Kegelapan malam mulai menyelimuti mereka, namun rasa sakit di hati Alpha lebih gelap daripada apapun yang ada di luar sana. Di tengah rasa kehilangan yang mendalam atas dua teman mereka yang telah gugur—Theta dan Eta—tim detektif berdiri di tengah kekacauan yang hampir tak bisa mereka kendalikan.
Mereka telah mengalahkan Sigma, yang sekarang terikat dan tak sadarkan diri di tanah. Suara sirene ambulans dan polisi terdengar jauh di luar lokasi, namun waktu terasa begitu lama. Mereka tahu bahwa sesuatu harus dilakukan, dan kali ini, mereka tidak ingin membuat kesalahan lagi.
Namun, sebelum polisi dan ambulans datang, Alpha berdiri diam di samping tubuh Sigma yang terikat, tatapannya penuh amarah dan kebencian yang tak bisa dia kendalikan. Rasa sakit yang terpendam begitu dalam, dan perasaan tak adil terhadap segala yang telah terjadi begitu kuat. Matanya bergerak perlahan dari tubuh Sigma yang tak bergerak ke tubuh Eta yang sudah terkulai, tak mampu bergerak lagi.
Semuanya terasa begitu sia-sia. Semua pengorbanan, semua perjuangan, semuanya berujung pada kehilangan yang tidak bisa diubah.
Alpha menatap tajam ke arah Sigma yang terikat, dan tanpa pikir panjang, tangannya meraih pisau yang masih tertancap di perut Eta, tanda dari pengorbanan terakhir sahabat mereka.
"Aku tidak bisa membiarkan ini berlanjut..." suara Alpha serak, penuh emosi. "Semua ini harus berakhir!"
Beta, yang melihat pergerakan Alpha, segera terjaga dari kelelahan fisik dan mentalnya. Instingnya sebagai teman, sebagai bagian dari tim, membuatnya tidak bisa diam. "Alpha... tunggu! Kita sudah menang. Kita harus bertanggung jawab!"
Namun, Alpha tidak mendengarkan. Setiap kenangan tentang Theta, setiap pengorbanan yang telah mereka lalui, berputar di pikirannya. Sigma adalah penyebab dari semua ini. Semua rasa sakit, semua kehilangan. Dia ada di sini—terikat dan tak berdaya.
Tanpa sadar, Alpha semakin menggenggam pisau itu erat. Wajahnya memerah, tubuhnya bergetar dengan amarah yang tak terbendung.
"Dia sudah mengambil semuanya dari kita, Beta! Mereka mati! Tidak ada yang bisa mengembalikannya! Ini... ini adalah balasannya!" suara Alpha terdengar menggelegar, gemetar dengan kemarahan.
Sigma, meskipun masih terbaring tak sadarkan diri, sedikit menggerakkan tubuhnya. Suaranya yang lemah terdengar samar, namun penuh kebencian. "Hah... kalian... tidak mengerti... apa artinya kebenaran..."
Alpha, yang sudah berada di ujung kendali, menggertakkan gigi, gemetar. "Aku tahu lebih baik dari siapa pun apa yang artinya kebenaran!"
Dengan itu, Alpha mengangkat pisau itu, siap mengakhiri segalanya—segala penderitaan yang telah diakibatkan oleh Sigma. Namun, tepat saat pisau itu mulai bergerak turun dengan kekuatan yang mengerikan, sesuatu menghentikan pergerakannya. Suatu sentuhan kuat, namun penuh ketenangan.
"Tidak, Alpha."
Omega muncul begitu cepat, tangan besarnya menahan pisau itu dengan telapak tangan terbuka. Darah mulai menetes dari luka di tangan Omega, namun ia tidak mundur. Alpha terkejut, matanya terbelalak melihat apa yang terjadi.
"Kita tidak bisa melanjutkan ini, Pemimpin. Ini bukan jalan yang benar. Ini bukan yang mereka inginkan."
Mata Alpha terbuka lebar, mulutnya terbuka untuk berkata sesuatu, namun kata-kata itu terhenti di tenggorokan. "Tapi... mereka... semua... telah... pergi!"
Omega, meskipun terasa sakit, tetap berdiri tegak di depannya. "Kita semua terluka, Alpha. Tapi kamu tidak bisa mengambil jalan ini sendirian. Jangan biarkan balas dendam membutakanmu."
Air mata mulai menggenang di mata Alpha, dan dalam hening yang panjang, dia akhirnya menyadari apa yang telah ia hampir lakukan. Amarahnya yang membara, rasa kehilangan yang begitu kuat, telah membutakan dirinya. Namun, Omega benar—tidak ada jalan lain selain untuk terus maju, untuk mencari kebenaran, dan untuk menghormati pengorbanan mereka yang telah hilang.
Beta, yang berdiri di sisi Alpha, meletakkan tangan lembut di bahunya. "Kita sudah menang. Sudah cukup, Alpha."
Alpha menatap tajam ke arah Sigma yang terbaring tak berdaya. Dengan tangan yang gemetar, dia akhirnya melepaskan pisau itu, membiarkannya terjatuh ke tanah dengan suara yang mengejutkan. Omega, meskipun darahnya masih mengalir dari tangan yang terluka, tetap berdiri di depan Alpha, memberikan kekuatan yang sangat dibutuhkan.
"Kamu tidak sendiri, Pemimpin. Kita semua ada di sini. Kita akan menghadapinya bersama-sama."
Saat polisi akhirnya tiba di lokasi, mereka langsung memastikan keadaan terkendali. Beberapa dari mereka terkejut melihat situasi ini, namun tidak ada yang bisa menyangkal kebenaran yang ada. Dengan cepat, Beta memberi penjelasan tentang keadaan yang sebenarnya. Polisi mulai mengurus Sigma, dan ambulan segera datang untuk membawa Eta, yang kini terbaring tanpa daya.
Namun, saat Alpha berbalik untuk melihat Eta, wajahnya kembali tertutup kesedihan yang mendalam. Eta, sahabat mereka, sudah pergi. Terlalu banyak yang telah hilang.
"Eta..." suara Alpha terhenti, bibirnya gemetar. "Aku... aku tidak bisa... menyelamatkanmu..."
Omega mendekat, memberikan pelukan singkat pada Alpha yang terpukul, sementara Beta segera melarikan diri untuk mendapatkan bantuan medis.
Dalam kebisuan yang menyakitkan, Alpha akhirnya memahami bahwa meskipun rasa sakit itu begitu besar, pengorbanan yang telah mereka alami akan membawa mereka menuju perubahan. Mereka harus melanjutkan perjuangan ini, bukan hanya untuk mereka sendiri, tetapi untuk Theta, untuk Eta, dan untuk kebenaran yang harus terungkap.
Saat polisi mulai mengurus situasi dan tim mereka kini hancur karena kehilangan, satu hal pasti: mereka telah mengalahkan Sigma, namun pengorbanan itu tetap menyisakan luka yang tak akan pernah hilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Detektif Sekolah : Kasus CCTV yang rusak
ActionAlpha adalah seorang anak dari detektif yang sangat terkenal, namun saat ibunya terbunuh ayahnya yang seorang detektif terbaik pun jatuh depresi. Dia pun bertekad untuk menjadi detektif yang lebih hebat dari ayahnya agar bisa menguak kasus pembunuha...