Chapter 1 : Malam Kelam yang Tak Terlupakan

20 4 3
                                    

Genggaman tangan Ibu terasa hangat di telapak tanganku saat kami berjalan menyusuri gang sempit itu. Malam sudah larut, dan hanya ada kami berdua di sana. Lampu jalan memancarkan cahaya kuning pudar, menciptakan bayangan gelap yang menari di dinding bata.

"Ibu, apa kita hampir sampai?" tanyaku, mencoba mengusir rasa gugup yang tiba-tiba menyeruak.

Ibu menoleh, senyumnya tetap menenangkan, meskipun genggaman tangannya terasa sedikit lebih erat. "Sebentar lagi, Nak. Jangan khawatir."

Namun, suara langkah kaki lain tiba-tiba terdengar. Berat dan tergesa-gesa.

Ibu menghentikan langkahnya, tubuhnya menegang. Matanya memindai kegelapan di depan kami. Dari dalam kegelapan, seorang pria tinggi muncul dengan jaket hitam. Wajahnya setengah tertutup, hanya menyisakan mata tajam penuh amarah.

"Alpha, mundur," bisik Ibu sambil mendorongku ke belakang.

Pria itu mengeluarkan sesuatu dari dalam jaketnya. Sebilah pisau berkilauan di bawah cahaya lampu jalan.

"Lari, Alpha!" teriak Ibu.

Aku tersandung dan jatuh, tubuhku terasa kaku saat melihat pria itu bergerak dengan kecepatan mengerikan. Pisau di tangannya terayun, menghujam tubuh Ibu.

"Ibu!" teriakku, namun suara itu seperti hilang ditelan malam.

Darah menyembur ke dinding bata, menciptakan pola kacau yang menghantui pandanganku. Mata Ibu membelalak, menatapku dengan tatapan penuh cinta yang perlahan meredup.

"Lari..." bisiknya untuk terakhir kali.

Tubuhku akhirnya bereaksi. Aku berlari sekuat tenaga, meninggalkan semuanya di belakang. Air mata membasahi pipiku, membawa kenangan malam itu yang akan menghantuiku seumur hidup.


Kenangan itu perlahan memudar, meninggalkan perasaan dingin yang mencengkeram hatiku. Aku berdiri di tepi atap sekolah, angin sore menyapu rambutku. Napasku masih tersengal-sengal, mencoba mengusir beban yang terus menghantuiku.

"Alpha..."

Aku menoleh. Beta berdiri di belakangku, membawa sebuah buku catatan tebal. Wajahnya memancarkan kekhawatiran.

"Kamu baik-baik saja?" tanyanya dengan lembut.

Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. "Aku baik-baik saja," jawabku dengan senyum tipis. "Apa yang kau temukan?"

Beta menghela napas lega, meskipun sorot matanya masih menyiratkan sedikit kekhawatiran. Ia membuka buku catatannya, siap melaporkan temuannya.

Ruangan kelas itu penuh dengan atmosfer kerja. Meja panjang di tengah ruangan dipenuhi kertas, alat, dan catatan investigasi.

Theta duduk santai di sudut, menggambar sesuatu di kertasnya sambil tersenyum kecil. Di sisi lain, Eta serius memeriksa perangkat yang sedang dirakitnya. Sementara itu, Omega duduk dengan buku catatan terbuka di tangannya, meskipun pandangannya lebih sering melayang ke arah pintu.

Pintu terbuka pelan. Aku masuk bersama Beta, langsung menuju meja. Semua kepala menoleh ke arahku.

"Ada perkembangan," kataku, memecah keheningan. "Ini bukan hanya tentang CCTV yang rusak. Ada sesuatu yang jauh lebih besar."

Theta meletakkan pensilnya, menatapku dengan santai. "Pantas saja kau terlihat seperti habis bertemu hantu," komentarnya. "Tapi aku yakin kita bisa menemukan jawabannya."

Eta hanya mengangguk tanpa bicara, fokusnya masih pada perangkat di tangannya. Namun, aku tahu dia mendengarkan dengan seksama.

Omega, yang biasanya terlihat acuh, mulai menunjukkan minat. "Kapan kita mulai? Semakin lama menunggu, semakin banyak yang bisa hilang."

Senyum tipis terukir di wajahku. Mereka semua sudah siap.

"Mulai sekarang, kita punya bagian masing-masing. Tidak ada yang boleh terlewatkan."

Anggota timku mengangguk. Ruangan itu kembali sunyi, tapi suasana penuh dengan tekad. Kami tahu, apapun yang terjadi, kami akan menghadapi ini bersama.

To be continued...

Detektif Sekolah : Kasus CCTV yang rusakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang