10

12K 869 1
                                    

Digo dan Sisi memandang resort mewah di hadapan mereka dengan takjub.
Sesaat mereka berdua saling pandang sebelum melangkahkan kaki ke dalam ruang induk.

Kira-kira dua puluh meter dari mereka berdiri, tampak Steven dan istrinya Larissa, Carlos dan seorang lelaki berusia sekitar empat puluhan tampak duduk mengelilingi sebuah meja yang terbuat dari bonggol kayu besar yang sudah dipoles sedemikian rupa hingga tampak indah memperlihatkan alur serat kayu yang alami dan mengkilap.

Perlahan Sisi dan Digo melangkah mendekat. Terdengar derai tawa yang teramat akrab di antara mereka.

"Papi," panggil Digo setelah mendekat.

"Nah, ini mereka sudah datang. Jadi Ton, bisa kita mulai sekarang," Carlos tersenyum mengkomando laki-laki yang dipanggilnya Ton yang langsung berdiri mengulurkan tangan menyambut kedatangan Digo dan Sisi.

"Ah ya, perkenalkan, nama saya Tonny Danuarta. Saya sudah membawa dokumen-dokumen yang Bapak Carlos dan Bapak Steven perlukan. Apakah anda berdua perlu membaca terlebih dahulu isi perjanjian ini tuan Digo dan Nona Sisi?" tanya Tonny tersenyum simpatik.

Digo meraih dokumen tersebut dan membacanya sepintas. Dahinya berkerut menandakan ia sedang serius berkonsentrasi.
Sisi melakukan hal yang sama.

"Bukannya resort ini Papi dan Om Steven yang membuat kesepakatan kerja sama?" Digo menoleh pada Carlos yang sedang menyeruput kopinya.

"Benar. Lalu kenapa, Son?" Carlos memandang putranya setelah meletakkan cangkir kopinya.

"Kenapa melibatkan Digo?"

"Dan kenapa Papa melibatkan Sisi juga?" Sisi ikut angkat bicara.

"Son, kamu kan pewaris Papi satu-satunya. Lagipula, Papi tidak akan sanggup mengurus resort ini sendirian," ujar Papi nya santai.

"Dan Papa, perusahaan kita sedang ada masalah, kenapa Papa malah membuat resort sebesar dan sebagus ini? Bukannya dana yang diperlukan sangat besar?" Sisi makin heran dengan kenekatan Papanya. Tidak biasanya Papanya seceroboh ini mengambil keputusan.

"Sisi, semua sudah Papa pikirkan. Memang sementara ini Papa hanya mempunyai saham di resort dua puluh persen, sementara yang delapan puluh persen adalah milik Pak Carlos," sahut Papanya tersenyum.

"Tapi bukannya di perjanjian ini tertulis lima puluh persen?: tanya Sisi makin tidak mengerti.

"Benar, karena yang tiga puluh persen, untuk sementara Papa pinjam dari Pak Carlos dulu."

"Sisi tetap tidak mengerti, Pa," sungut Sisi yang mulai kesal dengan pemikiran ngawur Papa nya. Bagaimana bisa Papanya berhutang pada Pak Carlos untuk sebuah resort, sementara Red Horizon sendiri sedang dalam masalah keuangan.

Digo mengambil pulpen yang tergeletak di meja, dan membubuhkan tanda tangannya di perjanjian itu. Apapun isi perjanjian itu, Digo yakin Papi nya pasti mempunyai tujuan.

Sisi melihat Digo yang baru saja selesai membubuhkan tanda tangannya menatap makin bingung.

Digo melirik Sisi melalui ekor matanya. Ia menegakkan badannya dan tersenyum memandang Sisi.

"Giliranmu," ia menyodorkan pulpen yang dipegangnya pada Sisi.

Sisi terdiam. Bagaimana bisa ia menandatangani perjanjian yang menurutnya tidak masuk akal. Memang ia belum membaca habis dan teliti perjanjian itu, tapi melihat sekilas saja, ia yakin bahwa Papanya sudah terlalu berani mengambil resiko.
Ia tau, Papanya sangat menginginkan kerjasama ini. Tapi dengan kondisi keuangan perusahaan yang sedang kacau seperti ini, seharusnya Papa bisa lebih bijak dan berfikir lebih jauh.
Sisi menggelengkan kepalanya pelan, menghela nafas panjang, meraih pulpen dari tangan Digo dan membubuhkan tanda tangan ke atas kertas perjanjian yang sebagian besar ia belum memahami isinya.

Reach YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang