SELAMAT MEMBACA ❤️
---------------------
"Setelah sekian purnama berlalu
Kini hati dan fikiranku tlah utuh
Lukaku kini tlah sirna
Menghapus semua yang fana."
(Daun Jatuh - Setelah Sekian Purnama)
●○•♡•○●
Tidak ada satu pun momen yang mereka sia-siakan, ketika waktu dan keadaan memang memungkinkan.
Sesuai dengan keinginan Mas Abi di hari ulang tahunnya, mereka bertujuh pergi ke rumah lama mereka. Bahkan, sebelum berangkat, mereka menyempatkan diri untuk membawa makanan dari rumah yang dimasak oleh Dika dan Sena, dan sebagiannya lagi mereka sengaja ingin membeli makanan di warung sekitaran rumah lama mereka. Mereka ingin menyusuri setiap kenangan yang terukir disana. Bagaimana pun juga, separuh dari kehidupan mereka ada disana.
"Pertama kali lagi kesini, aku jadi pengen nangis, deh," kata Sapta tiba-tiba ketika mereka sedang berjalan kaki menuju ke rumah lama mereka.
"Harusnya gue sih yang nangis. Pegel banget punggung gue. Lo bawa apaan sih, Ta? Berat banget ini tas gue rasa-rasa," dengus Kara.
Kara menggendong tas sekolah Sapta, yang isinya sudah diganti dengan makanan—itu yang Kara tahu karena melihat Sena yang menyusunnya—entah Sapta memasukkan apa lagi hingga tasnya bisa seberat itu.
"Aku masukkin celana denim aku dua. Jaga-jaga kalau hujan atau basah. Terus jaket, itu pinggirnya air minum, terus sepatu, sama—"
"ELU MASUKIN SEPATU, DISATUIN SAMA MAKANAN DI TAS INI?!" pekik Kara memotong omongan Sapta.
Sapta menggeleng. "Siapa bilang makanannya ada di tas aku? Orang makanannya udah di pindahin ke tasnya Mas Sena," kata Sapta polos.
Kara yang mendengarnya pun mencoba menetralkan napasnya yang tiba-tiba memburu. Ingin sekali rasanya mengeluarkan umpatan dan segala sumpah serapah untuk adik tengilnya itu. Jadi, selama perjalanan, ia hanya membawa barang-barang pribadi milik Sapta?
Pintar sekali strategimu, Sapta Sadana!
"Kenapa, Bang? Mas liat-liat kamu gampang marah banget akhir-akhir ini," tanya Mas Abi lembut.
"Gimana aku nggak marah-marah, Mas? Si Sapta, tuh! Makin kesini, makin tengil aja," adunya pada Mas Abi.
"Kok aku? Aku kan diajarin Mas Dika," kata Sapta seraya menunjuk ke arah Dika yang berjalan tepat di depannya.
"Bajigur!!! Ini sasaran utamanya gue banget, nih?!" Dika langsung menoleh ke belakang. Ia terlihat tidak percaya pada jawaban Sapta yang tidak bisa ditebak.
Mas Raga yang selalu menjadi saksi keributan adik-adiknya itu hanya bisa menjadi penyumbang tawa. Mas Raga sangat bersyukur. Kehidupan mereka banyak sekali menguras energi. Dan interaksi semua adik-adiknya, menjadi penghibur diri.
"Perasaan, kita belum lama-lama banget deh pindah. Udah banyak perubahan aja," ujar Sena seraya pandangannya terus saja memerhatikan sekitar.
"Kira-kira, tempat nongkrong gue yang deket benteng itu masih ada nggak, ya?" tanya Jantera.
"Oh, tempat lu kalau mau ngerokok itu ya, Mas?" tanya Dika. Pertanyaan Dika, tidak terdengar seperti pertanyaan. Melainkan, jebakan.
Jantera langsung melirik cepat ke arah Dika. "Emang mony—"

KAMU SEDANG MEMBACA
IN THE END ✔
Teen FictionKatanya, rumah itu akan terasa hidup jika di dalamnya lengkap dan hangat. Lalu, bagaimana dengan tujuh bersaudara ini? Abinara Madana, tidak pernah menyangka jika kehidupannya yang pertama kali di dunia ini, ia tak hanya harus menjadi anak sulung. N...