Suasana di lorong semakin menekan. Langkah kaki Sigma yang berat dan pasti menggema dalam kesunyian malam, menghantui setiap detik yang berlalu. Tak ada suara lain selain langkahnya yang teratur, seolah dia tahu betul bahwa mereka sudah terpojok. Ketegangan mengalir seperti listrik yang mengisi udara, membuat setiap napas terasa lebih berat. Ketika bayangan besar itu akhirnya muncul di ujung lorong, wajah Sigma tidak menunjukkan emosi apapun—hanya ekspresi datar yang menggambarkan betapa besar kendali yang dimilikinya.
Dia berjalan pelan, mengamati reaksi mereka satu per satu. Setiap gerakan tubuh mereka, setiap tatapan mata, Sigma menyerapnya dengan teliti. Dia tidak terburu-buru—ini bukan sekedar ancaman fisik bagi mereka. Ini adalah permainan psikologis yang telah dia persiapkan dengan cermat.
Sigma (dengan suara datar, penuh perhitungan, menatap mereka satu per satu): "Kalian kira bisa lari? Kalian kira bisa menyembunyikan apa pun dari aku? Semua gerakan kalian... semuanya sudah kuhitung."
Kata-kata Sigma seperti pisau yang merobek keheningan. Tidak ada rasa emosi di suaranya, hanya ketenangan yang mengintimidasi. Dia tidak menyentuh mereka dengan fisik—tapi dengan kata-kata, dengan setiap gerakan yang dia buat, dia sudah berhasil menggali ketakutan yang paling dalam dari dalam diri mereka.
Setiap detik yang berlalu terasa semakin mencekam. Mereka tidak bisa bergerak, seolah waktu memanjang, menjebak mereka dalam ketidakpastian. Mereka tahu bahwa Sigma bukan hanya berbahaya fisik, tapi juga mental—seorang penjahat yang memainkan psikis mereka seperti pion dalam permainan catur.
Sigma (senyum tipis mulai muncul, meskipun tetap dingin, dan matanya tetap tajam): "Percaya diri kalian memang mengesankan. Tapi kalian sudah salah. Ini bukan tentang siapa yang lebih kuat, ini tentang siapa yang bisa tetap tenang saat semua orang mulai panik."
Sigma melangkah lebih dekat, setiap langkahnya membuat mereka semakin merasa terjepit. Tidak ada senyum sinis, tidak ada amarah yang keluar dari mulutnya—hanya ketenangan yang meresap perlahan ke dalam hati mereka.
Sigma (berhenti di depan mereka, mengamati wajah-wajah cemas mereka): "Kalian berpikir kalian sudah tahu segalanya. Bahwa kalian bisa melawan, mengungkapkan semuanya. Tapi kalian tidak tahu apa yang kalian hadapi."
Dia menatap Alpha dengan pandangan tajam, seolah-olah sedang membaca pikirannya. "Alpha, kamu selalu menjadi pemimpin, bukan? Terlalu percaya diri, bukan? Bagaimana rasanya memimpin ketika kamu tahu tidak ada jalan keluar?"
Alpha terdiam, lidahnya kelu. Kata-kata Sigma seperti jarum yang menusuk, membuatnya meragukan segala keputusan yang telah mereka buat. Kegelisahan mulai menggerogoti pikirannya.
Sigma (melanjutkan dengan nada yang lebih dalam, hampir menggoda): "Beta, kamu mengira dirimu berani. Tapi itu hanya untuk menutupi ketakutanmu. Cobalah ingat—kapan terakhir kali kamu merasa benar-benar aman? Aku tahu jawabannya, dan itu bukan di sini."
Beta menundukkan kepala, tidak bisa menahan pandangan tajam Sigma yang menelusuri setiap inci dirinya. Semua keyakinannya tiba-tiba terasa rapuh, seakan-akan dunia yang dibangunnya runtuh dalam sekejap.
Sigma (menatap Omega dengan ekspresi datar, tetapi nada suaranya penuh tekanan): "Omega, kamu tampaknya lebih tenang dari yang lain. Tapi aku tahu kamu merasakannya—rasa takut itu. Bahkan orang sekeras kamu pun tidak bisa menghindari rasa takut. Semua orang memiliki titik lemah."
Omega, meskipun berusaha menjaga ketenangannya, bisa merasakan ketegangan yang mulai merayap di tubuhnya. Sigma tahu persis cara menggoyahkan kepercayaan dirinya.
Kemudian, Sigma beralih ke Eta, yang berdiri di belakang. Dia mendekat, langkahnya yang pelan namun pasti membuat Eta merasa semakin terperangkap. Mata Sigma menatapnya tajam, dengan senyum dingin yang tak terlukiskan.
Sigma (berbisik dengan nada yang halus, hampir menggoda): "Eta, kamu selalu berpura-pura tenang, kan? Pura-pura tidak terpengaruh. Tapi aku tahu. Kamu lebih takut dari yang kalian kira."
Eta menatap Sigma, hatinya mulai berdebar. Kata-kata itu membuatnya meragukan ketenangan yang dia tunjukkan selama ini. Setiap kata Sigma seperti menelanjangi dirinya, membuatnya merasa begitu rapuh.
Sigma (melangkah mundur, suara berubah menjadi lebih lembut, tetapi lebih menekan): "Jadi, apa yang kalian lakukan sekarang? Mengungkapkan kebenaran? Mencari pelarian? Semuanya sudah terlambat. Semua bukti yang kalian coba sembunyikan... sudah terlalu lama aku amati."
Dia mengambil langkah mundur yang dramatis, seolah memberi mereka ruang untuk merasakan ancaman yang mengintai. Wajahnya tanpa ekspresi, tetapi mata Sigma berbicara lebih dari cukup. Semua harapan mereka, semua usaha mereka untuk melawan, tampak begitu kecil di hadapannya.
Sigma (menghela napas pelan, suaranya rendah dan mengancam): "Sudah cukup waktu untuk berpikir. Kalian sudah tahu siapa yang menang. Kalian bisa berlari, tapi tidak akan ada tempat yang aman. Tidak ada yang bisa kalian lakukan untuk melawan."
Dengan itu, Sigma berbalik, meninggalkan mereka di lorong yang terasa semakin sempit. Setiap langkah Sigma meninggalkan jejak ketakutan yang mengendap di hati mereka, membenamkan mereka dalam perasaan tak berdaya. Mereka tahu—ini bukan hanya tentang melarikan diri. Ini adalah pertarungan untuk bertahan hidup dalam permainan psikis yang telah dimulai Sigma.
Dan mereka hanya bisa berharap mereka akan cukup kuat untuk bertahan hingga akhir permainan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Detektif Sekolah : Kasus CCTV yang rusak
ActionAlpha adalah seorang anak dari detektif yang sangat terkenal, namun saat ibunya terbunuh ayahnya yang seorang detektif terbaik pun jatuh depresi. Dia pun bertekad untuk menjadi detektif yang lebih hebat dari ayahnya agar bisa menguak kasus pembunuha...