"

"Suaranya aneh. Kenapa dia bicara seperti itu?"

Namjoon menutup laptopnya perlahan, menelan napas berat yang sudah menumpuk di dada. Kata-kata seperti itu mungkin tak mereka sadari, tapi Namjoon membaca semuanya. Dia tahu, bukan tugas seorang leader untuk menanggapi kebencian, tapi setiap komentar negatif seperti duri kecil yang menusuk di tempat yang sama, berulang-ulang.

Di masa-masa awal debut mereka, Namjoon terbiasa membaca komentar buruk hampir setiap hari. Salah satunya terjadi ketika Hoseok menunjukkan sesuatu di ponselnya.

"Namjoon ah, ini maksudnya apa?" Ia menunjuk sebuah komentar dalam bahasa Inggris, wajahnya bingung.

Namjoon membaca cepat, lalu menahan diri agar tidak mengerutkan kening.

"Hoseok itu terlalu, hanya cocok untuk penari latar saja."

Komentar itu menusuknya, tapi Namjoon tahu, ia tidak bisa menunjukkan apa yang sebenarnya ia rasakan. Dia tak mau membuat sahabatnya bersedih.

"Mereka bilang kau menari seperti dewa, Hobi," jawabnya sambil tersenyum.

"Ternyata mereka bisa memuji juga, ya!" Hoseok tertawa, seolah tak ada beban.

Namjoon hanya mengangguk kecil, lega bahwa Hoseok tidak perlu tahu kebenarannya.

Sebagai leader, dirinya harus menjaga mereka dari kebencian dunia luar, bahkan jika itu berarti dia harus menyerap semuanya sendirian. Tapi tidak semua hari semudah itu.

Namjoon masih ingat jelas kejadian saat mereka diundang ke acara B-Free.

Awalnya Namjoon merasa itu adalah kesempatan bagus untuk belajar dan memperkenalkan diri mereka sebagai BTS. Tapi kenyataan jauh dari harapan.

"Kenapa kalian memakai makeup dan berdandan seperti wanita? Apa ini yang kalian sebut hip-hop?" suara tajam B-Free menusuk keheningan ruangan.

Namjoon mencoba menjawab dengan tenang, memilih kata-kata dengan hati-hati. "Kami mencintai musik hip-hop dengan cara kami sendiri, hyung. Setiap orang punya jalan mereka masing-masing."

Tapi ia hanya tertawa kecil, mengejek. "Kalian tidak lebih dari idol biasa. Hip-hop bukan tentang itu."

Namjoon merasa darahnya mendidih, tapi ia menahan diri. Akhirnya, dia hanya diam. Namjoon meletakkan mic perlahan, menolak untuk melanjutkan debat yang sia-sia. Dia keluar dari ruangan itu dengan kepala tertunduk, tapi tekadnya justru semakin kuat. Dari momen itu, dia tahu bahwa cara terbaik untuk menjawab penghinaan bukan dengan kata-kata, tetapi dengan karya. Lagu "Ddaeng" lahir dari pengalaman pahit itu.

Tapi luka-luka itu tidak berhenti di sana. Ketika BTS memulai tur Amerika, Namjoon sering mendengar bisikan di belakang panggung.

"BTS? Mereka itu cuma boyband Korea, kan? Apa yang spesial?"

"Kenapa orang-orang begitu terobsesi dengan mereka? Ini hanya tren sementara."

"Aku dengar mereka bahkan tidak benar-benar bisa bicara bahasa Inggris selain si leader itu."

Namjoon ingin membalas. Dia ingin membuktikan bahwa mereka lebih dari apa yang para pembisik itu pikirkan. Tapi ia tahu itu bukan caranya.

Namjoon memilih untuk diam, karena tugas seorang leader bukanlah melawan setiap hinaan, tapi memastikan bahwa membernya tidak perlu mendengar semua itu.

Namun, tidak semua komentar berasal dari luar. Ada juga ARMY yang mengkritik BTS tanpa mereka sadari.

Saat seorang MC bertanya dalam wawancara, "Apa hal tergila yang pernah dilakukan ARMY?" Namjoon sengaja mengubah terjemahannya menjadi, "Hal paling tidak terlupakan." Baginya, ARMY adalah keluarganya juga, dan tidak ada gunanya menyoroti sisi negatif mereka.

Saat ditanya, "Apa ada ARMY yang pernah menyakitimu?" Namjoon menjawab dengan jujur, "Mungkin aku yang ceroboh. Terkadang aku menyakiti diriku sendiri tanpa sadar." Karena itu kenyataannya. Namjoon sering menyalahkan dirinya sendiri ketika sesuatu tidak berjalan sesuai rencana, bahkan jika itu bukan kesalahannya.

Lalu ada James Corden. Ketika ARMY berseteru dengannya di media sosial, Namjoon tahu ia harus turun tangan. Baginya, menjaga hubungan antara idol dan penggemar sama pentingnya dengan menjaga keharmonisan di dalam grup.

Semua tekanan itu semakin menumpuk, sampai akhirnya Namjoon merasa hampir runtuh. Tapi tepat di saat ia berpikir ia tidak bisa lagi, sebuah email masuk.

Namjoon dinominasikan sebagai Best Leader.

Namjoon membaca email itu dengan perasaan campur aduk. Baginya, penghargaan ini bukan hanya tentang dirinya. Ini tentang mereka semua, tentang bagaimana mereka tumbuh dan saling mendukung selama bertahun-tahun.

Tiga bulan kemudian, Namjoon kembali mendapatkan email lagi, kali ini dirinya mendapat polling terbanyak dalam nominasi. Dia diundang untuk datang.

Dan saat ini, ia berdiri di atas panggung dengan trofi itu di tangannya. Namjoon melihat wajah membernya di barisan depan. Seokjin menangis tanpa malu-malu, sementara Jungkook berteriak bangga, "Itu leader kami!"

"Penghargaan ini bukan untukku," katanya di mikrofon. "Ini untuk keluarga kami—member, ARMY, dan semua orang yang percaya pada kami."

Malam itu, saat semua orang sudah tertidur, Namjoon kembali ke studio kecilnya. Trofi itu ada di meja, bersinar lembut di bawah cahaya lampu. Dia menatap ke luar jendela, mengingat semua perjalanan kami sejauh ini.

"Selama aku masih bisa berdiri," gumamnya, "aku akan terus melindungi mereka." Karena itulah tugas seorang leader—bukan hanya memimpin, tetapi menjadi tempat berlindung bagi mereka yang paling ia cintai, meskipun dunia mencoba menjatuhkannya.

*******

Uri Leader, Kim Namjoon Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang