Chapter 28 : Hope

1 0 0
                                    


Siaran langsung yang diretas oleh Eta menyebar bak api yang melalap rerumputan kering. Di layar ponsel, komputer, hingga televisi, pidato Alpha menggemparkan hati dan pikiran. Komentar-komentar membanjiri setiap platform, menggambarkan berbagai emosi—kemarahan, keterkejutan, dukungan, bahkan ketakutan.

"Apa yang baru saja saya lihat? Ini mengerikan! Ayah Sigma?! Kartel narkoba?!"

"Saya tahu ada yang aneh dengan pemerintah kita, tapi ini terlalu jauh. Kita harus berdiri bersama mereka!"

"Ini gila! Tapi mereka benar. Sekarang kita tahu siapa yang mengendalikan semuanya!"

Di sisi lain, ada juga yang merasa terpukul, tidak mampu menghadapi kenyataan pahit yang terungkap.


Beta memegang ponselnya erat, matanya terpaku pada layar yang terus dipenuhi komentar. Ia menelan ludah, lalu memandang Alpha dengan cemas.
"Alpha, kita harus siap," katanya dengan nada waspada. "Pihak yang terlibat tidak akan tinggal diam. Mereka akan melakukan segala cara untuk menghapus jejak ini. Ini baru permulaan."

Alpha menatap layar laptopnya, wajahnya mencerminkan campuran keyakinan dan kecemasan. Namun, tekad dalam sorot matanya jauh lebih kuat. "Kita sudah memulai sesuatu yang besar," ujarnya dengan suara dalam. "Tidak ada jalan mundur. Kita harus terus maju, apapun yang terjadi. Karena ini bukan hanya tentang kita lagi—ini tentang semua orang yang telah dirusak oleh mereka."


Di jalanan kota, orang-orang terpaku menonton video Alpha. Sebuah keluarga kecil memandang layar televisi di ruang tamu mereka, terdiam oleh keterkejutan. Seorang ibu menangis sambil memeluk anaknya, mengingat suaminya yang menjadi korban kartel.

Sebagian masyarakat mulai menyuarakan dukungan mereka di media sosial, mengutuk kartel yang telah merenggut begitu banyak nyawa. Namun, ada juga yang ketakutan, merasa ancaman yang lebih besar akan datang.

Sigma duduk di sudut ruangan gelap yang remang, hanya diterangi kilauan cahaya redup dari ponselnya. Gudang itu sunyi, hanya ada bunyi tetesan air yang jatuh ke lantai beton, menciptakan irama pelan yang memekakkan telinga dalam keheningan. Di layar, wajah Alpha berbicara dengan penuh keyakinan, mengungkap kebusukan yang selama ini tersembunyi rapi di balik nama keluarganya.

Pupil mata Sigma menyempit, wajahnya kaku. Tangan yang memegang ponsel bergetar hebat, otot-ototnya menegang sampai buku-bukunya memutih. Nafasnya menjadi berat, seperti seekor banteng yang siap menyeruduk musuh. Tapi bukan hanya amarah yang memancar dari matanya—di balik tatapan itu ada luka, rasa dikhianati, dan kehancuran yang mendalam.

Sigma bergumam, suaranya rendah dan parau, hampir seperti bisikan dari dasar neraka. "Mereka... mereka telah melangkah terlalu jauh."

Perlahan, gumaman itu berubah menjadi geraman yang makin keras. Dengan satu gerakan brutal, ia melemparkan ponselnya ke dinding. Suara benturan keras memenuhi ruangan, serpihan layar ponsel berhamburan ke segala arah, beberapa tertinggal di retakan dinding beton yang dingin.

Sigma bangkit. Tubuhnya gemetar, tidak hanya karena kemarahan tetapi juga karena keputusasaan yang membakar seluruh kesadarannya. Matanya menatap kosong ke dinding gelap, tapi bibirnya bergetar, mengeluarkan kata-kata yang dipenuhi amarah dan kebencian.
"Mereka pikir bisa menghancurkan aku? Menghancurkan semuanya yang telah kubangun?"

Kakinya menghentak lantai, menghasilkan gema yang mengguncang ruangan kosong itu. Tangannya mencengkeram rambutnya, lalu menariknya dengan keras, seperti ingin merobek dirinya sendiri. Nafasnya menjadi semakin memburu, seperti binatang yang terluka parah.

Sigma tertawa kecil, tetapi tidak ada kebahagiaan di dalamnya. Tawa itu melengking, beresonansi dengan bunyi tetesan air, membuat suasana semakin mencekam. Ia mengambil sebuah palu tua dari tumpukan barang di dekatnya, lalu menghantam meja kayu di depannya dengan kekuatan yang cukup untuk memecahkan papan kayu tersebut menjadi serpihan.

"Kalian... pikir aku akan membiarkan ini? Aku akan menghancurkan kalian semua... satu per satu."

Ia memandang tangannya yang berdarah akibat serpihan kayu. Tidak ada rasa sakit di wajahnya—hanya ada tatapan gila yang dipenuhi tekad gelap. Sigma berjalan ke salah satu sudut gudang, di mana sebuah meja kecil penuh botol kimia dan peralatan yang mencurigakan berada. Ia mengamati cairan di dalam botol itu dengan senyum tipis yang menakutkan, lalu berkata pada dirinya sendiri dengan nada seperti mantra:
"Jika mereka ingin perang... aku akan memberi mereka neraka."

Ruangan terasa semakin mencekam, seperti udara menjadi lebih berat. Sigma, dengan tubuh yang penuh kemarahan dan pikiran yang terdistorsi, kini tidak lagi memikirkan konsekuensi. Ia hanya ingin melihat dunia yang telah menghancurkannya terbakar bersama orang-orang yang ia anggap sebagai musuh.



Alpha berdiri di tengah ruangan, menatap teman-temannya dengan pandangan penuh keyakinan. "Kita sudah membuka mata banyak orang," katanya, suaranya tegas meskipun terlihat ada beban berat di matanya. "Sekarang, saatnya kita menuntut keadilan. Ini belum selesai. Mereka yang selama ini mendalangi kejahatan ini akan membayar."

Beta mengangguk, meskipun ada sedikit getaran di tangannya. "Dan kita akan berdiri bersama," ujarnya dengan keteguhan. "Tidak ada yang bisa menghentikan kita."

Omega bersandar di meja, menatap Alpha dan Beta dengan penuh keyakinan. "Kita sudah sejauh ini," katanya singkat, namun penuh arti. "Mundur bukan lagi pilihan."

Di luar kelas, gelombang kebenaran yang Alpha dan timnya sampaikan mulai mengguncang sistem yang selama ini berdiri kokoh dalam kebohongan. Namun, ancaman juga mulai berdatangan, menanti langkah mereka berikutnya.

Masyarakat mulai berani angkat bicara. Orang-orang yang kehilangan keluarga karena kartel akhirnya memiliki suara, sementara mereka yang di pihak kartel mulai resah, takut nama mereka terungkap.

Alpha tahu—perang yang mereka mulai baru saja memasuki babak paling berbahaya.

Detektif Sekolah : Kasus CCTV yang rusakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang