***
Saat Renata membuka mata, sosok pria tampan itulah yang pertama kali dilihatnya. Sosok itu menatapnya nanar dan juga tersenyum lega walaupun ketakutan tersirat jelas diwajahnya. Pria itu langsung menekan tombol yang terletak didekat ranjang dan meraih tangan kanan Renata yang terpasang infus dan mendekatkannya diwajahnya.
"Alva..." Suara Renata terdengar lirih dan sangat lemah. Alva mencondongkan badannya mendekati Renata. "Ya? Apa yang sakit?" Tanyanya lembut. "Minumlah dulu!" Alva menyodorkan segelas air putih. Renata meneguk air itu sampai tersisa setengah.
Renata menatap sekelilingnya lalu tatapannya berhenti pada Alva. "Kenapa aku ada di Rumah sakit? Lalu bagaimana kau ada disini?"
"Kau pingsan tadi. Dokter sudah mengambil darahmu untuk tes lab. Kau pasti baik-baik saja", ucap Alva dengan nada bergetar. Renata mungkin akan baik-baik saja, tapi tidak dengannya. Sejak Gwen divonis mengidap kanker dan keluar masuk rumah sakit, Alva menjadi trauma dengan kejadian itu. Setiap melihat orang yang dikenalnya masuk rumah sakit, dia akan kembali teringat kejadian Gwen dulu.
"Kau berlebihan Va. Aku hanya tidur, bukan pingsan! Aku hanya terlalu lelah karena sering bergadang empat bulan ini. Aku tidak mau berada disini, aku mau pulang!" Renata berusaha bangkit dari tidurnya dan sekarang dia dalam posisi duduk dengan tumpukan bantal dibelakang punggung.
Saat Renata bersikeras ingin mencabut selang infus, Alva menahan tangannya dan menatapnya tajam. "Tidak! Kau harus tetap disini!" Tegasnya sambil mencengkram tangan kiri Renata yang tadi hendak mencabut selang infus ditangan kanan.
Renata menatap Alva tanpa kedip. "Va, Alva?"
Alva tak bergeming. Dia terus menatap Renata tajam.
"Bisa lepaskan tanganku? Sakit..." ringis Renata.
Alva tersadar , lalu dia buru-buru melepaskan cengkramannya dan tertunduk. "Ma...maaf",ucapnya dengan nada bergetar.
Sifat keras kepala Renata melunak karena sikap Alva barusan. Dia jadi melupakan niatnya untuk turun dari tempat tidur.
Renata memberanikan diri untuk menyentuh wajah Alva dan mengangkat kepalanya agar mata pria itu menatap langsung ke matanya. Pundak pria itu bergetar dan dari sorot matanya, Renata bisa melihat dengan jelas. Ada rasa takut disana.
"Alva, kau... kau tidak takut Rumah sakit kan?" Entah apa yang membuat Renata menyimpulkan hal itu, tapi yang jelas saat dia bangun tadi dan melihat Alva gemetar, hal itu lah yang melintas dikepalanya.
Alva terdiam, tidak mengiyakan ataupun menolak. Renata pun mengambil kesimpulan kalau tebakannya tadi benar. Pria ini trauma rumah sakit, tapi dia membawa Renata ke rumah sakit.
Renata menatap Alva. "Alva, tak ada salahnya jika kau terbuka padaku. Untuk apa menutupi perasaan sendiri jika kau bisa membaginya dengan orang lain?"
Alva menatap Renata nanar. Sedetik kemudian, pria itu pun mendekap Renata erat seakan wanita itu bisa pergi kapan saja.
Dengan pundak yang masih bergetar, Alva memulai ceritanya. "Kenapa saat aku memiliki sesuatu, aku harus kehilangan disaat yang sama?"
Renata diam saja. Dia memutuskan untuk menjadi pendengar yang baik selama beberapa saat.
"Semuanya bermula saat Gwen divonis kanker. Aku harus melihatnya kesakitan sepanjang hari, keluar masuk rumah sakit, sehingga aku membenci tempat ini. Entah mengapa setiap memasuki tempat ini, aku selalu merasa takut."
Ternyata tebakanku benar ,pikir Renata.
"Kau tidak tahu bagaimana paniknya aku saat melihat kau terbaring dan tidak sadarkan diri walaupun aku memanggilmu. Aku hampir gila!" Pertahanan Alva sudah mencapai batas. Gengsi dan harga diri yang dipupuk setinggi gunung pun runtuh dalam sekejap. Untuk pertama kalinya, Alva menangis didepan Renata. Sisi lain yang tak pernah ditunjukkannya pada siapa pun. Bahkan dihari kematian adiknya, Alva tak pernah menangis. Lalu kenapa dia harus menangis didepan Renata? Alasannya simple, dia takut kehilangan Renata.
![](https://img.wattpad.com/cover/42887563-288-k821583.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
DTS 3 - HAPPINESS IS SIMPLE
RomantizmAlva Luke Dinata adalah sosok lelaki idaman yang sempurna. Ia memiliki segalanya baik harta, kekuasaan, dan wajah yang luar biasa tampan. Yang kurang dari dirinya hanya satu, yaitu : "enggan berkomitmen". Ia mengalami trauma aneh yang entah mengapa...