Bab 63.

697 182 45
                                    

Rakha membuka matanya perlahan, merasakan tubuhnya sedikit lemah. Begitu pandangannya mulai jelas, ia baru teringat dirinya berada di Rumah Sakit.

Namun, yang membuatnya terkejut, Mala tak ada di sana. Ranjang tempat istrinya terbaring sebelumnya kosong, dan hanya ada Rayen yang duduk di sudut ruangan, menatapnya dengan pandangan yang tak bisa diartikan.

"Mala... di mana Mala?" Rakha berusaha bangkit dengan panik, tetapi tubuhnya terasa lemas, dan kepala masih terasa berat.

"Rakh, tenang dulu, lo baru aja bangun..." ujar Rayen, mencoba mendekati sepupunya, menenangkannya.

"Mala mana Ray... mana?!" Rakha mulai histeris, matanya menyapu ruangan seolah berharap Mala muncul dari balik pintu atau tirai.

Rayen menunduk. "Rakh... gue nggak tau gimana cara nyampeinnya. Tapi... Mala udah dibawa pergi."

Rakha terdiam sejenak, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Ia memandang Rayen dengan sorot mata tak percaya. "Apa maksud lo, Ray? Siapa yang bawa pergi Mala?"

Rayen menatap Rakha dengan penuh rasa bersalah. "Alexis..."

"Apa? berani-beraninya dia..." rahang Rakha mengeras, tangannya mengepal.

"Tenang dulu Rakh, denger penjelasan gue!" 

"Ngga Ray gue harus kejar Mala,,," Rayen mencekal tangan Rakha, yang berjalan sempoyongan, berniat mengejar istrinya. 

"Alexis membawa MAla pergi atas persetujuan orang tua kalian!"

"Apa?" Kekecewaan tampak di wajah Rakha. Dia menatap Rayyen penuh kesedihan. "Dan lo nggak coba hentikan mereka Ray?"

"Gue nggak punya pilihan, Rakh. Gue disuruh buat kasih lo obat tidur biar lo nggak ngejar mereka... gue nggak bisa nolak, karena om Leon langsung yang memberi perintah"

"Papa!" Rakha berbisik, suaranya nyaris tak terdengar. Kata-kata itu bagaikan tamparan keras baginya. Rakha terduduk lemas. "sebesar itukah kesalahan gue Ray? sampai harus menjauhkan MAla dari gue? bukankah mereka tahu kalau MAla itu hidup gue!"

"Mereka berpikir ini yang terbaik buat kalian!" RAyen mencoba menjelaskan.  "Mereka ingin lo introspeksi diri. Lo harus belajar mengendalikan emosi lo, terutama rasa cemburu lo yang nggak terkendali. Itu alasan kenapa mereka bawa Mala pergi."

Rakha menggeleng, menolak menerima penjelasan itu. "Ray, gue tahu gue salah, gue tahu gue terlalu emosional... tapi ini cara yang salah!" suaranya bergetar, amarah dan rasa sakit bercampur jadi satu. Air mata menetes di pipi Rakha. "Kebaikan macam apa seperti ini?"

Rayen mendekat, berusaha menenangkan sepupunya. Diapun merasa sedih, dia tahu Rakha akan terpuruk karenanya "Rakh, lo harus sadar, mereka melakukan ini karena peduli sama lo. Om Leon nggak mau lo kehilangan semuanya hanya karena emosi sesaat. Lo hampir menghancurkan hubungan lo dengan Mala, lo bahkan hampir kehilangan istri dan anak lo. Ini kesempatan lo buat berubah."

Rakha terduduk kembali, kedua tangannya mencengkeram rambutnya dengan frustrasi. "Mereka pikir gue bisa berubah tanpa Mala di sisi gue? Gue justru butuh Mala... cuma dia yang bisa bikin gue lebih baik, Ray!" teriak Rakha pebuh emosi.

Rayen menepuk bahunya pelan. "Gue ngerti, Rakh... Sekarang saatnya lo buktikan kalo lo bisa berubah"

Rakha tidak mendengarkan. Dengan kekuatan yang tersisa, ia bangkit dan menatap Rayen dengan tatapan penuh kemarahan. "Gue nggak peduli alasan apapun, Ray. Gue akan cari Mala sampai ketemu, meskipun lo, Alexis, atau siapa pun mencoba menjauhkannya dari gue. Gue akan bawa istri dan anak gue kembali."

"Rakha!!!" teriakan Rayen tak menghentikan langkah Rakha. Dia bertekad akan membawa MAla kembali ke sisinya.

***

Rakha mengendarai motornya tanpa arah. Segala cara telah dia lakukan untuk melacak keberadaan istrinya, kemana Alexis membawanya pergi tapi nihil. Tak ada jejak sedikitpun. Dia mencoba menghubungi orang tua dan orang tua Mala bahkan sampai memohon. Tapi mereka memberi jawban yang sama.

"MAaf kami tak bisa memberitahu!"

Rakha mulai frustasi, dia tak tahu harus bagaiamana saat ini. Dia merasa hancur dan rapuh "ARGHH"

***

Di tempat lain. Di suatu tempat.

Mala terbangun, matanya terbuka perlahan, merasakan udara dingin dan dinding-dinding asing di sekelilingnya. Ia menatap sekeliling, kebingungan, hingga akhirnya melihat sosok pria berdiri di hadapannya. "Rakha?"

Namun, ketika sosok itu mendekat, Mala tersentak—bukan Rakha yang berdiri di sana, melainkan Alexis.

"Kak Al?" tanyanya heran. "Di mana ini? Rakha mana?"

Alexis menunduk, . "Maaf, La," ucapnya pelan. "Kami harus membawamu pergi menjauh dari Rakha."

Mala menggeleng, tak percaya dengan apa yang didengarnya. "Apa maksud Kakak? Kenapa aku harus menjauh darinya?"

"Ini semua untuk kebaikan kalian terutama anak kamu, La. Rakha perlu waktu untuk belajar mengendalikan emosinya. Kami hanya ingin yang terbaik untuk kalian!"

"Kami?" MAla menatap Alexis meminta jawaban.

"Ya! semua ini keputusan orang tua kalian? Mereka ingin Rakha menyadari kesalahannya dan menjadi lebih baik sebelum kembali bersamamu. Ini demi keselamatan dan kebahagiaan kalian."

Mala menggeleng lagi, air matanya mulai menetes. "Kenapa Kak! Rakha... memang sempat khilaf, tapi aku yakin dia pasti bisa berubah!"

"Coba ingat! berapa kali kecemburuannya hampir melukaimu! dan dia tak pernah belajar! sampai kalian hampir kehilangan buah hati kalian untuk kedua kali!"

"Tapi itu karena kesalahanku kak!"

"Ngga La! keputusan ini sudah bulat dan aku tak bisa melawan!" Alexis terdiam sejenak. "Aku tahu ini berat, tapi percayalah... ini hanya sementara. Sampai Rakha siap dan benar-benar memahami pentingnya mengendalikan dirinya."

Mala menunduk, merasakan kesedihan yang semakin dalam. Meski bagian dari dirinya paham maksud mereka, ia tak bisa menerima kenyataan harus jauh dari suaminya, terutama saat ia sangat membutuhkan dukungannya.

Ia kembali  menatap Alexis dengan mata yang penuh rasa sakit, seolah-olah semua kekuatannya tergerus oleh kenyataan pahit ini. Ia tahu betul bahwa keputusan ini akan membuat Rakha hancur, dan di dalam hatinya, ia merasa seolah-olah ia telah mengkhianatinya. Namun, apa yang bisa ia lakukan? Semua atas Permintaan orang tua dan mertuanya, dan Mala tak bisa melawan mereka.

"Rakha pasti hancur sekarang..." bisiknya, suara seraknya hampir tak terdengar. "Selama ini, cuma aku yang bisa nenangin dia. Aku nggak bisa tinggalkan dia, Kak Al. Aku nggak bisa."

Alexis menghela napas, merasakan betapa berat beban yang dipikul oleh Mala. "Aku tahu, La... aku tahu ini berat buat kamu. Tapi kamu harus percaya, Rakha butuh waktu untuk berubah"

Mala menunduk, mengusap air mata yang mulai mengalir di pipinya. "Aku tahu... tak ada yang bisa aku lakukan saat ini kecuali berdoa supaya dia baik-baik saj adan nggak melakukan hal bodoh" 

Dengan suara lirih Mala melanjutkan, "Maafin aku, Kha... Aku nggak ingin jauh darimu, tapi aku harus."

Mala menatap ke arah jendela, dia disarankan untuk bedrest sampai kondisinya dan bayi dalam kandungannya pulih. MAla tahu dia pati tak akan mudah menghubungi Rakha, bahkan mungkin tak akan diberi kesempatan untuk menghubunginya sama sekali sampai masa hukuman ini berakhir.

ALexis menatap MAla dengan iba," Aku tahu ini sakit, tapi dia harus belajar dari kesalahannya dan tak mengulanginya lagi suatu hari nanti, dan lagi masih ada satu tugas yang harus aku kerjakan!" Alexis berbalik, dia memilih membiarkan MAla sendiri saat ini.



***Happy Reading***

JAngan lupa tinggalkan jejak


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 18 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

'MALA'ikat Tak BersayapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang