Matahari sudah tinggi ketika Ahyeon bangun. Dia mendapati dirinya masih terbaring di ranjang kamarnya, dengan selimut yang disampirkan rapi di tubuhnya. Samar-samar dia mendengar suara dari dapur. Ahyeon menghela napas panjang, berusaha mengumpulkan kekuatan sebelum berdiri dan berjalan ke arah suara tersebut.Pharita sedang memasak, mengenakan apron sederhana, rambutnya diikat ke belakang. Dia tampak tenang, namun ada kekhawatiran yang terlihat jelas di wajahnya saat Ahyeon masuk.
"Pagi," sapa Pharita sambil menoleh.
Ahyeon tersenyum tipis. "Pagi. Unnie masak apa?"
"Pancake sama omelet. Aku pikir kamu butuh sarapan enak hari ini," jawab Pharita sambil menyodorkan secangkir teh ke arah Ahyeon.
Ahyeon mengambil cangkir itu, menghirup aromanya sebelum berkata, "Makasih, unnie. Unnie selalu perhatian."
"Of course. Kalau bukan aku, siapa lagi?" Pharita menjawab dengan nada menggoda, berusaha mencairkan suasana.
Mereka duduk bersama di meja makan, menikmati sarapan dalam keheningan yang nyaman. Pharita sengaja tidak memulai pembicaraan berat, memberi Ahyeon ruang untuk berbicara jika dia mau.
Setelah beberapa saat, Ahyeon akhirnya berkata, "unnie, aku masih belum tahu harus ngapain."
Pharita meletakkan garpunya, menatap Ahyeon dengan penuh perhatian. "Kamu nggak perlu buru-buru, Ahyeon. Semua ini nggak mudah, dan aku paham. Tapi yang penting, jangan terlalu keras sama dirimu sendiri."
Ahyeon mengangguk pelan. "Aku takut. Takut bikin keputusan yang salah. Takut kalau aku balik ke Rora, rasa sakit ini bakal muncul lagi."
Pharita meraih tangan Ahyeon di atas meja, menggenggamnya dengan lembut. "Kamu nggak sendirian, Ahyeon. Aku di sini buat kamu, apa pun yang kamu butuhkan. Jangan ragu buat bilang."
Ahyeon tersenyum kecil, matanya sedikit berkaca-kaca. "Makasih, Riri unnie. Aku nggak tahu apa jadinya kalau kamu nggak ada."
Di sisi lain kota, Rora duduk sendirian di apartemennya. Sisa kopi di cangkirnya sudah dingin, tapi dia tidak peduli. Di meja di depannya, ada ponsel yang terus dia pandangi.
Dia sudah mencoba menghubungi Ahyeon berkali-kali selama beberapa minggu terakhir, tapi hasilnya nihil. Pesannya tidak dibalas, panggilannya tidak dijawab. Ahyeon benar-benar menghilang dari hidupnya, dan itu menyiksa Rora setiap harinya.
"Aku harus ngomong sama dia... aku harus jelasin semuanya," gumam Rora pada dirinya sendiri. Tapi bahkan dia tahu, kata-kata saja tidak cukup.
Pikirannya melayang ke malam ketika dia mabuk bersama Asa. Rasa bersalah masih menghantuinya. Dia tahu itu bukan sepenuhnya salah Asa, tapi dia juga tidak bisa memaafkan dirinya sendiri karena membiarkan situasi itu terjadi.
"Ahyeon, aku benar-benar merindukanmu," bisik Rora pelan, air mata mulai mengalir di pipinya.
Sementara itu, Pharita duduk di ruang tamunya, memandangi Ahyeon yang sedang sibuk membaca buku di sofa. Pharita tidak bisa menahan senyum kecil yang muncul di wajahnya.
Dia tahu perasaannya pada Ahyeon semakin tumbuh. Setiap hari yang dia habiskan bersama gadis itu hanya membuatnya semakin yakin bahwa dia ingin menjadi seseorang yang Ahyeon bisa andalkan, bukan hanya sebagai teman, tapi juga sesuatu yang lebih.
Namun, Pharita juga sadar bahwa hati Ahyeon masih untuk Rora. Meskipun Ahyeon tidak pernah mengatakannya dengan jelas, Pharita bisa melihat itu di setiap tatapan kosong Ahyeon, di setiap helaan napas panjangnya.
"Unnie, kamu melamun?" suara Ahyeon membuyarkan pikirannya.
Pharita tertawa kecil, berusaha menutupi perasaannya. "Nggak kok. Aku cuma mikirin apa kita perlu pergi keluar hari ini. Udara segar bakal bagus buat kamu."

KAMU SEDANG MEMBACA
Artist
RomanceRora, aktris muda yang membintangi drama-drama populer dan film yang sukses secara komersial. Karismanya di layar, ditambah dengan kemampuan akting yang mendalam, membuatnya disukai oleh publik dan diakui oleh kritikus. Ahyeon, solois muda yang naik...