Aliya melihat sesosok laki-laki membawa tas besar berbentuk gitar di punggungnya. Laki-laki itu baru saja turun dari motor yang dikenalnya. Kemudian ia berjalan cepat masuk ke dalam sebuah cafe. Langkah cepatnya membuat rambutnya yang sedikit panjang ikut bergerak lincah. Aliya masih dibonceng kakaknya saat melihat laki-laki itu. Motor mereka baru memasuki area parkiran.
Petang itu parkiran cafe yang mereka datangi cukup penuh. Baik motor atau mobil. Sepertinya pengunjung yang mau menonton pertunjukkan cukup banyak. Nino menggandeng adiknya berjalan masuk ke cafe sesaat kemudian. Melihat animo yang datang, dia penasaran dengan pertunjukkan yang ingin ditonton adiknya.
Di cafe bagian dalam, area berbayar untuk menonton pertunjukan, terlihat hampir semua meja sudah terisi. Jumlah penonton laki-laki dan perempuan cukup seimbang, tapi lebih banyak perempuannya sedikit. Aliya melihat dari dinding kaca pembatas, hanya tersisa di bagian depan, ada beberapa meja yang kosong dengan tulisan reserved. Sepertinya untuk tamu undangan. Sedangkan dia tidak mempunyai undangan. Aliya gelisah karena sepertinya tidak ada tempat untuk mereka.
Aliya dan Nino memesan minuman dan beberapa kudapan dulu.
"Mas, udah penuh," ujar Aliya setelah menanyakan akses masuk ke area pertunjukan. Tiket sudah terjual habis. Perempuan itu menyesal karena datang terlambat.
"Al, di situ aja gimana?" Nino menunjuk sebuah meja tidak jauh dari pintu masuk ke area pertunjukkan. Dengan santainya dia mengatakan, "Lumayan bisa lihat dikit."
Aliya menghela napas pasrah. Pertunjukkan itu memang bukan tujuan utama Mas Nino ikut. Tidak sepertinya. Tapi Aliya menuruti omongan kakaknya, tidak ada pilihan lain. Aliya sebenarnya tidak menyukai posisi meja itu, meja di dekat orang lewat hilir mudik. Tapi sekali lagi, dia tidak punya pilihan.
"Mana Bilqis?" Tanya Mas Nino.
Aliya mengecek hp-nya. Dia sudah berkabar dengan Bilqis kalau dia akan datang. Beberapa saat sebelum dia berangkat tadi. Aliya menggeleng tidak tahu, belum ada kabar lagi.
"Rame ya, band siapa sih?" Tanya Nino lagi. "Temennya Bilqis? Musiknya apa?"
"Iya, temennya Bilqis, katanya rock, blues, tapi aku juga belum pernah denger, Mas," ungkap Aliya. Dia pun baru menyadari, ini sisi Ronald yang lain lagi. Yang belum Aliya ketahui. Lapisan lain hidup Ronald.
Tak lama Bilqis terlihat baru datang, bersama Fernando. Dua orang itu langsung bisa melihat Aliya dan Nino. Posisi duduk Aliya mudah dilihat dari orang yang akan masuk ke area pertunjukkan. Dua orang itu langsung menghampiri Aliya. Menyapa Aliya dan Nino. Mereka saling memperkenalkan diri.
"Kak Aliya, nggak masuk?" Tanya Bilqis kemudian.
"Udah penuh Bil, tiket sold out," jawab Aliya lesu.
"Ronnie mana?" Tanya Fernando sekenanya, tampak terburu-buru. Sikapnya seperti tidak peduli dengan keberadaan kakak Aliya.
Aliya mengedikkan bahunya tanpa suara. Fernando langsung paham ada kakak Aliya di sebelahnya. Perempuan itu seperti menjaga tuturnya. Entah kakaknya mendengar hal itu atau tidak. Aliya tidak mau memikirkannya.
"Ya udah, gue masuk dulu," ucap Fernando, kemudian dia beralih ke Bilqis. "Mau masuk sekarang?"
"Gue di sini dulu. Nanti kalau udah mau mulai, gue masuk," ujarnya. Bilqis mengambil duduk di kursi di sebelah Nino. Sebenarnya meja berpenampang lingkaran itu hanya berisi tiga kursi, tapi secara tidak sengaja kursi Bilqis dan Nino lebih dekat dibandingkan dengan kursi Aliya dan kakaknya.
Fernando mengangguk, wajahnya sedikit ditekuk, lalu pamit undur. Termasuk pada Nino, "Mari, Mas."
"Semoga lancar ya!" Ucap Nino ramah, langsung tau kalau Fernando adalah teman Bilqis yang manggung. Nino langsung memandang ke Bilqis, tatapannya sedikit menggoda, "Pacarmu ya, Bil?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Toko Merah
Ficción GeneralCerita dengan latar jaman kolonial. Ceritanya fiksi, tapi kolonialismenya nyata.