Cerita

177 34 5
                                    

Ahyeon melangkah keluar dari kamar dengan langkah lemas, rasa perih di dadanya belum sepenuhnya reda. Pandangannya tertuju ke arah dapur, di mana Pharita sedang berdiri sambil menyiapkan sarapan sederhana. Pharita menoleh ketika mendengar langkah Ahyeon, tersenyum lembut meski dalam hatinya terenyuh melihat kondisinya.

"Selamat pagi, Ahyeon," sapa Pharita sambil menunjuk kursi di meja makan. "Kamu semalam nggak tidur? Duduk sini, sarapan dulu."

Ahyeon hanya tersenyum kecil dan mengangguk pelan, suaranya hilang dalam tenggorokannya. Pharita memperhatikan wajah Ahyeon yang sembab, mata bengkaknya yang tak bisa disembunyikan meski Ahyeon berusaha tampak tenang.

Pharita meletakkan secangkir teh hangat di depan Ahyeon dan duduk di seberangnya. "Aku nggak tahu persis apa yang terjadi, tapi kalau kamu mau cerita, aku di sini buat dengerin cerita kamu," ucap Pharita, nadanya penuh kehangatan dan pengertian.

Ahyeon menatap cangkir teh di tangannya, menghela napas panjang. "Aku... aku nggak tahu harus mulai dari mana, unnie. Rasanya semua ini cuma mimpi buruk."

Air mata kembali menggenang di mata Ahyeon, tapi ia menahannya sekuat tenaga. Pharita meletakkan tangannya di atas tangan Ahyeon, memberikan sentuhan yang menenangkan.

"Tenangkan diri kamu dulu ya" ujar Pharita lembut.

.

.

.

Di sisi lain, di apartemen Ahyeon, Rora baru saja tiba dengan membawa sarapan. Dengan harapan bisa memperbaiki suasana dan menebus kesalahan karena tidak mengangkat panggilan Ahyeon semalam, Rora memutuskan untuk datang lebih awal. Namun, begitu masuk ke apartemen, ia mendapati ruangan itu sepi, tidak ada tanda-tanda keberadaan Ahyeon.

"Aneh... ke mana dia pagi-pagi begini?" gumam Rora. Di kepalanya, ia berpikir Ahyeon mungkin punya jadwal yang harus dihadiri, mengingat kesibukan mereka berdua yang sering kali tidak terduga. Namun, kekhawatiran kecil mulai muncul di hatinya.

Setelah beberapa saat menunggu di apartemen Ahyeon, Rora akhirnya memutuskan untuk meninggalkan sarapan yang dibawanya di meja makan dengan sebuah catatan kecil.

Untuk Ahyeonku, sarapan ini buat kamu. Maaf kalau aku gak angkat telpon kamu kemarin. Sebagai gantinya ayo kita pergi kencan.
Aku sayang kamu❤️

Rora menulis catatan itu dengan tulus, berharap Ahyeon bisa membacanya. Dia menggenggam catatan itu sebentar sebelum meletakkannya di sebelah makanannya, berharap pesan kecil itu bisa sedikit menenangkan hati Ahyeon. Setelah itu, Rora keluar dari apartemen dengan perasaan gundah, meskipun ia berusaha yakin bahwa semuanya bisa diselesaikan.

Sementara itu, Pharita menghabiskan sarapan bersama Ahyeon dengan suasana tenang. Pharita berusaha menjaga percakapan tetap ringan, tidak ingin menambah beban di pikiran Ahyeon. Setelah beberapa saat, Ahyeon mulai merasa sedikit lebih nyaman, meski perasaan sedihnya masih membayang.

"Aku nggak tahu apa yang akan terjadi ke depannya, tapi terima kasih, unnie," ucap Ahyeon pelan. "Aku benar-benar menghargai apa yang kamu lakukan untukku."

Pharita tersenyum lembut, menahan rasa dalam hatinya. "Sama-sama Ahyeon."

———

Di taman belakang mansion Pharita yang sejuk dan hijau, Ahyeon dan Pharita duduk berdua di bangku panjang, menikmati ketenangan pagi. Kicauan burung dan desiran angin menambah suasana damai, membantu Ahyeon untuk sedikit melepas beban yang menekan dadanya.

"Unnie, bolehkah aku bercerita?."

Pharita menoleh kearah Ahyeon "Tentu saja, aku siap menjadi pendengarmu."

Ahyeon menghela napas panjang sebelum mulai bercerita. "Unnie, waktu itu... malam itu, aku mengunjungi apartemen Rora. Aku cuma mau mengecek keadaannya, mau memastikan dia baik-baik aja... tapi saat aku disana, aku lihat Rora tidur di sofa... bersama Asa. Asa memeluk Rora. Aku gatau apa yang mereka lakukan sebelumnya. Dan bagaimana bisa Rora membiarkan orang lain menyentuhnya" Ahyeon berkata dengan suara serak, mencoba mengendalikan emosinya.

Pharita mendengarkan dengan wajah tenang, meski dalam hatinya ada gejolak amarah yang dia pendam. Ia tak habis pikir bagaimana Rora bisa membuat Ahyeon, gadis yang selalu tersenyum cerah, kini terlihat begitu rapuh dan terluka.

Melihat Ahyeon kembali terisak pelan, Pharita menarik Ahyeon ke dalam pelukannya. "Aku di sini, Ahyeon. Aku ngerti betapa sakitnya perasaan kamu sekarang. Kamu nggak perlu buru-buru pulang atau menghadapi semua ini sendirian. Kamu bisa tinggal di sini sampai kamu merasa lebih baik, oke?"

Ahyeon memejamkan matanya, membiarkan air matanya tumpah di pelukan Pharita. Kehangatan dan ketulusan yang ia rasakan dari Pharita memberinya sedikit rasa lega, seolah seluruh perasaannya yang hancur perlahan bisa dirangkai kembali. Ia memeluk balik Pharita dengan lembut.

"Terima kasih, unnie... Aku bener-bener bersyukur punya kamu di sini," bisik Ahyeon pelan.

Pharita tersenyum lembut, menenangkan Ahyeon dengan mengusap punggungnya. "Kamu nggak perlu terima kasih, Ahyeon. Aku cuma pengen kamu bahagia lagi. Dan kalau kamu butuh waktu buat jaga jarak, buat mikirin semua ini, aku akan selalu ada di sini."

Ahyeon mengangguk kecil di pelukan Pharita, merasa sedikit lebih kuat dengan kehadirannya. Meski masih ada rasa sakit di hatinya, kehangatan Pharita memberinya harapan bahwa mungkin, suatu hari nanti, dia bisa kembali berdiri tegak.

———

Siang itu, Pharita berdiri di depan cermin besar di kamarnya, mengambil napas dalam dan menguatkan hatinya. Setelah malam panjang yang penuh emosi bersama Ahyeon, dia memutuskan untuk bergerak cepat. Memastikan Ahyeon baik-baik saja.

Dia berjalan keluar kamar dan melihat Ahyeon duduk termenung di ruang tamu, masih terlihat lelah dan kehilangan semangat. Pharita mengusap lembut pundak Ahyeon, memberikan senyuman menenangkan. "Aku ada janji sebentar. Aku harus keluar sekarang, Ahyeon. Kamu bakal baik-baik aja, kan?"

Ahyeon tersenyum kecil dan mengangguk. "Iya, unnie. Aku akan baik-baik aja. Kamu nggak usah khawatir."

Setelah memastikan Ahyeon nyaman dan tenang, Pharita pun bergegas keluar dan masuk ke mobil yang sudah menunggunya. Begitu pintu mobil tertutup, ekspresi wajahnya berubah serius. Di dalam perjalanan, Pharita membuka email di ponselnya dan mulai membaca email yang masuk dari orang kepercayaannya.

Isi email itu menguraikan detail tentang pertemuan Rora dan Asa malam itu. Email tersebut berisi foto-foto yang menunjukkan Asa mengantar Rora pulang setelah perayaan hingga mereka yang tertidur di sofa, Pharita tahu itu sudah cukup untuk membuat Ahyeon merasa tersakiti.

Dengan penuh tekad, Pharita menginstruksikan sopirnya menuju gedung BM Entertainment. Saat tiba disana, ia turun dari mobil, wajahnya penuh dengan emosi yang tertahan dan dingin, menyiratkan bahwa ia tidak berada di sana untuk urusan biasa. Dia berjalan masuk ke lobi, menegakkan badan dan mengambil tempat duduk di sudut yang agak sepi namun strategis untuk mengamati setiap orang yang masuk.

Pharita menunggu dengan sabar sambil sesekali melirik layar ponselnya, memeriksa notifikasi dengan serius. Dia tahu Rora sedang memiliki jadwal di agensinya siang ini, dan dia berniat untuk menemuinya langsung. Tatapan Pharita yang tajam dan wajah dinginnya, membuat orang yang melihatnya merasa takut.

.

.

.

Semangat Rora hadepin Pharita nya hehe
Eh tapi seriusan kalau Pharita lagi mode serius banget sama tatapan matanya, auranya bikin orang takut


Tbc

ArtistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang