8

135 25 1
                                    

...

Setengah hari sekolah berlalu dan akhirnya tiba waktu makan siang.

Aku harus terus menurunkan rok Jennie sepanjang hari karena roknya agak terlalu pendek untukku mengingat aku sedikit lebih tinggi darinya.

Aku sudah hafal seluruh sekolah jadi aku tidak perlu seseorang mengantarku ke mana pun.

Saat berada di kantin aku bergabung bersama mereka. Sepertinya Jennie yang pertama kali menyadari sesuatu dariku karena dia menatap mataku sekarang, lalu matanya langsung turun ke kakiku.

Aku melihat ke bawah dan menyadari roknya sedikit terangkat hingga memperlihatkan sekitar pertengahan pahaku.

Aku melihat ke atas dan Jennie masih menatap ke sana, dan dia terus menatap sampai Jisoo melingkarkan lengannya di pinggangnya dan menariknya lebih dekat padanya.

Apakah dia memperhatikanku? Tentu saja tidak, itu tidak masuk akal. Dia sudah bersama Jisoo dan mereka jelas-jelas belahan jiwa dan dia sepertinya tidak menunjukkan ketertarikan padaku. Sungguh tidak penting. Aku tidak tahu mengapa aku memikirkan hal itu.

"Aku lupa memberikan ini padamu pagi ini."

Aku tersadar dari lamunanku saat Lalisa menyodorkan sebuah tas bekal berwarna coklat.

"Apa ini?"

"Kemarin adalah hari roti dan tidak ada dari kita yang tahu di mana kamu tinggal atau nomor teleponmu, jadi aku membawakanmu rotinya hari ini!"

Aku membuka tas itu dan benar saja ada roti di sana. Wah, senang sekali dia membawakan ini untukku. Sejujurnya, kupikir dia tidak begitu menyukaiku.

"Terima kasih, aku sangat suka roti. Ini adalah makanan favoritku di dunia. Aku pencinta roti nomor satu!"

Lalisa hanya tertawa sambil menggelengkan kepalanya.

"Seertinya, kamu harus bertarung dengan Chaeyoung untuk mendapatkan gelar itu!"

Aku hanya tertawa.

Aku tidak melihat ke arah Jennie lagi, karena takut saat melihat matanya.

Setelah beberapa saat setelah gadis-gadis itu berbicara tentang hal-hal acak akhirnya pertanyaan itu diajukan.

"Rosé berikan kami nomor teleponmu agar kami bisa menghubungimu saat kami melakukan kegiatan di luar." Chaeyoung tersenyum sambil mengangkat jenis telepon yang belum pernah kulihat sebelumnya.

Nokia? Ya Tuhan, apakah mereka bisa menghubungiku jika aku memberikan nomor teleponku? Tidak, tidak mungkin.

"Aku tidak punya telepon."

Karena ini masih tahun 90-an jadi itu pasti bisa dipercaya.

Chaeyoung mengerutkan kening, menyingkirkan telepon anehnya yang seperti batu bata itu.

"Baiklah, kalo begitu berikan telepon rumahmu!" Jisoo melirik cepat sambil tersenyum sebelum kembali menatap Jennie dan menyisir rambutnya dengan tangannya.

Apa mereka selalu menunjukkan begitu banyak kemesraan di depan umum? itu benar-benar membuatku mual!

"Telepon rumah juga tidak ada."

"Apa keluargamu hidup di tahun 80-an? Apa kamu sedang disandera?" tanya Lalisa dengan ekspresi bingung di wajahnya.

Aku berharap tanah akan menyerapku sekarang.

"Tidak, kami sebenarnya punya satu.. hanya saja sedang rusak."

Chaeyoung tertawa canggung dan langsung mengalihkan pembicaraan ke sesuatu tentang pergi menonton pertandingan basket.

Aku tidak terlalu memperhatikannya karena sekarang aku sibuk memikirkan cara agar tidak ketahuan oleh orang-orang ini.

Menjelang akhir makan siang, akhirnya aku mulai memperhatikan sekelompok orang di sekitarku dan mendapati Jennie sedang menatapku, masih?

Sudah berapa lama dia melakukan itu?

Aku menoleh ke arah Chaeyoung dan Miyeon agar aku tidak perlu melihat tatapan matanya yang tajam.

Aku berharap dia tidak menatapku sepanjang waktu seperti itu. Itu membuatku gugup dan merasa aneh.

Untuk mengalihkan perhatian, aku menatap Chaeyoung yang sedang menatap Taehyung dengan mata hati yang besar. Dia sedang berbicara tentang pertandingan basketnya yang akan datang.

Kurasa itulah yang dibicarakan Chaeyoung sebelumnya.

Dia menatapnya dengan begitu banyak cinta di matanya, pasti semua orang di meja ini tahu bagaimana perasaannya terhadapnya.

Sekolah akhirnya usai dan hanya Chaeyoung.. Ibuku dan aku yang tersisa.

Kami duduk di tangga tepat di depan sekolah sambil memperhatikan semua orang di sekitar kami berlarian dan berinteraksi satu sama lain.

"Rosé, bolehkah aku memberitahumu sesuatu?"

Aku terdiam sesaat mendengar keseriusan dalam suaranya.

"Ya, tentu saja." Aku mencoba untuk terdengar acuh tak acuh, tetapi aku yakin itu terdengar seperti aku gugup.
Mungkin karena memang begitu.

"Ini mungkin terdengar aneh, tapi aku merasa seperti mengenalmu. Aku tahu kita baru saja bertemu baru-baru ini, tapi aku merasa dekat denganmu. Maaf, itu sangat aneh!" Dia melambaikan tangannya ke udara sambil tertawa canggung atas komentarnya sendiri.

Aku juga tertawa, tetapi yang kurasakan hanyalah kesedihan.

Aku ingin memberitahunya. Aku ingin memberitahunya bahwa dia ibuku, tetapi dia mungkin akan menganggapku aneh dan menjauh.

"Aku mengerti, itu tidak aneh! Aku juga merasa dekat denganmu." Aku tersenyum dan Chaeyoung mendekat dan meletakkan kepalanya di bahuku.

"Mungkinkah kita belahan jiwa? Haha Mungkin kita memang ditakdirkan untuk bertemu."

Aku mendesah menahan keinginan untuk tidak menangis karena akan memalukan menjelaskannya padanya.

"Ya, mungkin."








26 Januari 1998

Hari ini adalah hari yang aneh. Dimulai dengan kami menemukan Rosé tertidur di bangku sekolah dengan kaosnya. Dia bilang dia sedang belajar, tetapi aku tidak percaya padanya. Aku harap dia baik-baik saja.

Aku merasakan ketertarikan padanya dan ingin melindunginya. Apakah itu aneh?

Ngomong-ngomong, Taehyung terasa lebih jauh beberapa hari terakhir ini. Karena dia lebih menghabiskan banyak waktu dengan pacarnya.
Dia memang datang ke rumahku Minggu malam dan kami menonton film, tetapi dia menghabiskan sebagian besar waktunya dengan mengeluh karena harus menjemput Jennie dari rumah Jisoo. Aku berharap dia lebih memperhatikanku.

Aku berharap dia membalas perasaanku.



Chaeyoung

Back To 1998Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang