Dua Puluh Enam

807 302 75
                                    

Melitha berjalan di lorong rumah sakit dengan perasaan yang tak karuan. Perempuan itu tahu, dirinya sudah tak punya tempat bersandar di sini. Di Jogja pun, ia hanya seorang diri.

Kebanggaan yang dimilikinya telah runtuh bersamaan dengan terkuaknya skandal yang ia buktikan dengan keberadaan Gibran.

Kini satu-satunya mahluk yang paling ia sayangi, dan setia bersamanya, terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Rasanya dada Melitha benar- benar sesak. Ia membayangkan hari- hari gelap nan sepi yang akan dilaluinya seorang diri.

Melitha menahan dirinya agar tidak mengeluarkan air mata. Ia benci jadi lemah. Ia tidak suka menangis. Sejak kecil, ia dididik untuk tidak menjadi gadis cengeng. Bukan saja oleh kedua orangtuanya, melainkan juga oleh keadaan.

Ayahnya yang menikah lagi telah menimbulkan trauma paling berat dalam hidup perempuan 33 tahun itu. Melitha tidak berdaya menghentikan semuanya itu. Ia tidak dapat membujuk atau membuat ayahnya tetap tinggal bersama ibu dan dirinya. Ayah lebih memilih istri mudanya.

Lambat laun, Melitha merasakan tubuhnya jadi begitu lemah. Kepalanya mendadak pening dan tatapannya berkunang- kunang. Ia melihat kursi tunggu, dan langsung menubruk benda yang terbuat dari poly- marine grade tersebut. Kemudian semuanya berubah gelap.

***

"Mas..." Winda mendesah gugup.

"Manggang roti butuh berapa jam?"

"Itu.... saya... belum masukin..."

"Winda..." Suara Giri parau. Menimbulkan gigil di tubuh Winda sendiri. Seolah-olah membangunkan apa yang selama ini tertidur lelap dan bertekad tak akan dibangunkan oleh perempuan itu. Hasratnya sudah mati bersama berakhirnya pernikahan pertamanya. Yang terngiang hanyalah rasa sakit.

Seolah-olah tubuhnya dibelah menjadi dua. "Kamu panggang nanti saja kuenya..."

"Tapi, Mas..."

"Winda..."

Winda akhirnya terbujuk oleh suara yang begitu rendah dan primitif tersebut. Dia tidak tahu, apa yang membuat pernikahannya mengalami kemajuan sepesat ini? Seminggu yang lalu, mereka masih menjaga jarak dan arah pernikahan itu tidak jelas akan bermuara di mana.

Winda sudah banyak mendengar, atau bahkan membaca novel-novel yang menceritakan pernikahan kontrak. Atau berdasarkan balas budi. Semuanya selalu menggambarkan hubungan intim yang dimulai di saat ada pertengkaran.

Winda tidak mempercayai make up sex. Baginya, bertengkar lalu berbaikan dengan berhubungan intim dengan panas di atas ranjang adalah sesuatu yang tidak masuk akal.

Dia dan Giri tadinya tidak bertengkar. Bahkan ia tak tahu harus menamakan apa hubungan yang sedang mereka jalani ini.

"Gimana? Kamu bisa matiin oven itu sekarang? Kita nggak mau makan bolu nanas gosong, kan?" Giri menyajikan sebelah alisnya yang lebat.

Winda sempat bimbang sejenak, sebelum akhirnya ia menuruti permintaan Giri. Ia kemudian bergerak menuju kitchen island di mana lima loyang bolu siap untuk dipanggang. Winda menutupinya dengan plastik wrap. Sebelum memasukkannya ke dalam kulkas bagian bawah.

Ia tidak tahu akan jadi apa adonan tersebut. Yang jelas pikirannya saat ini sedang buntu.

***

Melitha mengernyitkan dahi. Rasa pusing yang hebat seperti menghantam kepalanya. Perempuan itu meringis, ia menatap sekelilingnya kemudian matanya bertemu dengan sosok yang sudah dua hari ini hadir untuk menemani Melitha.

Lelaki bertubuh atletis yang jangkung. Dokter Kafka. Lelaki berkacamata  itu tersenyum lembut menatap Melitha. "Kamu jatuh di kursi tunggu tadi. Suster Era yang nemuin. Tensi kamu rendah banget, Mel. 70/80. Kamu bisa saja pingsan saat mengemudi tadi."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: a day ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

It's Start With Broken Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang