Serangan Sigma datang dengan kekuatan yang tak terbayangkan. Setiap tendangan dan pukulan yang dilancarkan bagaikan ledakan dahsyat yang menghantam keempat detektif muda itu tanpa ampun. Mereka bergerak cepat untuk menghindar, namun tubuh mereka sudah terlalu lelah, terlalu terluka untuk menghindari semua serangan.
Sigma—kini bukan hanya seorang anak dari keluarga berpengaruh yang terluka—tetapi monster yang kehilangan segala batasan moral. Kekuatannya yang luar biasa menggerakkan tim detektif ke tepi kehancuran. Alpha, Beta, dan Omega hanya bisa mundur, terdesak oleh brutalitasnya.
Namun, di tengah segala kegilaan itu, Eta, yang sejak awal selalu tenang dan penuh strategi, menyadari bahwa mereka tidak akan mampu mengalahkan Sigma dengan cara biasa. Kekuatan Sigma terlalu besar untuk dihadapi dengan kekuatan fisik semata. Sesuatu harus dilakukan, dan jika itu berarti mengorbankan diri, maka Eta rela untuk melakukannya.
Dengan tekad yang tak tergoyahkan, Eta mengambil langkah maju. Meskipun tubuhnya sudah kelelahan, tubuhnya tergores luka, dan darahnya hampir tidak cukup untuk mengalir dengan normal, Eta bergerak dengan tujuan yang jelas.
"Kita tidak bisa kalah di sini," gumamnya, dengan suara yang masih terdengar tegas meskipun tubuhnya hampir tak mampu bergerak.
Tanpa peringatan, Eta menerjang ke arah Sigma, memanfaatkan kesempatan saat Sigma terfokus pada Alpha yang terluka parah. Dalam sekejap, Eta melompat dan menancapkan tangannya ke senjata yang dipegang Sigma—sebuah pisau berkilau tajam yang masih berdarah. Dengan segenap tenaga yang tersisa, Eta menggenggam pisau itu dengan tangan kanannya, berusaha menahannya agar tidak digunakan untuk membunuh mereka.
Namun, kekuatan Sigma yang luar biasa tidak bisa dihentikan oleh satu tangan saja. Dengan senyum dingin, Sigma menarik pisau itu kembali dan menancapkannya dengan kekuatan penuh—langsung ke perut Eta.
"Eta!" jerit Alpha, matanya penuh ketakutan, tak percaya pada apa yang dilihatnya.
Tapi, meskipun serangan itu menghancurkan tubuh Eta, tangan kiri Eta tetap menggenggam pisau itu erat—terkunci. Meskipun darah mengalir deras, ia tetap berusaha menahan senjata itu, memastikan Sigma tidak bisa menariknya kembali.
Sigma, dengan wajah yang dipenuhi kebencian dan kemarahan, mencoba menarik pisau itu, namun tak bisa. Tubuh Eta yang terbaring kini mengunci pergerakan Sigma. Namun, di dalam darah yang mengalir deras dari luka di perutnya, Eta sudah kehilangan kesadaran.
"Eta..." suara Beta pecah, mata penuh air mata. Mereka semua melihat sahabat mereka terbaring tak bergerak, tubuhnya terjerat dalam pengorbanan yang begitu besar. Tidak ada yang bisa mereka lakukan selain menghadapinya dengan hati yang hancur.
Dalam keputusasaan dan amarah yang mendalam, Omega tahu bahwa satu-satunya cara untuk menghentikan Sigma adalah dengan melumpuhkannya—sebelum semuanya terlambat. Tanpa berpikir panjang, Omega berlari dengan kecepatan luar biasa dan dengan satu gerakan yang penuh kekuatan, dia memukul tengkuk Sigma dengan tangan kanannya yang kuat.
Sigma terhuyung, tubuhnya terjatuh ke tanah. Namun, ia masih hidup, berjuang untuk bangkit. Di bawah tekanan, tubuhnya yang besar dan berotot tampak goyah, namun tidak cukup untuk benar-benar menghentikannya.
Setelah serangan Omega, Sigma akhirnya jatuh tak bergerak, namun Omega dan Beta segera berlari menuju Eta yang terbaring di tanah, tubuhnya terlumuri darah. Alpha, yang sebelumnya tampak penuh harapan, kini terdiam, mata terbelalak saat ia melihat sahabatnya yang hampir tak bernyawa.
"Eta... Eta, jangan pergi..." suara Alpha terhenti, dan air mata mulai mengalir begitu saja, tak terbendung lagi.
Eta, yang kini hanya bisa tersenyum lemah, membuka mata dengan susah payah. "Kalian... menang... itu yang penting," bisiknya, suaranya hampir tidak terdengar, namun cukup untuk meninggalkan kesan mendalam. "Jaga... kalian... tetap bersama..."
Di tengah-tengah kekacauan dan darah yang mengalir, ada satu hal yang pasti: mereka telah kehilangan seseorang yang sangat berharga. Eta, yang selalu menjadi penyeimbang, yang selalu tenang dan bijaksana, telah mengorbankan dirinya demi mereka.
Dan meskipun Sigma akhirnya dikalahkan, rasa sakit dan kehilangan yang mereka rasakan jauh lebih dalam daripada apapun yang pernah mereka hadapi sebelumnya.
Dengan Sigma terjatuh, tidak ada lagi ancaman langsung yang harus mereka hadapi. Namun, mereka tidak merayakan kemenangan itu. Semua yang tersisa adalah luka—luka fisik dan luka hati yang tak terobati. Tim detektif yang terdiri dari Alpha, Beta, dan Omega kini berdiri bersama di samping sahabat mereka yang telah gugur.
"Semua ini sia-sia..." suara Beta tercekat, sementara Omega hanya bisa mengangguk, matanya penuh amarah yang belum pernah terlihat sebelumnya.
Alpha menundukkan kepala, tidak mampu berbicara. Eta telah memberikan segalanya untuk mereka, dan sekarang mereka harus menghadapi kenyataan pahit bahwa pengorbanan itu harus dibayar dengan darah. Mereka telah kehilangan lebih dari sekedar seorang teman—mereka kehilangan bagian dari diri mereka sendiri.
Tim detektif itu berdiri dalam diam, menyadari bahwa meskipun mereka telah mengalahkan Sigma, kebenaran dan keadilan tetap terasa kosong tanpa Eta di sisi mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Detektif Sekolah : Kasus CCTV yang rusak
ActionAlpha adalah seorang anak dari detektif yang sangat terkenal, namun saat ibunya terbunuh ayahnya yang seorang detektif terbaik pun jatuh depresi. Dia pun bertekad untuk menjadi detektif yang lebih hebat dari ayahnya agar bisa menguak kasus pembunuha...