Langit tak berbintang, jam dinding yang sudah melewati waktu tengah malam menjelang pagi sempurna, hembusan hawa dingin pagi buta ini. Mengawal Kinal dan Viny untuk pulang ketempat yang seharusnya mereka berada, sedari tadi yaitu rumah.
"Itu... tempat tinggal lu?" Tanya Kinal dengan kedua matanya menjamah setiap sudut rumah yang ada diseberang jalan, tepat dimana mobilnya berhenti.
Viny hanya memberikan anggukan untuk menjawab.
"Eumm.. okelah! Nanti gue akan hubungin lu, kalau nanti kita ada kerjaan!!" Ujar Kinal dengan masih sempat menyelipkan sedikit senyum.
"Gue tunggu, voice message lu, Kak!" Jawab Viny.
"Sipp! Gue harap akan banyak barang yang kita kasih ke pasien. Gue cabut!!" Tutup Kinal, dengan memberikan senyum gingsul terakhirnya sebelum dia benar-benar pergi.
Viny tidak banyak tanggapan. Dia hanya diam menyambut ucapan Kinal yang padahal tersirat pesan, jika dirinya ingin bisa sering bertemu dengannya saat ada barang yang harus dijembatani pada pasien. Sedan hitam sudah tak terlihat. Viny diam sejenak ditempatnya berpijak, menatap kosong namun bergemuruh dalam pikirannya, kedepan rumah besar, yang Wah. Tempat dimana dia tinggal, tempat dimana keberadaannya yang dianggap bagai hembusan angin, tempat cerah yang perlahan buram dalam langkah kakinya menapaki dunia. Tempat yang enggan untuk dia pijaki, menghela nafas, mengambil udara... Rumah Ayah!Itulah sebutan Viny pada tempat tinggalnya. Rumah Ayah! Dimana semua gerakan yang terjadi dirumah atas arahan dan perintah Ayah. Tanpa ada yang bisa menolak, ataupun mengajukan keberatan.Viny tidak masuk lewat gerbang depan dimana ada 1 security sedang berjaga. Tapi dia masuk lewat samping! Meski ada tembok setinggi 1.5 mtr yang mengitari pekarangan rumah Ayah, itu tidak lantas membuat Viny tak bisa menerobosnya. Dengan satu gerakan lincah, dia menggerakan badan rampingnya, memanjat pembatas sosial di komplek perumahan tersebut, hingga sudah kembali berdiri memijak bumi, dihalaman rumah Ayah. Tepatnya disamping kamar dirinya yang ada di lantai 2! Viny tidaklah kesulitan untuk melakukan pemanjatan, karena ini bukan kali pertamanya ia pulang malam, bahkan larut. Meski alasan kepulangannya kali ini berbeda dari sebelum-sebelumnya.Satu tembok sudah berhasil dia terobos. Tinggal satu lagi penghalangnya untuk masuk ketempat kedua yang menjadi tujuan utamanya. Tempat yang jarang dijamah oleh Ayah, Ibu, dan juga Kakaknya beberapa tahun kebelakang ini. Dan.. kembali, dengan mudah, begitu sangat mudah, Viny menaklukan ketinggian dan menggapai titik yang lebih tinggi yang sudah diincarnya. Dia sudah berdiri diatas, didepan jendela kamarnya. Memijakan kedua kakinya diatas tempat yang tidak begitu besar tapi cukup untuk menampung kedua kakinya, sebuah tempat penyimpan tanaman yang ada di depan jendela kamar.Perlahan, Viny membuka jendela kamar dan.. *jlep* dia kini sudah ada didalam ruang privasinya. Namun, betapa terkejutnya Viny ketika dia sudah bisa memijakan kedua kaki lenjangnya itu. Ada seseorang sedang tertidur diatas tempat tidurnya. Meski ruangan miliknya sedang dalam keadaan gelap, tapi Viny bisa melihat, karena sinar pagi buta yang masuk lewat jendela terbuka yang menjadi pintu ajaibnya tadi, sedikit memberi sinar hingga dia bisa melihat ada sosok yang sedang mengarungi malam diatas tempat tidurnya.Dari kaget, Viny kini sedang mengerungkan wajahnya untuk bisa mengenali siapa yang sudah masuk kedalam kamarnya.
'Ngapain dia disini?' Tanyanya dalam hati. Ketika Viny sudah mengenali 'tersangka'.
'Apa.. kenapa dia masuk ke kamar gue?!' Sedikit memberengut Viny berbisik dalam hatinya.
Belum selesai dengan pertanyaan apa dan kenapa orang 'asing' itu bisa ada di kamarnya. Viny kembali dibuat memberengut, melihat ada sebuah nampan berisi makan ditambah segelas air putih diatas meja di sebelah tempat tidurnya.
'Apa yang dia mau? Untuk apa dia bawain gue makan?!' Kembali hanya bisa berbisik dalam hati, Viny mengerung.
'Cari penyakit sama Ayah!' Lanjutnya sedikit menghela nafas.Tak lama, Viny terlihat memegang kepalanya karena merasa pusing, akibat dari masuknya gambar puzzle yang minta disatukan, melintas lalu berputar dalam kepalanya. Ada potongan gambar dirinya dan orang yang kini sedang bermalam dikamarnya, yang tak lain adalah Kakaknya sendiri. Beberapa saat Viny dalam posisinya mencoba menyatukan potongan gambar, bukannya bisa jadi utuh, malah membuat kepalanya terasa semakin sakit diikuti hawa panas terasa mendesir didalam kepalanya tersebut, karena mencoba mengingat hal yang entah di tahun mana itu kejadiannya. Tak mau berlama terjebak dengan puzzle yang membuatnya panas dan sakit. Akhirnya Viny memutuskan menyeret dirinya untuk menjauhi Veranda si tersangka yang kini sedang tidur pulas, dan membiarkannya menempati tempat tidur sekaligus kamarnya.Beres dengan membersihkan diri dari bau asap rokok, dan tetesan keringat tadi sore hingga malam. Viny sempat bingung, harus merebahkan diri dimana? Dia keluar kamar, berjalan mendekati ruang santai yang ada di lantai 2 tempat kamarnya dan kamar Veranda berada. Duduk menyandarkan diri diatas sofa berwarna abu, lalu berbaring mencoba membunuh malam dengan tidur. Tapi sayangnya tidak berhasil. Viny tidak sama sekali bisa tidur meski kedua matanya dia pejamkan. Seperti ada yang menarik tubuhnya, Viny bangun dari sofa dan menyeret kedua kakinya. Berjalan hingga sampai di belakang lantai 2, ia menghadap sebuah pintu tunggal. Mengerungkan keningnya sebentar, terus tangan kanannya menggapai tuwas pintu bercat coklat, yang ternyata terhubung keluar. Sebuah teras berpagar besi setinggi 1 mtr, dengan luasnya pemandangan dari belakang rumahnya yang tanpa batas, tanpa penghalang rumah lain, hanya atapnya saja yang terlihat. Karena dibagian belakang rumahnya, rumah lain hanya memiliki satu lantai. Hingga jika matahari terbit ataupun terbenam pasti akan terlihat jelas dari posisi itu.Viny mengitarkan matanya. Ada sebuah bangku berbahan besi untuk 2 orang didekat sudut pagar pembatas, tidak jauh dari bangku ada beberapa bunga matahari. 4 balok setinggi 48cm-an berada tepat didepan bangku. Dan yang terakhir.. seperti sebuah atap tenda, ada besi penyangga dan kidung terbuat dari plastik tebal bercorak garis abstrak, ditambah sebuah karpet tipis yang sudah berada disana entah dari kapan, tergelar sebagai alas duduk. Sedikit.. sangat sedikit Viny ingat tentang tempat itu. Viny jalan kearah yang ada tendanya, lalu duduk memeluk lutut memandang kosong kedepan. Beberapa menit berselang, setelah selangan dari lamunannya. Dia menepuk-nepuk karpet itu, ia sempat heran kenapa karpet ditempat terpojok dikediaman Ayahnya tersebut terasa tidak ada debu sama sekali. Lelah mempekerjakan otaknya untuk berpikir, Viny membiarkan rasa herannya, lalu ia merebahkan diri dengan posisi telentang, tangan kanan dia simpan dibawah kepalanya, dan tangan kiri dia simpan diatas perutnya. Beralaskan karpet tipis, beratapkan langit gelap di pagi buta, yang hanya ditemani sepoian angin larut. Viny diam melamun.. melamunkan hari yang telah dia lewati. Dari mentari fajar hingga mentari senja yang terus berlanjut hingga jelmaan malam bersiap pagi kembali. Dari Noella yang mengatakan teman (ingat suara Noella, saat pertama bertemu. Ia menyanyikan lagu tentang Ayah dan Ibu). Kinal si partner barunya yang sudah bisa membuat dirinya nyaman (ingat ucapan yang begitu terasa menghangatkan ruang dingin dalam hatinya). Hingga lamunan terakhir yang mengetuk-ngetuk kepalanya cukup lama membuat Viny terdiam, hingga akhirnya bisa memejamkan mata untuk tertidur. Lamunan tentang Veranda, si Kakak yang sudah tidak berasa Kakak untuknya (Kenapa Veranda bisa ada dikamarnya? Untuk apa Veranda masuk, dan bahkan tidur di dalam kamarnya? Apa Dia tidak kena marah Ayah, karena sudah masuk kedalam kamarnya).Meski Viny terlahir dari keluarga berada yang sangat ada. Tidaklah lantas menjadikan dia gadis 'wah' dengan segala pemenuhan kebutuhan, dari yang memang dibutuhkan hingga yang sama sekali tidak dibutuhkan dan hanya untuk bahan pamer, bisa dia dapat. Keluarganya terlihat penuh kasih sayang, tapi sayangnya itu harus dibayar. Dan karena Viny tidak bisa membayarnya, jadi ia tidak bisa merasakan adanya kasih-sayang yang sering diaungkan itu.Tidak ada lagi perhatian, pengertian, kasih, sayang, apapun bentuk kehangatan dalam keluarga. Sudah tidak pernah lagi Viny rasakan.