Beberapa hari kemudian, Ahyeon mencoba menjalani hari-harinya dengan tenang di mansion Pharita. Namun, meski tak mau mengakuinya, kenangan akan Rora masih sering menghantui pikirannya. Bahkan ada kalanya ia merasa rindu, meski segera ia usir perasaan itu jauh-jauh. Hari itu, Ahyeon mendapat pesan dari orang yang mengurus apartemennya, melaporkan bahwa apartemen sudah dibersihkan seperti biasa. Hati Ahyeon sedikit terenyuh, mengingat betapa banyak kenangan yang tersimpan di sana. Tapi ia tahu, meski berat, ini adalah keputusan terbaik.Pharita yang menyadari Ahyeon melamun di taman belakang mansion mendekatinya. Dengan lembut, Pharita duduk di sebelahnya dan menatap Ahyeon.
"Apakah kamu baik-baik saja?" tanya Pharita pelan.
Ahyeon tersenyum samar dan mengangguk. "Aku hanya... kadang-kadang merasa sulit untuk melupakan semuanya."
Pharita menggenggam tangan Ahyeon, memberikan kehangatan dan ketulusan. "Kamu sudah melakukan yang terbaik. Semua butuh waktu, dan aku akan selalu ada di sini untuk mendukungmu."
Ahyeon merasa lega mendengar kata-kata itu. Ia pun bersandar pada Pharita, merasa sedikit beban dalam hatinya terangkat. Ia tahu perjalanan penyembuhannya masih panjang, tapi bersama Pharita, ia percaya bahwa ia akan baik-baik saja pada akhirnya.
———
"Unnie, boleh mampir ke toko roti yang didepan?."
Pharita menoleh kearah Ahyeon "Tentu saja boleh."
Mereka sampai di toko roti langganan Ahyeon. Sebelum turun Ahyeon melihat ke arah Pharita, "unnie tunggu disini atau ikut?."
"Aku tunggu disini saja ya, kamu tidak lama kan?."
"Cuman sebentar kok. Yaudah aku kedalam dulu."
Pharita mengangguk dan menunggu Ahyeon sambil memainkan handphonenya.
Ahyeon melihat-lihat roti yang berada dietalase dan memilih beberapa roti kesukaannya, dia juga mengambil roti yang menjadi favoritnya Pharita.
Saat Ahyeon akan membayar, dia berdiri kaku di depan kasir, hampir menjatuhkan dompetnya saat menyadari Rora baru saja masuk ke toko roti yang sama. Mata mereka bertemu, dan dalam sekejap, semua kenangan dan perasaan yang coba Ahyeon sembunyikan terasa seperti meledak kembali di hatinya. Rora tampak terkejut juga, tapi dengan cepat memasang senyum tipis dan mendekati Ahyeon.
"Hai, Ahyeon... sudah lama sekali. Apa kamu sendirian?" Rora menyapa, suaranya lembut dan ragu-ragu.
Ahyeon membuka mulutnya untuk menjawab, namun sebelum sempat berbicara, suara lain terdengar di belakangnya. "Ahyeon, kenapa lama sekali di sini?" Pharita muncul dengan tatapan lembut namun tegas, berjalan mendekati Ahyeon dan menyadari keberadaan Rora di sana.
Pharita, yang langsung memahami situasinya, tersenyum kecil pada Rora. "Aku bayar rotinya dulu ya, kamu tunggu disini" katanya pada Ahyeon sebelum beralih ke kasir untuk menyelesaikan pembayaran.
Ahyeon dan Rora berdiri dalam keheningan, keduanya mencoba merangkai kata-kata di tengah suasana yang canggung. Rora akhirnya mengumpulkan keberaniannya dan bertanya, "Kamu... baik-baik saja, Ahyeon?"
Ahyeon menggigit bibirnya, hatinya bergejolak dengan berbagai perasaan yang sulit diungkapkan. Ia menatap Rora, mencoba membaca wajahnya. "Aku... baik," jawabnya pelan, meskipun suaranya terdengar kaku.
Pharita kembali dengan kantong roti di tangannya. Tanpa banyak bicara, dia mendekat dan menggenggam tangan Ahyeon dengan lembut namun penuh arti, lalu menariknya pelan menuju pintu. "Ayo kita pergi sekarang, Ahyeon."
Rora hanya bisa melihat kepergian mereka dengan hati yang hancur, merasa betapa besar jarak yang kini memisahkannya dengan Ahyeon. Pharita menatap sekilas ke arah Rora, memberi tatapan yang penuh perlindungan terhadap Ahyeon, seolah-olah mengatakan bahwa ia akan menjaga Ahyeon sepenuhnya. Mereka pun melangkah keluar dari toko, meninggalkan Rora yang berdiri sendiri dengan perasaan sesak dan putus asa, sadar bahwa kesempatan untuk memperbaiki hubungan itu mungkin semakin jauh dari genggamannya.
Begitu Ahyeon dan Pharita keluar dari toko, Ahyeon menunduk, menggenggam kantong roti di tangannya tanpa bicara. Pharita, menyadari betapa rapuh perasaan Ahyeon saat ini, menggenggam tangannya dengan lebih erat. Mereka berjalan menuju mobil Pharita, dan begitu duduk di dalam, Pharita menoleh padanya.
"Kamu baik-baik saja?" tanyanya pelan.
Ahyeon mengangguk, tapi matanya berkaca-kaca, menghindari tatapan Pharita. "Aku... tidak tahu apa yang harus aku rasakan. Melihat Rora tadi... Rasanya aneh. Seperti semuanya kembali," katanya sambil tersenyum pahit. "Aku kira aku sudah bisa melupakannya."
Pharita menatap Ahyeon dengan penuh perhatian. "Kamu tidak harus pura-pura baik-baik saja, Ahyeon. Kamu sudah melalui banyak hal."
Ahyeon hanya diam. Dalam hatinya, masih ada luka yang belum sepenuhnya sembuh. Kenangan tentang Rora, kebersamaan mereka, janji-janji yang pernah mereka buat bersama—semuanya masih terasa dekat, namun jauh dalam waktu yang sama. Ia tahu Pharita benar, tapi rasa cinta dan sakit hati itu masih sulit terpisah dalam pikirannya.
Pharita, yang tahu Ahyeon butuh waktu dan ruang untuk memproses semua ini, mencoba mengalihkan suasana. "Bagaimana kalau kita pergi ke taman? Anginnya sedang sejuk, mungkin kamu akan merasa lebih baik."
Ahyeon mengangguk setuju, dan Pharita mengemudikan mobilnya ke taman terdekat. Mereka duduk di bangku di bawah pohon, menikmati ketenangan yang ditawarkan oleh alam sekitar. Pharita duduk dekat dengan Ahyeon, memberikan rasa aman dan tenang yang selalu ia butuhkan. Setelah beberapa saat hening, Ahyeon menghela napas panjang, merasa sedikit lebih ringan.
"Aku kira aku sudah siap untuk move on," Ahyeon berkata, suaranya pelan. "Tapi kenyataannya... rasanya masih berat. Bagian dari diriku masih mengharapkan Rora kembali, walaupun aku tahu itu tidak mungkin."
Pharita mengangguk memahami, menggenggam tangan Ahyeon. "Aku tahu, Ahyeon. Kamu perlu waktu untuk benar-benar menyembuhkan hatimu. Tapi ingat, kamu tidak sendiri. Aku akan selalu ada untuk mendukungmu, apapun yang terjadi."
Ahyeon tersenyum pada Pharita, merasakan ketulusan yang begitu besar dalam diri sahabatnya itu. "Terima kasih, unnie. Unnie sudah banyak membantu aku selama ini. Aku benar-benar bersyukur punya unnie di sini."
Pharita tersenyum lembut, memegang tangan Ahyeon dengan lebih erat. "Selalu, Ahyeon. Aku akan selalu ada di sisimu, apa pun yang terjadi."
Mereka berdua duduk di sana untuk beberapa waktu, menikmati momen keheningan yang menenangkan. Tanpa mereka sadari, taman yang awalnya sepi mulai ramai dengan suara anak-anak yang berlarian dan suara canda tawa dari keluarga yang sedang piknik di sekitar. Perlahan, Ahyeon mulai merasa lebih baik, menyadari bahwa meskipun perasaan pada Rora belum sepenuhnya hilang, ia masih memiliki orang-orang yang peduli padanya dan membuatnya merasa dicintai.
Setelah beberapa saat, Pharita mengajak Ahyeon untuk makan siang bersama di kafe kecil dekat taman. Di sana, mereka menghabiskan waktu berbincang santai, berbagi cerita lucu dan mencoba menikmati momen-momen kecil yang memberi ketenangan. Ahyeon mulai tertawa, bahkan merasa sedikit lebih bebas dari perasaan sedihnya, dan Pharita yang melihat itu merasa lega.
Di sisi lain, Rora kembali ke apartemennya dengan hati yang hancur. Ia duduk sendiri di ruang tamu, memikirkan semua yang terjadi sejak pertemuan tak terduga di toko roti tadi. Rora menyadari bahwa kesempatannya mungkin sudah hilang—bahwa Ahyeon mungkin telah menemukan ketenangan dan dukungan yang lebih stabil bersama Pharita. Namun, meskipun hatinya masih berpegang pada kenangan indah bersama Ahyeon, ia tahu ia harus belajar melepaskan.
.
.
.
Masa nyerah sih Ra? Minimal lo nya jelasin dulu lah ke Ahyeon🙄
Untuk chapter selanjutnya tentang Chisa dulu okey
Tbc

KAMU SEDANG MEMBACA
Artist
RomanceRora, aktris muda yang membintangi drama-drama populer dan film yang sukses secara komersial. Karismanya di layar, ditambah dengan kemampuan akting yang mendalam, membuatnya disukai oleh publik dan diakui oleh kritikus. Ahyeon, solois muda yang naik...