Senyuman lebar terbentuk di sudut bibir Edgar saat matanya melihat tubuh Alvin yang terjatuh tak bernyawa di samping Aline. Aline, dalam kepanikan yang meluap, berteriak histeris, menggema di sekitar mereka.
Dengan santainya Edgar mengubah posisinya menjadi berjongkok, menyamakan tingginya agar sejajar dengan Aline yang sedang terisak dalam tangisnya. Tangannya terulur, menyentuh dengan lembut dagu Aline, lalu mengelusnya dengan penuh kehangatan.
Senyumannya semakin melebar penuh kepuasan, tatapannya bertemu dengan mata Aline yang kini tampak rapuh dan terperangkap di dalam kesedihan yang dalam.
Edgar mendekat, membuat Aline meringsut mundur karena takut dengan raut wajah yang Edgar tampilkan padanya.
"J-Jangan... b-bunuh gue..." lirih Aline terbata-bata.
Edgar menggelengkan kepalanya dan kembali tersenyum. "Gue nggak bisa membunuh cinta gue sendiri, Aline."
Tangan besarnya terangkat, mengusap lembut air mata Aline yang terus berjatuhan di pelupuk matanya. Melihat Aline yang terus menangis pilu membuat dirinya senang atas kesedihan itu—kesedihan dimana Aline menangisi Alvin, si penghianat yang sekarang tergeletak tidak bernyawa di sampingnya.
"Dendam harus di bayar dengan dendam..." kalimat itu terlontar di mulut Edgar. "Tapi dendam lo ke gue nggak bisa di bayar dengan dendam."
PRANG!!
Suara bantingan pistol yang keras menggema, memecah kesunyian ruangan dengan getaran yang tajam. Dan tidak lama setelahnya, terdengar teriakan histeris yang penuh dengan ketakutan dan ketegangan yang meluncur dari tenggorokan Aline.
Edgar menghirup udara dengan puas, merasakan sensasi yang mendalam. Ia menyukai suara itu—teriakan Aline yang dipenuhi ketakutan, itu memberikan rasa kendali yang luar biasa baginya. Kini, ia merasa kembali berkuasa, seolah-olah seluruh dunia berputar di bawah telapak tangannya, sementara Aline terjebak dalam ketakutan yang ia ciptakan.
"Gue mau hidup tenang, gar... Please... Biarin gue bebas..." lirihnya lemah.
"Tentu, kita bisa tenang bersama."
Aline menggelengkan kepalanya dengan tegas, menolak mentah-mentah kalimat yang keluar dari mulut Edgar. Tidak ada yang bisa meyakinkannya untuk kembali kepada lelaki itu. Edgar, yang selalu memperlakukannya kasar setiap kali ia tidak menurut. Tidak, Aline tidak akan pernah menyerah pada lelaki yang telah menyakitinya, apapun yang terjadi.
Matanya yang berkaca-kaca tetap menatap takut pada wajah Edgar, memperhatikan jejak-jejak darah yang menodai kulit tampannya. Namun, di balik penampilan itu, yang terlihat hanya ketakutan. Saat ini, mereka duduk berhadapan, dalam jarak yang semakin sempit, sementara Aline merasa terpojok—berhadapan dengan seorang monster, yang penuh dengan obsesi dan kebencian yang mendalam.
"AAA!!" Teriakan Aline memecah keheningan, meluncur dari tenggorokannya dengan penuh ketakutan saat tubuh Edgar semakin mendekat, langkahnya tidak terburu-buru, namun pasti.
Tawa Edgar menggema, dingin dan tak berperasaan. Setiap nada tawanya seperti menambah ketegangan di udara. Tangan yang tadi menggenggam pistol kini terulur dengan penuh niat, meraih tangan Aline—tangan yang sudah lama ia hindari. Aline merasakan sentuhan itu—dingin, namun ada semacam kenyamanan dalam genggaman yang tak pernah ia inginkan.
Namun, kenyamanan itu tak bertahan lama. Semakin lama, genggaman tangan Edgar terasa semakin menyakitkan. Seperti cengkraman besi yang tidak bisa dilepaskan. Aline berusaha menarik tangannya, berusaha untuk bebas dari cengkraman itu, tapi tenaga yang dimilikinya jauh dari cukup. Setiap kali ia berusaha melepaskan diri, genggaman itu semakin kuat, seakan menahan seluruh keberaniannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE OBSESSED EX
RomanceObsesi itu mengerikan. Diawasi, dikekang, dan dicintai dengan berlebihan merupakan sebuah penyiksaan di dunia nyata. Segala hal yang dilakukannya untuk terbebas dari jeratan obsesi seorang lelaki gila nyatanya tidak mempan, bahkan merayunya sekalipu...