Momen

291 48 1
                                    

Ahyeon duduk di pinggir tempat tidurnya, menatap kosong ke arah cermin di kamarnya. Pikirannya kacau, penuh dengan bayangan Rora yang terlihat cemburu tadi sore, dan Pharita yang terus berada di sisinya dengan senyum tenang. Ia merasa terseret dalam pusaran perasaan yang membuatnya semakin sulit bernafas.

Tangannya perlahan menggeser layar ponselnya. Ada pesan yang belum dibuka dari Pharita.

Riri unnie

Kamu baik-baik saja? Aku harap tadi tidak membuatmu enggak nyaman

Ahyeon menghela napas panjang. Pharita selalu peka, selalu tahu kapan ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, dan itulah salah satu hal yang membuat Ahyeon merasa dekat dengannya. Namun, meski begitu, hatinya terus terpaut pada Rora—meski ada jarak yang kini semakin lebar antara mereka.

Tanpa berpikir panjang, Ahyeon mengetik balasan singkat.

Aku baik-baik saja, hanya sedikit lelah unnie. Terima kasih untuk hari ini

Setelah mengirim pesan itu, Ahyeon memutuskan untuk meletakkan ponselnya. Ia tahu bahwa tidak ada gunanya berpikir lebih lama lagi malam ini. Pikiran tentang Rora dan Pharita berputar di kepalanya tanpa henti, dan satu-satunya hal yang diinginkannya saat ini adalah ketenangan.

Pagi harinya, Ahyeon bangun dengan perasaan hampa yang sama. Setelah berbicara dengan Pharita dan melihat Rora kemarin, ia tahu bahwa tidak mungkin melanjutkan situasi ini tanpa menghadapi perasaannya sendiri. Ia tidak bisa terus berada di antara dua orang yang ia pedulikan, tanpa membuat keputusan. Tapi bagaimana bisa ia memilih antara Rora, yang telah menjadi bagian dari hidupnya begitu lama, dan Pharita, yang selalu ada untuk mengisi kehampaan itu?

Ahyeon memutuskan untuk memulai harinya dengan fokus pada pekerjaannya. Ada banyak hal yang harus ia lakukan, dari latihan vokal hingga mempersiapkan konser mendatang. Musik selalu menjadi pelariannya dari masalah, dan hari ini, ia berharap suara-suara melodi yang ia nyanyikan bisa menghapuskan kekacauan di hatinya.

Di studio, ia berlatih keras, memusatkan seluruh perhatiannya pada setiap nada yang ia keluarkan. Namun, meskipun musik mengalun, pikirannya terus kembali kepada Rora. Ia teringat saat-saat di mana mereka tertawa bersama, berbagi cerita di balik layar, hingga momen-momen ketika mereka hanya saling menatap dalam keheningan, mengerti tanpa harus berbicara.

Tapi di balik semua itu, ia juga tak bisa mengabaikan Pharita. Ahyeon merasakan kenyamanan dan ketenangan saat berada di dekat Pharita. Meski hubungan mereka belum pernah lebih dari sekedar teman dekat, Pharita selalu membuatnya merasa dicintai dan dihargai, tanpa harus berusaha terlalu keras. Perasaan itu, meski berbeda dengan apa yang ia rasakan untuk Rora, tetap memiliki tempat khusus di hatinya.

Saat latihan hampir selesai, telepon Ahyeon berbunyi. Namanya muncul di layar: Rora.

Hati Ahyeon berdebar. Dia tidak tahu harus berharap apa dari panggilan ini—apakah ini hanya percakapan biasa atau mungkin ada sesuatu yang lebih besar di baliknya. Setelah beberapa detik ragu, ia akhirnya menggeser layar ponselnya dan menjawab.

"Halo?" suara Ahyeon terdengar lembut, sedikit gemetar.

"Ahyeon..." Suara Rora terdengar berat di ujung sana. "Bisa kita bicara? Aku ingin bertemu denganmu."

Ahyeon menggigit bibirnya, merasakan ketegangan yang kembali menyerang. "Kapan?"

"Sekarang," jawab Rora dengan tegas, tanpa ada sedikit pun keraguan. "Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi."

Ahyeon merasa gugup, tapi juga lega. Mungkin inilah saatnya mereka benar-benar menyelesaikan apa yang selama ini mereka abaikan.

Mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang tersembunyi dari sorotan media, tempat favorit mereka dulu saat ingin menghindari paparazi. Rora sudah duduk di salah satu sudut, menatap keluar jendela dengan ekspresi yang sulit dibaca. Ketika Ahyeon tiba, Rora menatapnya dengan tajam, seolah ingin membaca setiap emosi di wajahnya.

ArtistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang