Fate - 05

107K 8.6K 60
                                    

Aku membuka mata dengan jengkel, keenam sahabatku sudah berdiri di sisi tempat tidurku. Seolah aku puteri yang gendut dan mereka dayang - dayangnya. Ups, aku memang gendut. Tapi mereka sangat tidak pantas menjadi dayang - dayang. Mereka cantik... juga ramping. Keira mengguncang tubuhku, membuat gumpalan lemak yang ada pada tubuhku ikut bergerak.

"Taylor bangunnn! Semangat dong semangat!" ucap Keira masih mengguncang tubuhku.

Dengan sigap Mikayla dan Carmen menarik kedua sisi selimutku. Membuatku kedinginan setengah mati, aku menarik selimutku lebih keras dan menggeram.

"Ini hari pertama kita jogging bareng loh!" Mikayla menarik - narik selimutku lagi.

Uh kembalikan selimutku! Anak nakal! "Ini kan masih jam tiga pagi. Astaga apa sih yang ada di pikiran kalian?!" seruku jengkel sembari mengucek mataku, berusaha membuat kesadaranku pulih.

"Kita tidak mungkin jogging jam 7 kan saat kita seharusnya sekolah?" tanya Tiffany sarkastik. Ditambah anggukan dari yang lainnya.

Aku mendelik, lalu bergelung di tempat tidurku yang lembut. Mereka ber'buuuu' ria dan mengguncang tubuhku untuk bangun. Sialan, aku masih mengantuk.

"Kau cinta setengah mati dengan Abel kan? Kau mau dia suka padamu kan? Kalau kau malas seperti ini dia tidak akan pernah melihatmu, Tay." Ucapan lembut Ammabel membuat aku terbangun seketika. Mereka terkejut dan menyoraki Ammabel yang jenius, hanya dengan kata 'Abel' aku bisa terbangun. Sekaligus terjaga penuh.

Aku nyengir lebar, memperlihatkan deretan gigiku yang putih bersih. Terkaget karena mereka semua sudah memakai baju jogging, dengan segera aku pergi ke walking closet. Aku memakai baju olahraga yang sama dengan yang mereka pakai. Baju yang kami beli kemarin, khe khe khe.

Setelah keluar dari walking closet, aku menaikkan satu alisku melihat mereka terpaku pada buku tulis yang ada di tangan Tiffany. Tampak mereka berdiskusi serius dan mencatat di buku tulis itu.

"Kalian sedang apa?" tanyaku penasaran seraya mendekati mereka.

Mikayla mendongak dan tersenyum lebar. Ia melempar buku tulis itu padaku. Aku menangkapnya dan membaca apapun tulisan yang ada di sana.

Sarapan (06 : 00)

Roti gandum tanpa selai dan susu low-fat.

Snack (09 : 00)

1 porsi salad.

Siang (12 : 00)

1 ons ikan/daging/sapi. 

1 cup sayuran.

Makan malam (18 : 00) - gak boleh makan di atas jam 6 malam! kalo minum boleh hehehe-

1 ons ikan/daging/sapi. 

1 cup sayuran.

Aku melempar buku itu lagi pada Mikayla dengan pandangan jijik. Astaga! Aku bisa mati jika tiap hari menunya seperti itu. Yang ada lambungku kambuh lagi dan aku dirawat di rumah sakit selama dua minggu.

"What the—" aku menatap mereka satu persatu, tidak percaya mereka akan seserius ini. Kukira mereka akan menyemangatiku saja.

"Kalian tahu? Kalian bukan trainer—"

"Sekarang kita trainer lo," potong Carmen pedas. Dia mengibaskan tangan lentiknya dengan tidak sabar.

"Tapi aku tidak—"

"Tak ada bantahan!" potong Danies, membelalakan mata belonya padaku.

"Bisakah kalian—"

"Abel," potong Ammabel.

"Oke," dengan cepat aku mengambil buku tulis menjijikan itu lagi dan mendekapnya.

Ammabel nyengir pada yang lainnya, yang memandang takjub pada dirinya karena sanggup membuatku tak berkutik hanya dengan satu kata. Aku mencibir pada mereka dan memilih mengikat rambut cokelatku dengan ikat rambut yang juga berwarna cokelat. Sialan, ini demi Abel. Aku merapal dalam hati, demi Abel...

"Sudah siap?" tanya Keira yang dari tadi menunggu di ambang pintu kamarku.

Kami semua mengangguk dan beranjak dari tempat kami berdiri. Mungkin suara ribut - ribut kami membuat pelayan rumah ini terbangun dan keluar dari kamarnya. Mereka tersenyum kecil pada kami, aku tahu apa yang ada dalam otak mereka... mungkin. Mungkin mereka berpikir kami -aku dan keenam temanku- adalah putri - putri kecil yang menghabiskan waktu dengan percuma. Tapi kami... entahlah, aku tak merasa seperti itu. Mereka saja yang menganggap kami putri, mungkin keenam sahabatku putri - putri sempurna yang memiliki paras cantik dan kejadian menarik. Tapi aku tidak.

"Uh banyak sekali sepatu," kataku sambil mengernyit saat melihat enam pasang sepatu bermerk tersusun rapi di bawah undakan dekat pintu.

Pintu utama di rumah memang dibuat seperti pintu utama di jepang.

"Hahaha, bersabarlah Tay. Selama beberapa bulan ini kami akan menjadi trainer pribadimu. Tanpa dibayar loh," Keira terkekeh dan menaik turunkan alisnya.

Aku mendengus, lalu memakai sepatu khusus untuk joging.

ST [1] - (Fat)eTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang