6

12.3K 1K 13
                                    

Langsung aja ya guys.... kalo kelamaan ntar tomat ama telor melayang ke muka author...hihihi....soalnya udah cukup lama gak update.... tapi gak lama-lama amat kan? Hehehe....

Cekidot.....

______________________________________________________


Malam penggalangan dana untuk panti asuhan Buana Kasih di Hotel Pullman tiba.

Aku mengenakan tuxedo hitamku dengan kemeja putih di dalamnya.
Acara ini biasa dilakukan di hotel-hotel berbintang. Bagaimana tidak, pemilik panti asuhannya saja istri pejabat yang bekerja sama dengan kaum sosialita. Jadi tidak heran jika untuk penggalangan dana harus diadakan di hotel mewah seperti sekarang ini.

Pak Nano tampak sudah siap di sebelah Alphard putih milikku. Ia membungkuk hormat saat aku dan Papi keluar dari rumah besar kami.

"Ready to the party, Son?" Papi mengerling padaku.

Aku mengangguk mantap, merapikan sekali lagi penampilanku sebelum masuk ke Alphard-ku yang membawaku dan Papi ke Pullman.

"Bagaimana permintaan Papi padamu, Son? Kapan kau akan memperkenalkan calon permaisurimu pada Papi?" Papi menanyakan hal itu lagi untuk yang kesekian kalinya.

"Sabarlah Pi. Nanti pasti ada waktunya," ujarku santai.

"Nak, usiamu sudah dua puluh delapan tahun. Sudah waktunya menikah," Papi mengulanginya lagi entah sudah berapa puluh kali dalam tahun ini. Aku bosan menghitungnya.

"Tenanglah, Pi. Digo pasti mengenalkannya pada Papi. Digo janji," kataku berjanji dengan sungguh-sungguh.

"Papi tunggu, Son," Papi mengangguk-angguk tersenyum sambil menepuk bahuku.

Tak terasa kami sampai ke tempat tujuan. Aku dan Papi berjalan di atas karpet merah yang digelar mulai lobby hingga ballroom. Kilatan blitz paparazi menyambar-nyambar menyilaukan mata.

Tampak Tuan dan Nyonya rumah, Bapak Ibu Subarga menyambut kedatangan kami dengan wajah sumringahnya. Aku tersenyum tipis saat Bu Subarga memanggil anak gadisnya mendekat dan mengenalkannya padaku dan Papi.

"Pak Carlos, Nak Digo, kenalkan ini putri kedua kami, Tiara," Bu Subarga mendorong punggung putrinya untuk mendekat dan menjabat tanganku dan Papi.

"Tiara masih sekolah?" tanya Papiku mengerti bahwa aku tidak tertarik dengan gadis belia itu.

"Kelas dua SMA, Om," jawab Tiara sopan. Sementara sang ibu masih mendorong-dorong punggung anaknya agar lebih mendekat padaku.

"Oh, masih SMA?" gumam Papi yang dapat kudengar dengan jelas.

"Maaf, saya permisi menyapa teman saya dulu," aku menunduk hormat berpamitan pada tuan dan nyonya rumah, lalu tersenyum berterimakasih pada Papi yang sudah berbaik hati memberiku kesempatan untuk meloloskan diri dari niat Bapak dan Ibu Subarga.

Aku bergegas menemui Erick yang nampak sedang tertawa-tawa dengan seorang wanita muda.

"Rick,"sapaku menepuk lengannya.

"Hei... Bro, sama siapa lo?" sapanya merangkul pinggang wanita disebelahnya mesra.

Kurang ajar. Dia pasti sengaja.

"Sama Bokap," jawabku sambil mengedarkan pandanganku mengelilingi ruangan besar itu.

"Kapan lo bawa cewek, Bro? Bokap mulu yang lo gandeng?" Erick mencibir mencemooh.

"Sekarang lo boleh ngatain gue. Tapi liat aja, Rick. Captain America aja menang belakangan," ucapku santai membalas ejekannya.

Erick adalah teman dekatku sejak SMP, disamping Sebastian dan Bara. Diantara kami berempat, hanya Erick lah yang suka gonta ganti cewek. Koleksi mantannya di mana-mana. Pacarnya juga tidak hanya satu.

Reach YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang