25

197 27 15
                                    

..

"Rosé?"

Aku mendengar suara yang familiar, tetapi aku tidak bisa membuka mataku.
Rasa sakit yang mengalir di tubuhku tidak tertahankan. Aku meraih sesuatu, tetapi yang kudapatkan bukanlah yang kuharapkan.

Aku menyentuh rumput? Bukankah aku berada di kamar tidurku.

Mengapa aku tiba-tiba ada di luar?

Aku merasakan sentuhan yang familiar di bahuku dan kehadiran seseorang di hadapanku.

Setelah beberapa detik, akhirnya aku bisa membuka mata dan saat aku membukanya, aku merasa seluruh duniaku berhenti.

Jennie. Gadis itu berjongkok di hadapanku dengan sangat khawatir.

Aku merasakan begitu banyak emosi saat ini : Bahagia, rasa takut, cinta.
Tiba-tiba aku merasa air mataku mengancam akan keluar saat melihat Jennie setelah aku berpikir aku tidak akan pernah melihatnya lagi.

"Apa kamu nyata?" Aku mengulurkan tanganku untuk menyentuh pipi gadis bermata kucing itu hanya untuk memastikan bahwa dia nyata dan ini bukan mimpi.

Ini nyata, aku akhirnya kembali.

Gadis yang lebih kecil itu menganggukkan kepalanya sambil masih menatapku dengan bingung.

Aku tidak tahan lagi jadi aku menariknya ke dalam pelukanku sambil memeluknya erat-erat.

"Aku tidak akan pernah melepaskanmu lagi. Tidak akan pernah!"

Jennie mencoba mengangkat dirinya dariku tetapi aku hanya menariknya lebih dekat padaku sambil memeluknya erat-erat.

"Aku tidak akan ke mana-mana."

Aku mendengar dia bergumam di leherku, membuat bulu kudukku berdiri.

"Maafkan aku. Maafkan aku Jennie. Aku tidak ingin pergi. Aku mencoba untuk kembali, aku selalu mencoba setiap harinya. Aku benar-benar melakukannya. Tapi aku tidak bisa. Aku tidak bisa.." Ocehanku terhenti saat Jennie menempelkan bibirnya ke bibirku.

Ciuman itu penuh dengan keputusasaan dan kerinduan.

Gadis yang lebih kecil itu naik ke pangkuanku sambil memegang wajahku di antara kedua tangannya.

Aku menariknya lebih dekat sambil mengusap rambut dan punggungnya.

Jennie menjauh setelah beberapa detik tapi masih menempelkan dahinya di dahiku.

"Jangan pergi lagi tanpa memberitahuku. Kupikir kamu tidak akan pernah kembali!"

Aku meraih wajahnya, masih menempelkan dahi kami satu sama lain dan sambil berusaha mengatur napas.

"Tidak akan. Maafkan aku."

Setelah beberapa detik kami bernapas bersama, Jennie melepaskan tanganku dari wajahnya saat dia sedikit menjaauhkan tubuhnya sehingga aku bisa melihat seluruh wajahnya.

Aku tersenyum saat air mata terus mengalir di wajahku.

Dia terlihat sangat cantik sekarang, aku ingin berteriak.

"Ke mana saja kamu?" Saat aku hendak membuka mulutku dengan kebohongan lain untuk melengkapi daftar panjang kebohongan yang kukatakan pada gadis itu, Jennie mengangkat tangannya menghentikanku bicara.

"Jangan berbohong padaku kali ini...aku tahu kamu tidak sedang liburan."

Liburan?

Ah, sepertinya Rosé yang dulu memberitahunya itu karena jelas mereka sedang bersama saat aku tiba di sini.

Apa mereka sudah bersama sepanjang waktu saat aku tidak disini?
Ledakan amarah ini mungkin tampak gila.

"Aku hanya sibuk sebentar, maaf."

Back To 1998Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang