Chapter 22 : Treasure in accident

1 0 0
                                    


Beta duduk di depan komputer di ruang komputer sekolah. Malam semakin larut, dan ruang yang biasanya dipenuhi siswa kini kosong, hanya ada suara ketikan jari-jari Beta yang sibuk menelusuri jejak-jejak yang sudah lama hilang. Layar komputer berkedip dengan cepat saat ia memasukkan kata kunci yang sulit didapat, mencoba mencari informasi lebih lanjut yang bisa menghubungkan antara Sigma, kartel narkoba, dan pembunuhan ibunya Alpha.

Pikirannya berputar cepat, mengingat semua yang sudah mereka pelajari sejauh ini. Setiap langkah, setiap petunjuk, seolah membawa mereka lebih dekat kepada kebenaran yang tersembunyi di balik kegelapan masa lalu. Beta tahu mereka sudah sangat dekat, namun setiap jawaban yang mereka temukan semakin membingungkan, semakin berbahaya. Ia melanjutkan pencariannya, membuka file demi file, hingga akhirnya menemukan sebuah dokumen yang mencurigakan.

Judul file tersebut sangat sederhana: Penyelidikan Keluarga Detektif Richard.

Hati Beta berdegup kencang. Ia merasa seolah-olah menemukan potongan besar dari teka-teki yang sudah lama mengganggunya. Tangan Beta sedikit gemetar saat membuka file tersebut, matanya berfokus pada setiap kata yang tertera. Di halaman pertama, nama Alpha muncul dengan jelas, diikuti oleh beberapa referensi mengenai ibu Alpha yang ternyata sudah meninggal dalam kondisi yang sangat misterius.

Beta membaca dengan saksama, menemukan banyak file yang membahas tentang penyelidikan yang telah dilakukan. Namun, tiba-tiba penyelidikan itu berhenti begitu saja tanpa penjelasan lebih lanjut. Ada sesuatu yang tidak beres. Di antara catatan-catatan itu, ada sebuah rujukan yang mengarah pada pertemuan rahasia antara seseorang yang memiliki status tinggi di pemerintahan dan pihak-pihak yang diduga terlibat dalam kasus tersebut.

Nama yang muncul di akhir dokumen itu membuat Beta terhenyak: Ayah Sigma.

Beta (berbicara pada dirinya sendiri, hampir berbisik): "Ini... ini tidak mungkin. Ayah Sigma?"

Kecemasan dan kebingungannya bercampur aduk. Beta menarik napas panjang, berusaha mengatur pikirannya. Rasa lega sedikit mengalir karena akhirnya ia menemukan petunjuk yang lebih jelas, tetapi ada perasaan aneh yang menggelayuti. Bagaimana bisa seorang pembunuh besar terlibat dalam kasus ini dengan begitu mudah? Beta tahu, ia masih harus memverifikasi lebih banyak informasi, tapi satu hal yang pasti—ini semakin mendekati kebenaran yang sudah lama terkubur.

Dengan tekad baru, Beta mengirimkan file tersebut melalui pesan rahasia ke Alpha. Ia tahu, ini adalah langkah besar yang harus segera dibagikan.

Langit malam yang cerah memberikan kontras yang tajam dengan ketegangan yang menyelimuti atap sekolah. Angin sepoi-sepoi bertiup, menciptakan atmosfer yang mencekam. Di tepi atap, Alpha dan Beta berdiri berdampingan, masing-masing terhanyut dalam pikiran mereka sendiri. Mereka tidak memandang pemandangan malam yang indah di depan mereka; pikiran mereka jauh lebih berat, terfokus pada apa yang baru saja mereka temukan dan apa artinya bagi mereka.

Alpha menatap jauh ke bawah, wajahnya kosong, tampak lebih rapuh dari biasanya. Ketika Beta akhirnya menunjukkan bukti yang telah ditemukan, Alpha terdiam sejenak. Seolah, beban masa lalu yang kembali menghantui pikirannya.

"Kita sudah punya cukup bukti, Alpha," kata Beta dengan suara tegas. "Ayah Sigma terlibat dalam pembunuhan ibumu. Dia adalah bagian dari kartel narkoba besar yang sudah beroperasi lama di negara ini."

Alpha tetap diam. Matanya kosong, wajahnya tampak seperti baru saja dihantam kenyataan yang sangat sulit diterima. Sebuah kenyataan yang menjelaskan begitu banyak hal yang selama ini tidak terjawab. Dalam keheningan, pikirannya berputar cepat, mencoba mencerna kata-kata Beta. Ia merasa seolah-olah dinding masa lalunya runtuh dalam sekejap.

"Jadi... mereka membunuh ibuku untuk menutupi semuanya?" Alpha akhirnya berbicara, suaranya gemetar.

Suara Alpha bergetar, matanya mulai berkaca-kaca. Kenangan itu datang kembali dengan sangat jelas—kenangan tentang ibunya yang hilang begitu saja. Ia mengingat senyum hangat ibunya, suaranya yang lembut, dan akhirnya, momen tragis itu—pembunuhan yang mengguncang hidupnya. Kenapa ia harus melalui semua ini sendirian, tanpa penjelasan, tanpa siapapun yang memberinya jawaban?

Beta menatapnya dengan prihatin. "Alpha, ini bukan hanya soalmu. Ini tentang mengungkap kejahatan yang lebih besar. Kita harus melawan mereka."

Namun, meskipun Beta berusaha menenangkan, Alpha hanya terdiam. Perasaan itu begitu kuat dan menyakitkan, seolah kata-kata Beta semakin memperburuk luka yang ada dalam dirinya.

"Kenapa... kenapa aku tidak tahu sebelumnya? Kenapa aku harus melalui semua ini sendirian?" Alpha berkata pelan, suaranya hampir tak terdengar. Air mata mulai mengalir di wajahnya, namun ia berusaha menahannya. Ia menunduk, tidak ingin Beta melihat betapa hancurnya dirinya saat ini. Kenangan akan ibunya yang dibunuh begitu saja, tanpa keadilan, tanpa penjelasan, semakin menghancurkannya.

Beta, dengan nada lembut, mendekat dan menepuk bahu Alpha. "Kita akan menghadapinya bersama-sama, Alpha. Aku tahu ini berat, tapi kita akan temukan kebenarannya. Tidak ada lagi yang harus kau sembunyikan."

Alpha menundukkan kepalanya lebih dalam, air mata yang tak bisa lagi ia tahan mengalir deras. Beta, yang biasanya sedikit lebih ceria, kini hanya bisa berdiri di samping Alpha, memberikan dukungan sekuat yang ia bisa. Ia tahu ini bukan waktu untuk kata-kata, hanya ada kesunyian yang harus dibagi.

"Betapa bodohnya aku..." Alpha berkata pelan, hampir berbisik. "Selama ini aku berusaha mengabaikan kenyataan ini, mencoba melanjutkan hidup. Tapi sekarang, semua kenangan itu kembali. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi."

Beta berdiri diam beberapa saat, merasakan betapa berat beban yang sedang dipikul oleh sahabatnya. Ia tidak bisa mengungkapkan betapa menyesalnya ia bahwa Alpha harus melalui ini sendirian. Tapi ia tahu bahwa ia harus kuat untuk keduanya.

"Kau tidak sendirian, Alpha," Beta berkata, suaranya penuh empati. "Kita semua di sini untukmu. Jika ada satu hal yang bisa aku pastikan, itu adalah kita tidak akan biarkan mereka lolos begitu saja."

Alpha mengangkat kepalanya perlahan, menatap langit malam yang cerah. Rasa sakit itu masih ada, namun di dalam dirinya, ada tekad yang mulai tumbuh. Ia merasa lebih kuat, lebih siap untuk melawan apa pun yang ada di depan. Ia harus menghadapinya. Untuk ibunya, dan untuk dirinya sendiri.

"Kita akan selesaikan ini," Alpha berkata, suaranya lebih tenang namun penuh tekad. "Bukan hanya untuk ibuku, tapi untuk kebenaran yang sudah lama terkubur. Aku tidak akan membiarkan mereka menang."

Namun, meskipun kata-kata Alpha terdengar penuh tekad, matanya masih memantulkan keraguan. Beta bisa melihat itu. Alpha sedang berjuang melawan dirinya sendiri, berusaha mengendalikan emosi yang hampir menghancurkannya. Tapi Beta tahu satu hal yang pasti: mereka akan menghadapinya bersama. Tidak ada yang akan berjalan sendirian lagi.

Detektif Sekolah : Kasus CCTV yang rusakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang