Ruangan itu terasa semakin sesak, udara yang tebal seperti menahan napas. Setiap detik yang berlalu menambah berat beban yang mereka rasakan. Alpha, Beta, Omega, dan Eta berdiri mematung, mengepung Theta yang berdiri tegak dengan wajah penuh tekad di depan pipa gas yang retak. Suasana penuh ketegangan, dan mereka tahu—keputusan yang akan diambil dalam beberapa detik ke depan bisa menentukan hidup dan mati.
Langkah-langkah Sigma dan anak buahnya terdengar berat, semakin mendekat dengan intimidasi yang jelas. Tak ada jalan mundur. Hanya ada satu pilihan: maju atau menyerah.
Sigma menyeringai tajam, matanya berkilat penuh kebencian. "Jadi, siapa di antara kalian yang ingin mati duluan? Atau kalian semua ingin menyerah saja?" suaranya berat, penuh ancaman.
Alpha menggertakkan gigi, menatap Sigma dengan kemarahan yang meluap. "Kami tidak akan kalah darimu!" katanya, dengan napas yang terasa semakin cepat, mengutuk setiap keputusan yang membawa mereka ke titik ini.
Theta tetap tenang, matanya terpaku pada pipa gas yang retak. Perlahan, senyum tipis muncul di wajahnya, meski suasana begitu mencekam. "Tidak," ucapnya pelan, namun tegas. "Kami tidak akan kalah."
Omega menoleh cepat ke arah Theta, kecemasan jelas terpancar di matanya. "Apa maksudmu?" tanyanya, suara seraknya hampir hilang tertelan ketegangan.
Theta menatap satu per satu temannya. Napasnya berat, namun matanya memancarkan kepastian yang tak bisa digoyahkan. Ada rencana di balik setiap kata yang ia ucapkan. "Seseorang harus menghentikan mereka di sini. Dan itu... tugasku," kata Theta dengan keteguhan yang membuat hati mereka bergetar.
Alpha merasa marah dan terkejut, melangkah maju dengan ekspresi penuh perlawanan. "Tidak! Kita bisa keluar dari sini bersama-sama! Jangan bodoh, Theta!" serunya dengan suara keras, hampir berteriak.
Beta, yang biasanya tenang, suara tangisannya bergetar. "Ada cara lain. Harus ada cara lain!" ujarnya dengan penuh harap, seakan masih mencari jalan keluar.
Tetapi, Theta hanya tersenyum lembut pada mereka, meskipun matanya penuh kesedihan yang mendalam. "Dengar," katanya dengan suara yang lembut namun tegas. "Aku tahu kalian akan mencoba menghentikanku. Tapi ini bukan soal pilihan. Ini soal kesempatan. Dan aku adalah satu-satunya yang bisa memberikan itu untuk kalian."
Eta, yang mulai panik, memegang lengannya dengan erat. "Theta, tolong... jangan lakukan ini. Kita bisa mencari cara lain bersama-sama," kata Eta, suara cemasnya bergetar, hampir memohon.
Theta menggenggam tangan Eta sebentar, lalu menepuknya pelan dengan penuh keyakinan. "Kau tahu itu tidak mungkin. Aku percaya padamu, Eta. Kau bisa membawa mereka keluar," jawab Theta, matanya memancarkan kepercayaan yang tak terbantahkan.
Sigma, yang sejak tadi mengamati dengan sinis, tertawa pelan, namun penuh kebencian. "Ini menyedihkan, sungguh. Mengorbankan dirimu untuk apa? Dunia tidak peduli pada pahlawan," ejeknya dengan arogan.
Theta menatap Sigma dengan tatapan penuh keberanian. "Mungkin dunia tidak peduli," jawabnya sinis, "tapi aku peduli. Dan itu cukup."
Anak buah Sigma mulai bergerak lebih cepat mendekat. Keringat dingin mengalir di punggung mereka. Theta menoleh sekali lagi ke arah Alpha, Beta, Omega, dan Eta. Wajahnya kini serius, penuh komando.
Theta berbicara dengan suara rendah, hampir berbisik, seolah memaksa mereka untuk memahami. "Kalian harus pergi. Sekarang."
Omega yang tak bisa menerima kenyataan itu, menarik lengan Theta dengan histeris. "Tidak! Aku tidak akan meninggalkanmu!" teriaknya, matanya berkaca-kaca.
Alpha, yang tahu tidak ada waktu lagi, memegang bahu Omega dengan kuat, mencoba menenangkan emosi sahabatnya. "Omega, kita harus menghormati keputusannya," kata Alpha dengan suara berat, matanya pun sudah mulai memerah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Detektif Sekolah : Kasus CCTV yang rusak
AçãoAlpha adalah seorang anak dari detektif yang sangat terkenal, namun saat ibunya terbunuh ayahnya yang seorang detektif terbaik pun jatuh depresi. Dia pun bertekad untuk menjadi detektif yang lebih hebat dari ayahnya agar bisa menguak kasus pembunuha...