Fate - 11

89.2K 7.1K 83
                                    

Mataku mengerjap, langsung saja perasaan sakit yang teramat sangat langsung menghujam hatiku. Hati yang terasa diremukkan oleh tangan tak terlihat. Aku ingat masa itu, Mami tidak bisa membohongiku lagi. Alasan sebenarnya Papi meninggal...

Kutatap kedua telapak tanganku, terbersit di benakku telapak tangan yang berlumuran darah.

Juga jeritan di sana - sini. Membuat kepalaku pusing luar biasa. Aku menangis. Untuk pertama kalinya aku merasakan hatiku robek, terbelah menjadi dua.

Aku merasa benar - benar sendiri, tidak ada yang menginginkanku. Tidak ada yang benar - benar mengharapkan keberadaanku.

Aku hanyalah sampah.

Tangisanku berubah menjadi isakan, cukup. Jangan menangis... Kamu kuat Tay, kamu bukan manusia lemah, kamu bisa berdiri tegak, kamu tidak boleh bersandar pada siapapun, kamu...

Aku menangis lagi.

"Taylor ada ap--astaga!" kudengar suara Kiera berdengung di telingaku, lalu suaranya yang memanggil sahabat - sahabatku yang lain.

Aku ingin mencegah, namun aku sama sekali tidak mempunyai daya untuk berkata - kata. Semuanya terasa pahit. Semuanya jelas sekarang...

Kenapa sampai sekarang aku tidak ingat jelas rupa Papi... Kenapa Mami selalu mengalihkan topik jika aku bertanya tentang Papi... Kenapa aku tidak bisa mengingat apa - apa masa lalu ketika aku berumur lima tahun... Kenapa pelayan di sini selalu tersenyum sinis padaku...

Aku tahu jawabannya.

Keenam sahabatku berbondong - bondong masuk ke dalam kamar dengan raut wajah cemas. Mereka dengan segera melingkar di pinggir tempat tidurku. Bahkan aku tak dapat mengingat apa - apa kenapa aku bisa berada di dalam kamar. Pertama kalinya dalam hidup aku merasakan disorientasi.

Aku menatap Ammabel, raut wajahnya benar - benar cemas. Entah apa yang akan mereka lakukan ketika aku mengungkapkan rahasia kelam ini...

Menghembuskan nafas panjang, aku memulai. "Aku membunuh ayahku."

-Princess Series-

(9 tahun yang lalu...)

Aku menggenggam erat tangan Papi dan tangan yang lain menggenggam erat tangan Mami. Bibirku tertarik ke atas membentuk senyuman lebar saat kami menghampiri tukang gulali keliling yang mangkal di taman kota. Karena bosan menunggu gulali yang sedang dibuat aku melepaskan genggaman tangan Papi dan Mami secara perlahan supaya mereka tak sadar.

Langkahku riang mendekati kolam pasir kecil yang ada di tengah taman kota. Banyak anak - anak seusiaku yang juga bermain. Aku ikut bermain dengan mereka dan membuat istana pasir. Tak lama seorang pria tengah baya yang tidak kukenal mendekatiku, wajahnya ramah dan ia menampilkan senyum cemerlangnya. Mungkin usianya berkisar 30 tahunan sama seperti Mami dan Papi.

"Untukmu," ia memberiku balon berwarna cokelat, warna yang tidak biasa.

Aku terpaku dengan mata berbinar saat mendapatkan balon cantik yang berbentuk hati itu.

Saat mendongakkan kepala, Mr. Balon itu sudah berlalu dari hadapanku. Aku beranjak dan berlari mengejarnya.

"Pak Balon! Taylol mau bilang makacih! Hah hah..." aku berhenti berlari, Mr. Balon sudah jauh dari pandanganku. Merengut kesal, aku berdiri di pohon yang cukup besar dan menjulang tinggi.

Tiba - tiba saja balon berbentuk hati itu terlepas dari tanganku, melayang ke atas. Aku berusaha mengambilnya dengan melompat, tapi usahaku gagal. Balon itu tersangkut di dahan pohon yang besar.

Aku menatap pohon ini, cara untuk mendapatkan balon dari Mr. Balon hanyalah memanjat.

"Kata Papi, Taylol harus berani," tukasku, aku mulai memanjat pohon itu. Berusaha mendapatkan pijakan yang pas untuk kaki. Tanganku bergerak - gerak lincah. Hingga aku sampai di dahan tempat tersangkutnya balon, teriakan cemas Papi berdengung di telingaku.

"Taylor sayang, turunlah nak! Kamu sedang apa di atas situ?" tanya Papi cemas.

Aku tersenyum kecil dan melambaikan tanganku pada Papi, rasanya Papi seperti semut jika dilihat dari atas sini.

"Taylol ingin ambil balon itu Piii," aku menunjuk balon yang berada tak jauh di depanku.

"Papi bisa belikan seribu balon jika kau mau! Tapi turunlah nak sekarang," rayu Papi, membuatku meragu.

Tapi ini balon dari Mr. Balon itu, bukan dari Papi. Balon berbentuk hati ini istimewa. Aku menggeleng bersikeras dan mulai berusaha mengambil balon tersebut. Namun rasa takut melandaku saat terdengar derak dahan patah dari dahan yang kududuki sekarang.

"Papiii takut," rengekku hampir menangis.

Dengan sigap Papi memanjat pohon tempat aku berada dan mengulurkan tangannya padaku. Sekarang aku harus memilih, balon istimewa apa uluran tangan Papi?

Dan aku memilih balon.

Drak!!! "Taylor!"

"Huwaaaa!"

Bum! Krak...

Dahanku patah dan membuatku jatuh, tapi Papi langsung menarikku mendekat. Memelukku, melindungiku. Kehilangan keseimbangan, akhirnya aku dan Papi jatuh dari ketinggian 5 meter.

Mataku terbuka, lengan Papi melingkar di tubuhku seolah menjagaku. Sementara Papi... Genangan air merah yang kental mengenai telapak tanganku, kulihat lebih jelas apa yang mengotori telapak tanganku.

Darah.

Dengan cepat aku menengok ke arah Papi, aku menutup mulut menggunakan kedua tangan. Tak perduli pada darah yang berlumuran di telapak tanganku. Jariku yang bergemetar kutempelkan di dekat lubang hidungnya. Hampa, aku tidak merasakan apa - apa... Kugelengkan kepalaku, mengingat dengan jelas apa yang di katakan guruku saat di play group.

"Jika seseorang meninggalkanmu, matanya akan tertutup. Dan dia tidak menghembuskan nafas di hidungnya. Itu artinya dia sudah pergi menuju tempat yang bahagia."

"TIDAAAAAAAAAAAAAKKK!!!!"

ST [1] - (Fat)eTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang