Chapter 26 : Kebenaran bayangan

2 0 0
                                    

Siang Hari, Rumah Sigma
Hening menyelimuti ruang makan rumah itu, hanya terdengar suara sendok yang sesekali menyentuh piring di tangan seorang anak kecil. Sigma kecil duduk di kursi kayu yang sedikit terlalu besar untuk tubuh mungilnya. Di hadapannya, ibunya, seorang wanita dengan wajah lembut namun penuh ketegasan, memandangnya dengan sorot mata yang menyelami kegelisahannya.

"Bu..." Sigma memulai dengan suara pelan, hampir berbisik. Tangannya memegang sendok seperti berpegangan pada harapan yang samar. "Apa yang aku lakukan ini benar? Aku ingin menjadi yang terbaik... tapi aku takut. Bagaimana kalau aku membuat kesalahan?"

Sang ibu tersenyum tipis, wajahnya memancarkan kehangatan yang mampu meredakan badai. Ia meraih kepala Sigma, mengusapnya dengan lembut. "Nak," katanya, suaranya seperti pelukan hangat di tengah dinginnya kebingungan, "yang terpenting adalah niatmu. Selama kau melangkah dengan hati yang tulus, mengikuti apa yang benar, itu sudah cukup. Dunia mungkin tidak selalu adil, tapi kau harus percaya pada kebenaran."

Sigma menunduk, matanya menatap kosong ke arah piringnya. "Tapi... bagaimana kalau dunia ini tidak peduli pada kebenaran, Bu? Bagaimana kalau aku kehilangan arah?"

Ibunya menarik napas panjang, menatap anaknya dengan penuh cinta. "Kebenaran, Nak, memang tidak selalu mudah. Kadang, jalannya terasa terjal dan sunyi. Tapi selama kau tidak meninggalkannya, kebenaran akan selalu menemanimu."

Kata-kata itu menancap di hati Sigma, seperti lilin kecil yang menerangi kegelapan. Namun, ia tidak tahu bahwa cahaya itu suatu hari akan redup.

Malam Kelam, Tragedi di Rumah
Suara gaduh di luar rumah memecah kesunyian malam. Sigma remaja berdiri di ruang tamu, tubuhnya kaku oleh firasat buruk. Pintu depan tiba-tiba terbuka paksa, engselnya berderit keras seperti jeritan perlawanan terakhir. Sekelompok pria bersenjata menerobos masuk, bayangan mereka menguasai ruang kecil itu.

Ibunya berdiri di depan Sigma, tubuhnya tegap meski tangannya sedikit gemetar. "Kalian tidak punya hak untuk ada di sini!" serunya, keberanian dalam suaranya lebih besar dari fisiknya.

Namun, pria-pria itu tak menggubrisnya. Dalam hitungan detik, suara tembakan menggema, mengoyak udara dan menghentikan segalanya. Sigma hanya bisa menatap, matanya melebar, saat tubuh ibunya tersentak ke belakang dan jatuh di hadapannya.

"BUUUUUUU!" Sigma berteriak, suaranya pecah oleh ketakutan dan kepedihan.

Ia jatuh berlutut di lantai, merangkak mendekati tubuh wanita yang selama ini menjadi tameng hidupnya. Tangannya gemetar saat menyentuh wajah ibunya yang kini terasa dingin. Mata itu, yang dulu selalu menatapnya dengan cinta, kini tertutup selamanya.

Hening. Bahkan dunia seakan berhenti berputar.

Hari Hujan, Di Depan Makam Ibunya
Hujan turun deras, mengguyur tubuh Sigma yang berdiri di depan sebuah makam sederhana. Rambutnya basah, pakaiannya menempel erat di tubuhnya, tapi ia tidak peduli. Tangan remajanya memegang erat sebuah kunci kecil—satu-satunya benda terakhir yang ia miliki dari ibunya.

Air matanya bercampur dengan air hujan, mengalir tanpa henti. Sigma memandang nisan itu dengan tatapan kosong, seolah mencari jawaban dari keheningan batu itu.

"Apa artinya kebenaran, Bu?" gumamnya, suaranya hampir tak terdengar. "Kau selalu bilang aku harus hidup dengan kebenaran, berjuang untuk itu. Tapi sekarang... setelah kau pergi, apa lagi yang harus aku kejar? Apa artinya kebenaran di dunia yang begitu kejam?"

Tangannya yang menggenggam kunci bergetar hebat. Napasnya tersengal, terpecah antara tangis dan amarah.

"Dunia ini... penuh kebohongan. Penuh pengkhianatan." Suaranya semakin keras, menggema dalam dinginnya hujan. "Apa itu kebenaran, kalau semua yang benar... dihancurkan?! Kalau semua yang aku percaya... diambil dariku?!"

Dia jatuh berlutut, membenamkan wajahnya ke tanah basah. Hujan terus mengguyur, seperti langit ikut menangisi kesedihan seorang anak yang kehilangan arah.

"Kebenaran itu tidak ada..." bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri. "Tidak ada."

Hujan terus turun, membasuh tangis dan amarah, tetapi tidak bisa menghapus luka di hatinya. Di hari itu, Sigma kehilangan segalanya—termasuk keyakinannya pada kebenaran.

Detektif Sekolah : Kasus CCTV yang rusakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang