[Ch 28] Bukan Aku!

114 16 4
                                    

Sementara itu, di luar ruangan, Sara merasa semakin gelisah. Langkahnya mondar-mandir tanpa henti, dia tentu saja mendengar raungan putus asa Sakura dari alat komunikasi mereka.

Raungan itu menggema, penuh dengan luka dan kehancuran. Sara tahu bahwa keadaan sudah di luar kendali.

Dengan cepat, dia mengeluarkan ponselnya dan menekan nomor yang sudah dihafalnya.

“Lakukan sekarang!” perintahnya tegas, suaranya tak menyisakan ruang untuk keraguan.

Seseorang menjawab singkat, menandakan bahwa rencana darurat telah dipahami dan akan segera dilaksanakan.

Dengan tenang namun pasti, Sara menginstruksikan orang-orangnya untuk menahan para penjaga dan memastikan tak ada satu pun yang mendekati ruangan itu.

Sakura butuh waktu, butuh ruang untuk melepaskan segala kepedihan yang menggerogoti dirinya. Bagaimanapun, raungan itu masih terdengar jelas, menembus tembok dan batasan. Tak seorang pun diizinkan untuk mengintervensi.

Sara menggenggam ponselnya erat, mendengar setiap suara yang keluar dari dalam.

“Kakak, aku akan melindungimu... apa pun yang terjadi,” bisiknya pelan pada dirinya sendiri.

Sakura melangkah keluar dari rumah dengan gerakan yang lamban, tubuhnya tampak lemah, seakan semua energi dan semangat hidup telah hilang darinya. Pakaian yang dikenakannya terlihat kusut, rambutnya berantakan, dan yang paling menyayat hati adalah tatapan kosong di matanya—tak ada secercah kehidupan yang tersisa di dalamnya.

Mata itu, yang biasanya penuh keyakinan dan kekuatan, kini seolah tenggelam dalam lautan kegelapan yang tak berujung.

Sara, yang setia menunggu di luar, langsung melihat kondisi Sakura yang mengkhawatirkan.

"Kakak!"

Sara berlari mendekat, melihat lebih dekat ke wajah kakaknya. Dia menggenggam dan menggoyangkan kedua bahu Sakura, mencoba mendapatkan jawaban. Namun, Sakura tidak merespons. Sakura hanya berdiri diam, tatapannya kosong menembus ke arah yang jauh, seolah Sara tidak ada di sana.

“Kakak?”

Suara dan tubuh Sara semakin gemetar. Sara mengepalkan tangannya, menggigit bibirnya hingga berdarah. Tak tahan melihat kondisi kakaknya yang buruk.

Tak tahu harus berbuat apa, Sara hanya bisa menuntun Sakura pulang.

Namun, begitu sampai di rumah, Sakura langsung mengurung diri di dalam kamar, menutup pintu rapat-rapat tanpa satu kata pun keluar dari bibirnya.

Tiga hari berlalu.

Dalam tiga hari itu, Sakura tidak pernah keluar dari kamarnya. Ino dan Sara datang setiap hari, mencoba memanggil dan membujuknya untuk membuka pintu, tentu saja tanpa hasil baik. Makanan pun tetap utuh, hanya satu roti menghilang dari piring di hari ke-2.

Pintu kamar itu menjadi benteng yang memisahkan dirinya dari dunia luar, dari semua rasa sakit yang terus menghantamnya. Tidak ada tangis yang terdengar, tidak ada suara dari dalam kamar, hanya keheningan yang mengerikan.

Ino yang biasanya penuh semangat, kini tak mampu menahan kekhawatirannya lagi.

“Sakura, tolong jangan seperti ini!” ucapnya dengan suara yang putus asa saat duduk bersama Sara di depan pintu kamar Sakura.

“Kita harus melakukan sesuatu,” kata Sara, air mata menetes di pipinya. “Aku tidak bisa melihatnya seperti ini lagi. Dia hancur…”

Ino menggigit bibirnya, hatinya dipenuhi kecemasan. “Aku akan menetapkan batasannya. Jika sampai dini hari masih diam, aku akan memaksanya keluar. Kalau tidak... aku takut dia tidak akan pernah kembali—jiwanya.”

The Damsel 🔞 || SasusakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang