Tersadar

176 33 4
                                    

Wajah Ahyeon terlihat sangat lelah, matanya merah, dan ada sisa-sisa air mata di pipinya. Tanpa banyak bicara, Pharita memutuskan untuk memeluk Ahyeon, memberikan kenyamanan yang mungkin ia butuhkan. Ahyeon yang merasa hancur hanya bisa bersandar dalam pelukan Pharita, membiarkan emosinya mengalir tanpa banyak kata.

"Ahyeon, apa yang terjadi?" Pharita bertanya lembut, membelai punggungnya dengan penuh perhatian. Tapi Ahyeon hanya menggelengkan kepala, seolah tak mampu menjawab. Hanya ada kesedihan dan kekecewaan yang terpancar di wajahnya.

Melihat kondisinya, Pharita tahu bahwa Ahyeon tidak dalam keadaan untuk menjelaskan apa pun saat ini. Ia menawarkan untuk mengantarnya pulang, tetapi Ahyeon langsung menggeleng dengan tegas. "Aku nggak mau pulang" gumamnya dengan suara pelan, hampir seperti berbisik. Suaranya terdengar pecah, seolah-olah setiap kata yang keluar dari bibirnya membawa beban yang tak tertahankan.

Pharita mengerti bahwa Ahyeon butuh tempat lain, jauh dari segala masalah yang sedang dihadapinya. Tanpa banyak tanya, ia meraih tangan Ahyeon dan membawanya menuju mobilnya. "Kalau begitu, ikut aku saja. Kamu bisa istirahat di tempatku." ujarnya penuh perhatian.

Ahyeon hanya mengangguk pelan dan mengikuti Pharita masuk ke dalam mobil. Selama perjalanan, Ahyeon duduk diam, tatapannya kosong, dan pikirannya melayang entah ke mana. Pharita yang mengemudi di sampingnya sesekali melirik dengan cemas, ingin sekali bertanya apa yang sebenarnya terjadi, tetapi ia tidak ingin memaksa Ahyeon untuk bicara sebelum siap.

Namun, rasa khawatir itu terus tumbuh dalam diri Pharita. Ia tidak pernah melihat Ahyeon seterpuruk ini sebelumnya. Bagi Pharita, Ahyeon selalu tampak kuat, penuh energi, dan ceria. Melihatnya dalam keadaan seperti ini membuat Pharita merasa ada yang hilang dari sosok Ahyeon yang ia kenal.

"Aku di sini, Ahyeon. Kalau kamu mau cerita, aku siap mendengarkan kapan pun kamu butuh," ujar Pharita lembut, mencoba memberikan ketenangan.

Ahyeon hanya mengangguk tanpa menoleh, masih tenggelam dalam pikirannya yang berantakan. Setiap kali ia memejamkan mata, bayangan Rora bersama Asa muncul dalam pikirannya. Hatinya berdenyut sakit setiap kali ia mengingat bagaimana Rora tertidur di pelukan orang lain. Ia merasa marah, kecewa, dan tak percaya. Semua janji dan harapan yang selama ini ia bangun bersama Rora seakan runtuh dalam sekejap.

———

Saat Ahyeon beristirahat di mansion Pharita, Pharita masuk ke kamarnya dengan wajah serius. Dia masih memikirkan kondisi Ahyeon yang tampak begitu hancur, dan perasaan simpatinya bercampur dengan perasaan lain yang sulit ia jelaskan. Ia tahu perasaannya terhadap Ahyeon masih ada, tak pernah benar-benar hilang. Pharita tak tahan melihat Ahyeon menderita seperti ini, terutama jika ada sesuatu yang bisa ia lakukan.

Pharita meraih ponselnya dan menelepon seseorang "Cari tahu apa yang terjadi pada Ahyeon, saya ingin tahu segalanya." katanya dengan nada tegas dan serius. Pharita menggigit bibirnya, matanya menunjukkan ketegangan. Ia berusaha memastikan tidak ada hal yang berpotensi menyakitinya.

.

.

.

Sementara itu, di apartemen Rora, pagi mulai menyelinap masuk lewat tirai yang setengah tertutup. Cahaya matahari yang lembut menembus jendela, menyinari ruangan yang sunyi. Perlahan, Rora mulai membuka matanya, merasakan sedikit pusing karena efek minuman tadi malam. Sambil mengerjap, ia menyadari bahwa ia tertidur di sofa ruang tamu. Baru saja ia ingin mengumpulkan kesadarannya, ia merasakan sebuah lengan melingkar di pinggangnya. Refleks, Rora menoleh dan menemukan Asa sedang tertidur di sebelahnya, lengannya melingkari tubuh Rora dengan erat.

Rasa terkejut langsung membangkitkan Rora dari kantuk dan mabuknya. Ia segera bangkit dan menarik selimut untuk menutupi dirinya, meski pakaian mereka masih lengkap. Tapi hanya melihat Asa tidur di sampingnya saja sudah membuat kemarahannya memuncak.

"Asa!" seru Rora dengan suara rendah namun penuh kemarahan. Ia menepuk pundak Asa hingga gadis itu terbangun, masih sedikit kebingungan dengan ekspresi wajah yang setengah sadar.

"Asa, bangun! Apa yang kamu lakukan di sini?!"

Asa membuka matanya perlahan, dan wajahnya langsung berubah pucat ketika melihat ekspresi marah di wajah Rora. "Rora, tunggu... aku bisa jelasin!" katanya, buru-buru duduk dengan gugup.

Rora melipat tangan di dadanya, menatap Asa dengan tajam. "Aku bahkan nggak ingat gimana bisa kita tidur di tempat yang sama! Kamu, kamu—" Rora menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir perasaan tidak nyaman dan bingung yang memenuhi pikirannya. "Kamu semalaman di sini? Dan kenapa kamu peluk aku waktu tidur?"

Asa menunduk, wajahnya memerah, tak tahu harus berkata apa. "Aku... aku cuma ingin memastikan kamu baik-baik aja. Kamu semalam mabuk berat, jadi aku nggak tega ninggalin kamu sendirian. Aku pikir... mungkin kamu perlu ditemani."

Rora menghela napas, suaranya terdengar lebih tajam dari yang ia maksudkan. "Aku tidak butuh ditemani kamu. Kamu nggak ngerti, ini bisa bikin salah paham?" Ketika Rora mengucapkan itu, bayangan wajah Ahyeon muncul di pikirannya. Ada rasa bersalah yang begitu dalam menyergap dadanya, mengingat hubungannya dengan Ahyeon.

"Aku minta maaf, Rora," bisik Asa, menunduk. "Aku cuma... aku terlalu khawatir. Dan aku... aku nggak bermaksud buat kamu nggak nyaman."

Rora berdiri, menatap Asa yang masih duduk di sofa dengan sorot mata dingin. "Ini salah Asa. Kamu tahu, kan, kalau aku ada seseorang yang sangat berarti buat aku. Perasaan dan kepercayaannya adalah hal paling penting buatku. Apa yang terjadi malam ini..." Rora menghela napas, menenangkan diri. "Kamu sudah melewati batasmu. Seharusnya Kamu mengerti dengan batasan kita."

Asa mengangguk pelan, merasa bersalah dan sadar bahwa ia telah melewati batas. "Aku mengerti, Rora. Aku benar-benar minta maaf. Aku tahu aku salah."

Rora mengambil jaketnya dan melangkah menuju pintu, menenangkan napasnya yang masih tersengal karena emosi. Sebelum pergi, ia berbalik sekali lagi menatap Asa. "Pergilah setelah ini dan terima kasih sudah mengantarku pulang."

Tanpa menunggu jawaban Asa, Rora meninggalkan Asa yang terduduk di sofa, merasa bersalah dan patah hati. Rora berjalan keluar apartemennya dengan langkah cepat, menyadari betapa besar kesalahannya saat ini. Dia meraih ponselnya, saat membuka ponselnya ada beberapa panggilan tak terjawab dari Ahyeon yang masuk semalam. Hatinya langsung terasa tidak enak.

"Ahyeon pasti khawatir...," gumamnya pelan, merasa sedikit bersalah karena tak sempat memberi kabar.

.

.

.



Tbc

ArtistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang