Chapter 6 : The Truth

3 0 0
                                    

Bayangan di Lorong Sekolah

Lorong sekolah yang biasanya ramai kini berubah menjadi tempat yang menyesakkan. Kegelapan menyelimuti setiap sudut, hanya diterangi oleh cahaya redup dari lampu tua yang berkerlip seperti akan mati. Suara derak kayu terdengar setiap kali Eta melangkah, menambah suasana mencekam.

Di ujung lorong, Sigma berdiri diam, tubuhnya tenggelam dalam bayangan, hanya wajahnya yang samar terlihat di bawah cahaya temaram. Tatapannya dingin, menusuk seperti belati yang siap menghunjam. Eta menelan ludah, mencoba menenangkan napasnya yang tiba-tiba terasa berat.

Sigma melangkah maju, pelan namun penuh ancaman. Setiap gerakannya seperti dirancang untuk menekan lawannya.

"Jadi," Sigma membuka suara, nadanya rendah namun mematikan. "Apa yang mereka lakukan sekarang?"

Eta mengangkat dagunya sedikit, mencoba tampak tenang meski tangan yang ia sembunyikan di balik punggungnya mengepal erat. "Mereka hanya mencari petunjuk biasa. Belum menemukan apa-apa."

Sigma mendekat, jaraknya kini hanya beberapa inci dari Eta. Nafasnya yang tenang namun dingin terasa di wajah Eta. "Kau yakin?" tanyanya, suara itu bagai bisikan yang menelusup ke dalam pikiran, menggali rasa takut yang berusaha Eta kubur dalam-dalam.

Eta mengangguk. "Ya. Aku pastikan mereka tidak akan sampai ke inti masalah ini."

Sigma menyeringai tipis, senyum yang penuh bahaya. Ia mendekat lebih jauh, hingga wajahnya sejajar dengan Eta. "Bagus," katanya perlahan, nadanya hampir seperti pujian. "Tapi dengar baik-baik, Eta. Kalau sampai mereka mendekati sesuatu yang seharusnya tidak mereka ketahui... kau tahu apa yang bisa terjadi, bukan?"

Eta mencoba menatap Sigma dengan teguh, namun matanya tak bisa menyembunyikan kegelisahan. Sigma tertawa pelan, suara itu bagai ironi yang melukai.

"Rumahmu... keluargamu," Sigma melanjutkan, nadanya kini lebih menekan. "Ayahmu itu pion kecil dalam permainan ini. Ayahku? Dia bisa menyingkirkan orang seperti ayahmu hanya dengan satu panggilan telepon. Kau mengerti maksudku, kan?"

Rahang Eta mengeras, tapi ia tak menjawab. Ada kemarahan yang membara di dalam dirinya, namun ia tahu lebih baik untuk menahannya. Sigma menepuk bahunya dengan ringan, seolah menyampaikan simpati palsu.

"Kau punya pilihan, Eta. Pilihan yang mudah. Lakukan tugasmu... atau kau bisa pulang menemukan rumahmu kosong. Atau lebih buruk lagi, penuh darah."

Ancaman itu menghantam Eta seperti palu. Meski tubuhnya tetap tegak, pikirannya mulai dipenuhi bayangan kelam. Sigma tersenyum puas melihat efek kata-katanya.

"Jangan kecewakan aku, Eta," bisik Sigma tajam sebelum berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan gema langkah kakinya di lorong yang kembali sunyi.

Eta berdiri kaku, dadanya sesak oleh ketakutan yang tak terkatakan. Namun, di balik rasa takut itu, ada bara kecil yang mulai menyala—bara yang bisa berubah menjadi api, jika waktu dan keadaan memaksanya.

Keesokan Harinya

Suasana lorong sekolah yang sibuk pagi itu tak mampu menghapus bayang-bayang ancaman Sigma dari benak Eta. Ia berjalan di belakang Alpha, Beta, dan Theta, mencoba tampak santai meski setiap langkah terasa seperti mimpi buruk.

"Jadi, kita mulai dari mana?" tanya Theta ceria, tangannya dimasukkan ke dalam saku blazer seragamnya. "Kalau kalian butuh pengalih perhatian, aku bisa pura-pura jatuh dramatis di depan siapa pun!"

Beta tersenyum tipis, sementara Alpha hanya menggelengkan kepala, namun sedikit lengkungan di bibirnya menunjukkan bahwa ia menghargai usaha Theta untuk meringankan suasana.

"Kita mulai dari anak-anak yang biasa nongkrong di lapangan olahraga," jawab Alpha, suaranya tegas namun tenang. "Mereka mungkin melihat sesuatu sebelum CCTV mati."

Eta mengikuti mereka dengan langkah pelan, mendengarkan percakapan sambil menimbang-nimbang langkah berikutnya. Jika Alpha dan Beta menemukan sesuatu yang terlalu dekat dengan kebenaran, Sigma pasti tidak akan tinggal diam. Tapi Eta juga tahu, jika ia terlalu mencolok, kecurigaan akan berbalik ke arahnya.

Mereka berbicara dengan beberapa siswa, namun jawaban yang mereka dapatkan sama: tidak ada yang tahu apa-apa. Beberapa bahkan terlalu takut untuk memberikan informasi, seperti ada sesuatu yang lebih besar dari mereka yang membuat mereka memilih diam.

Di akhir pencarian hari itu, mereka bertiga berdiri di bawah bayangan pohon besar dekat taman sekolah. Angin sore berembus lembut, namun tak cukup untuk meredakan ketegangan di antara mereka.

"Sepertinya setiap petunjuk sudah dihapus," kata Beta pelan, suaranya mencerminkan rasa frustrasi yang ia tahan-tahan.

"Mungkin kita perlu strategi baru," tambah Theta dengan senyum kecil, mencoba tetap optimis.

Alpha mengangguk pelan, pandangannya menerawang jauh. "Besok, kita coba cara lain."

Eta berdiri agak jauh, memperhatikan mereka dengan wajah datar. Namun, di dalam dirinya, pikirannya terus berperang. Kata-kata Sigma masih menggema di kepalanya, menekan hatinya seperti beban yang tak terlihat.

Di sisi lain taman, Sigma berdiri di antara kerumunan siswa yang sedang pulang. Dari bayangan gedung, ia mengamati mereka dengan senyum tipis penuh kemenangan. Bagi Sigma, setiap detik yang berlalu adalah permainan psikologis. Dan sejauh ini, ia selalu menjadi pemenang.

Detektif Sekolah : Kasus CCTV yang rusakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang