Dua Puluh Empat

971 309 58
                                    


Keesokan paginya, seperti biasa, Winda sudah berkutat di dapur bahkan sebelum azan subuh berkumandang.

Semalaman Giri tidak berhasil memaksa matanya untuk terpejam. Matanya nyalang menatap langit- langit kamar. Lalu ia keluar ke balkon untuk merokok.

Pagi itu, begitu mendengar aktivitas di dapur, Giri yang matanya sudah merah banget, memaksa dirinya untuk keluar kamar setelah gosok gigi dan menunaikan panggilan biologisnya.

Ia melihat Winda di dapur. Namun kali ini bukan dalam balutan pakaian rumahan seperti biasanya. Melainkan gamis berbahan kaus warna merah bata yang dilengkapi dengan jilbab bergo instan yang membungkus kepalanya.

Giri mendesah. Sebenarnya mau pakai gamis atau pakai daster atau tidak memakai apapun, Giri yakin istrinya akan selalu terlihat cantik.

Namun melihat pakaian yang dikenakan Winda pagi itu, Giri bisa mengambil kesimpulan,  bahwa perempuan itu lagi- lagi mengambil jarak darinya.

"Kamu bikin kopi buat saya?"

"Kalau Mas Giri mau saya bikinin," ujar Winda. Ia hanya mengangkat wajahnya sekilas saja. Lalu kembali berkutat dengan pisau dan talenan. Hari ini dia mau sarapan mi tek- tek.

Hening kemudian. Winda mengira Giri sudah pergi. Namun ternyata lelaki itu masih berdiri di ambang pintu dapur. Menonton Winda mengupas bawang. Tatapan mereka kemudian bertemu. Winda menjadi begitu canggung.

"Buat yang semalam, saya minta maaf."

"Nggak apa- apa."

"Saya lihat ada ayam di kulkas. Kemarin kamu mau bikin apa? Ayam goreng?"

"Ayam panggang kecap."

"Saya mau itu buat sarapan."

Winda yang terperanjat mendengarkan kalimat itu terlontar dari bibir suaminya, hampir- hampir mengiris tangannya sendiri. Matanya seketika membola, menatap lurus ke arah Giri yang pagi itu tampak seperti ditarik paksa dari balik selimutnya yang nyaman. Matanya merah. Hal itu, sedikit banyak menimbulkan kekuatiran di benak Winda.

Karena biar bagaimana pun juga, meski ia jengkel setengah mati, Giri tetaplah suaminya. "Saya mau olahraga sebentar."

"Mas Giri yakin mau sarapan ayam?"

"Ayam saja tanpa nasi."

Winda akhirnya mengangguk.

***

Ayam panggang kecap buatan Winda sebetulnya sangat enak. Bumbunya meresap sampai ke dalam. Manis, gurih, dan empuk. Wanita itu memberikan bagian paha ayam utuh buat Giri. Pagi itu, entah dapat keberuntungan apa, sehingga Winda akhirnya bisa duduk semeja dan sarapan dengan suaminya yang lahap memakan masakannya.

Meskipun terlihat agak ganjil. Orang biasanya sarapan nasi goreng, bubur ayam, nasi uduk, lontong sayur, atau mi tek- tek. Ini sarapan ayam panggang.

"Hari ini rencananya kamu mau ke mana?"

"Nggak tahu." Winda mengangkat bahu. "Barangkali ke perpustakaan. Atau ke toko buku."

"Kemarin?"

"Saya ke tempat Yuni."

Giri tidak menanggapi lagi. Terlalu asyik menggigiti ayamnya sampai tinggal tulang. Dalam kepalanya ia berpikir bahwa ayam buatan Winda rasanya jauh lebih mantap ketimbang bikinan chef Kembang Lawang.

"Saya belum cicipin bolu nanas kamu."

"Mas mau makan bolu nanas?"

Giri mengangguk. Nanti kamu antarkan saja ke kantor."

It's Start With Broken Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang