Hujan rintik turun di malam yang sunyi, membuat suasana semakin mencekam. Di sebuah lokasi terpencil yang mereka anggap aman, tim detektif sekolah—Alpha, Beta, Eta, dan Omega—berkumpul. Di atas meja kayu yang tua dan rapuh, peta terbentang, penuh coretan dan tanda yang menandakan kemajuan mereka.
Alpha berdiri di depan peta, kedua tangannya mengepal di sisi meja. Raut wajahnya tegang, matanya tak lepas dari tanda-tanda terakhir yang mereka buat di peta itu.
"Kita harus hati-hati," katanya dengan nada tegas, tapi ada kekhawatiran di balik suaranya. "Mereka tidak akan tinggal diam. Tapi... kita hampir selesai, bukan?"
Beta menyandarkan tubuhnya ke kursi, tangannya mengelus dagu sambil berpikir. "Ya," jawabnya pelan. "Tapi aku masih merasa ada sesuatu yang hilang. Kalian merasa... aneh, kan? Sepertinya ada yang belum selesai."
Eta, yang duduk di sudut ruangan dengan laptopnya, menatap layar dengan tatapan tajam. "Berdasarkan data yang kita dapatkan, kita sudah menghapus banyak bukti. Tapi ada satu hal yang mengganggu saya—informasi tentang Sigma. Tidak ada jejak setelah hari itu."
Omega, yang sebelumnya diam, menoleh dengan serius. "Tapi kita lihat sendiri. Dia pasti mati di gudang itu," katanya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Alpha mengangkat kepalanya, menatap teman-temannya satu per satu. "Tidak," katanya dengan suara yang lebih dalam. "Kalau kita hanya fokus pada hal yang sudah kita kalahkan, kita akan terlena. Kita harus tetap waspada."
Ketegangan di ruangan itu begitu tebal, hingga suara mesin berat dari kejauhan terasa seperti ledakan kecil yang memecah keheningan. Mereka serempak menoleh ke arah suara itu.
"Suara apa itu?" tanya Omega dengan nada panik.
Mereka berlari keluar, hanya untuk disambut oleh kegelapan malam yang dingin. Namun, dari balik bayangan pohon-pohon, sebuah sosok muncul perlahan. Sigma.
Dia tampak jauh lebih brutal dibandingkan terakhir kali mereka melihatnya. Wajahnya penuh luka dan bekas terbakar, dengan tatapan liar yang membakar amarah. Pakaian hitamnya basah oleh hujan, tapi itu hanya menambah kesan mencekam pada kehadirannya.
Sigma tersenyum sinis, suaranya rendah dan hampir seperti geraman. "Kalian pikir kalian sudah mengalahkan saya?" katanya. "Kalian tidak tahu apa yang telah saya lakukan untuk bertahan hidup. Kalian akan menyesal."
Keempat anggota tim detektif terdiam, wajah mereka dipenuhi keterkejutan dan ketakutan.
"Tapi... tapi kau seharusnya sudah mati di gudang!" Omega berbisik, suaranya nyaris hilang.
Sigma melangkah mendekat, gerakannya lambat tapi mengancam. "Mati?" katanya sambil menyeringai dingin. "Kalian masih terlalu muda untuk memahami. Aku tahu kalian pikir kalian sudah menang. Tapi apa yang kalian tahu tentang bertahan hidup di dunia yang kejam ini? Aku bukan lagi anak yang dulu. Aku sudah menjadi sesuatu yang lebih besar. Aku sudah melewati semua itu, dan sekarang aku akan menghancurkan kalian semua."
Alpha, meskipun wajahnya menunjukkan kemarahan dan ketidakpercayaan, mencoba menenangkan diri. "Kau... kau selamat?" tanyanya dengan nada rendah.
Sigma tertawa dingin, suaranya menggema di malam itu. "Kalian mengira dunia ini tentang 'kebenaran,' bukan? Dunia ini tentang siapa yang bertahan, siapa yang kuat. Kau harus siap untuk mengorbankan apa saja—dan kalian... kalian tidak siap."
Langkahnya semakin cepat, membuat Alpha, Beta, Eta, dan Omega mundur dengan cemas. Mereka menyadari bahwa Sigma bukan lagi hanya seorang pemimpin kartel; dia adalah monster yang telah kehilangan semua batas moralitas.
"Mereka harus dihukum," Sigma melanjutkan, suaranya penuh kebencian. "Aku sudah melihat kebenaran yang sangat berbeda. Sejak ibuku dibunuh, aku belajar bahwa kebenaran itu hanya ilusi. Semua yang kita percayai hanya membatasi kita. Dan kalian—kalian akan menjadi contoh. Tidak ada yang selamat kali ini!"
Hujan semakin deras ketika Sigma berhenti beberapa langkah di depan mereka. Dalam diam, kilatan masa lalu Sigma menyeruak—ibunya yang terbunuh, pengkhianatan orang-orang terdekat, dan perjuangannya untuk bertahan hidup di dunia yang tidak adil.
"Ibu mengajarkan aku tentang kebenaran," katanya dengan nada rendah, tatapannya menusuk ke arah Alpha. "Tapi kalian tahu apa yang aku pelajari setelahnya? Kebenaran itu tidak berguna. Yang penting adalah siapa yang bisa mengendalikan segalanya. Dan aku akan mengendalikan segalanya."
Alpha balas menatapnya dengan tekad yang membara. "Kau telah kehilangan arah, Sigma. Ini bukan tentang siapa yang kuat, tapi tentang apa yang benar."
Sigma menyeringai, penuh sinisme. "Kebenaran... apa itu? Hanya ilusi. Dan aku tidak lagi membutuhkan ilusi."
Dalam sekejap, Sigma melompat maju, menyerang dengan brutal. Tim detektif terpaksa bertarung dengan segala cara yang mereka bisa. Namun, di tengah pertempuran yang kacau itu, mereka menyadari bahwa Sigma telah berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih berbahaya daripada yang pernah mereka bayangkan.
Hujan terus mengguyur tanpa henti, seolah menjadi saksi bisu dari pertarungan sengit antara kebenaran dan kekejaman, antara cahaya dan kegelapan. Dan dalam hujan itu, Sigma memulai babak baru balas dendamnya, sebuah pertempuran yang tidak hanya mengancam hidup mereka, tetapi juga harapan terakhir mereka untuk bertahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Detektif Sekolah : Kasus CCTV yang rusak
ActionAlpha adalah seorang anak dari detektif yang sangat terkenal, namun saat ibunya terbunuh ayahnya yang seorang detektif terbaik pun jatuh depresi. Dia pun bertekad untuk menjadi detektif yang lebih hebat dari ayahnya agar bisa menguak kasus pembunuha...