Taylor.
Aku tidak menyangka dia masih punya muka. Itulah kalimat pertama yang ada di benakku saat Axel kutu kupret itu berdiri di halaman depan rumah. Di dini hari. Dia mengetuk jendela kamarku yang kebetulan tepat di halaman depan dengan kerikil. Bunyi 'tuk tuk tuk' membuatku tidak bisa terlelap. Bahkan aku baru saja memejamkan mata. Akhir - akhir ini aku bermimpi buruk. Sangat buruk hingga aku lupa aku bermimpi apa.
"Woi!" dia berteriak.
Namaku bukan 'Woi.' Aku Taylor, Taylor Hana Anderson. Ingin sekali kubalas teriakannya seperti itu. Tapi aku hanya bergeming di balkon. Menunduk. Menatap Axel yang mendongakkan kepalanya.
"Ayolah, lo gak kasian sama leher gue yang capek mendongak?" keluhnya.
Aku masih bergeming. Aku masih sakit hati. Aku benci padanya. Dia juga membenciku. Itu kan yang kemarin dia bilang padaku? Dia membela Vivian. Tunangannya yang super perfect itu. Oke, hanya empat hari dan Axel mampu mengobrak - abrik hatiku. Dia pakai dukun. Dia pakai dukun. Dia pakai dukun.
"Taylor," nadanya mulai memelas.
Aku menghela nafas panjang, apa sih maunya? Pertama, kuingatkan dia. Kami bertemu di dini hari. Dia langsung meledekku. Kami bertemu di kelas. Lagi - lagi dia meledekku. Kami mendapat detensi. Dan dia meledekku lagi. Dia mendatangiku pagi hari. Dia selalu meledekku. Kami sarapan di Secret Cafe. Dia tidak hentinya meledekku. Kami bertemu di beranda rumahnya, kalimatnya selalu meledekku. Jadi, ujung - ujungnya dia ingin meledekku lagi kan?
Aku memang pantas untuk diledek oleh semua orang.
"Please, Tay. Gue mau ngomong serius," walaupun pelan, tapi karena suasana sepi, aku bisa mendengar suaranya.
"Ngomongin apa?" tanyaku datar, singkat, padat, jelas. Capek hati ngomong sama Axel. Ujung - ujungnya aku selalu diledeki. Tapi... Bisa saja dia datang karena ingin menendang bokongku. Dia ingin balas dendam.
"Lo gak capek apa ngobrol kayak gini? Turun," suruhnya arogan.
Aku semakin gondok. Andai saja membunuh itu dihalalkan, maka dari pertama bertemu aku akan membunuhnya. "Gak mau."
"Taylor." Dia menggeram.
"Axel." Aku meniru suaranya.
Dia menghela nafasnya. Lalu mengacak rambut cokelatnya. Wajahnya sangat frustasi. Aku tetap bergeming di balkon. Vivian. Vivian. Vivian. Bahkan nama itu rasanya terngiang di telingaku. Vivian. Axel dan Vivian. Cocok.
"Taylor, please turun dari situ. Gue mau minta maaf." Matanya menatapku. Aku menatapnya. Hanya pandangan kosong yang dia dapatkan.
"Kamu udah minta maaf. Aku udah maafin kamu. Aku takut kalo aku turun, kamu ngeledekin aku lagi. Lupakan rencana ngebuat aku kurus. Aku bisa sendiri," aku menatap sekitar. Air mataku mulai jatuh. "Bye."
Aku keluar dari balkon. Aku berharap dia menahanku. Aku berharap dia meledekku sekarang. Aku berharap dia mencairkan suasana. Tapi aku tidak mendengar apa - apa. Dia tidak menahanku, meledekku, bahkan dia tidak mencairkan suasana. Dia hanya berdiri terdiam di sana.
Kututup jendela balkon dengan keras. Gordennya pun kututup. Perlahan, aku mulai jatuh. Sambil menangis dalam diam. Tapi kenapa aku menangis? Kenapa aku bersedih? Kenapa lebih sakit daripada Abel menolakku? Aku sebenarnya kenapa...?
-Princess Series-
"Kau terlihat seperti Zombie," Tifanny berkomentar tanpa memandangku, dia sedang mengerjakan tugas bahasa.
Walaupun aku sedang... Entahlah sedang apa, tapi aku harus tetap bersekolah. Maka dari itu aku sekarang berada di sini. Kelas unggul bagian B. Lagi - lagi aku teringat perkataan Axel sabtu lalu, rencana jahatnya yang ingin aku masuk kelas unggul bagian A. Kelasnya Abel.
Axel Abel. Abel Axel. Urgh! Kuacak rambut cokelatku. Tiffany langsung menengok. "Sekarang kau bertingkah seperti orang gila."
"Tiffany... Diamlah." Aku menggerutu.
"Oke," dia diam, melanjutkan mengerjakan tugas bahasanya. Untung sekali Tiffany, guru kali ini sedang absen. Jadi dia bisa mengerjakan tugas bahasa dengan leluasa.
Drrt. Drrt.
Ponselku bergetar di saku rok. Dengan malas aku membukanya. Huh untung ini hape gak rusak banget pas aku lempar ke dinding. Masih nyala. Namun kameranya cacat.
AXEL KUTU KUPRET : maafin gue.
Mau apa lagi sih tu orang? Gak puas ya liat aku nangis tadi pagi? Uh dia sebenarnya tidak lihat sih. Ya sudahlah. Aku membalas dengan cepat.
Me : udh.
Kepalaku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Hingga terpaku hanya pada Axel yang tengah menatapku. Dia mengetik pesan lagi.
AXEL KUTU KUPRET : tapi gue khawatir sama lo... Lo mirip Zombie bunting ;p WAKAKAKAKAKAK.
Sialan! Aku mengetikkan balasan. Sambil sesekali melihat Axel yang menahan tawanya.
Me : ZOMBIE BUNTING? Dasar triplek!
AXEL KUTU KUPRET : TRIPLEK? Atletis kale.
Me : TRIPLEK TRIPLEK TRIPLEK. AXEL BERBADAN TRIPLEK.
AXEL KUTU KUPRET : Gendut. Gendut. Gendut. Gendut. Gendut. Gendut.
Me : ...
AXEL KUTU KUPRET : Yah marah lagi dah.
Me : kagak.
AXEL KUTU KUPRET : Tuh. Cewek kalo dibilang gitu pasti jawabnya 'kagak' . 'ga papa.' . 'udah tau nanya.'
Me : Aku cewek kok.
AXEL KUTU KUPRET : Gue kira banci.
Me : Udah ah. Bosen.
Kumasukkan lagi ponselku ke dalam saku rok. Lalu menselonjorkan lenganku di meja. Melipat keduanya. Menaruh kepalaku di atasnya. Tuh kan bener, ngomong sama Axel aku pasti diledek terus. Mending aku punya bahan ledekan yang bermutu. Enggak ada! Dia terlalu sempurna.
Aku hampir saja tertidur. Mataku sudah terpejam. Hingga pintu kelas terbuka. Terdengar langkah kaki. Uhm... Dua orang. Mungkin anak yang dari toilet. Atau bisa saja Mrs. Lily dan asisten kecilnya. Kubuka perlahan mataku.
Oh tidak. Oh tidak. Oh tidak. Bencana kembali datang.
Vivian, si Bimboo, di sana. Melambaikan tangannya pada anak sekelas. Seragamnya beda. Pasti dia anak pindahan. Beberapa hal harus kusayangkan. Pertama, dia akan beken di sini. Kedua, akan ada adegan lovey-dovey antara dia dan Axel. Ketiga, aku yakin dia akan menindasku di sini. Lihat saja. Perang dunia ketiga akan segera dimulai.
KAMU SEDANG MEMBACA
ST [1] - (Fat)e
Ficção AdolescenteDisclaimer: Cerita ini adalah cerita amatir yang memiliki banyak kekurangan. Harap dibaca dengan bijak :) --- Sisterhood-Tale [1] : Taylor Hana Anderson Setiap perempuan selalu menjadi putri yang menunggu pangeran sejatinya datang. Taylor percaya k...