Fate - 26

82.7K 6.4K 188
                                    

Taylor.

Seseorang menotol pipiku beberapa kali. Membuat mimpi indahku yang pertama kalinya terganggu. Aku mengerutkan dahi dan menepis apapun itu yang menotol pipiku. Kupeluk guling yang ada di sampingku.

“Carmen, berhenti mengganggu tidur Taylor.”

Kenapa suara Ammabel yang lembut berada di dekatku? Bukannya dia dan kelima sahabatku sudah tidak membuat acara Diet Sehat yang Gagal itu ya? Ya sudahlah, aku menguap dan menggeliat.

“Tapi kalau Maminya tahu dia bisa digoreng, Am.”

“Yah, Maminya kan bangun jam delapan pagi.”

“Tapi sekarang sudah jam setengah tujuh tahu.”

“Bisakah kalian berhenti beradu argument?” Loh, ada suara Mikayla juga ternyata. “Sebaiknya kita bangunkan dia dengan cara manusiawi,” lanjutnya sambil tertawa kecil.

Lalu sebuah tangan mungil menyentuh daun telingaku, “TAYLOR BANGUUUUUUUUUNN!!!!!!!”

Aku mengerjapkan mata karena terkejut. Suara menakjubkan yang sekaligus menyebalkan. Astaga manusiawi dari mana?! Memangnya aku gorilla diteriaki seperti itu? Aduh-aduh-aduh pusing.

“Astaga, Mika. Itu bukan manusiawi namanya,” suara-suara lain menelusup telingaku.

Kukerjapkan mataku sekali lagi karena pandangan pertama aku hanya bisa melihat warna cokelat dan hijau. Wajah manusia. Kukerjapkan lagi. Dan aku terkejut, rahangku jatuh ke bawah. Dengan cepat aku melepaskan diri dari iblis sialan itu yang masih tertidur. Karena gerakanku yang tiba-tiba dia langsung terbangun, terkejut.

“Loh?” Dia menggaruk kepalanya, menatapku ngeri.

Aku memukul bahunya berkali-kali dengan kepalan tanganku, ishhh nyebelin! Jadi kemaren dia gak bangunin aku gitu? Masa aku tidur di halaman depan rumahku sendiri sih?! Bisa aja aku digigit nyamuk atau gak serangga. Lagian dia juga masa tidur di samping aku lagi. Ish ish ish ish sebel.

“Tay, a—aduh duh sakit tau! Loe gajah ato panda sih?! Nyiksa mulu kerjaannya,” Axel menggerutu sembari menghindar dari seranganku.

Sebelum aku membunuh seseorang dan ada di headline berita, dua orang di belakang menangkap pergelangan tanganku. Aku menoleh ke belakang. Danies dan Tiffany. Wajah mereka terlihat sangar.

“Jelaskan maksud ini semua Tay,” ucap Tiffany seraya menyeringai menakutkan.

Aku menelan ludah. Terakhir kali aku melihat seringaian itu adalah saat teman sekelas yang membencinya mulai menerornya-dan entah kenapa Tiffany selalu tahu orang yang menerornya-.

“Maksud apa?” tanyaku sok polos sambil memamerkan gigiku yang putih dan kinclong.

“Kenapa kau tidur di halaman depan rumahmu sendiri...” dia menatap Axel sebentar, “dan bersama seorang cowok,” lanjutnya dramatis.

“Ini tidak seperti yang kalian pikirkan, aku hanya... hanya...”

“HANYA???” Keenam sahabatku menatapku mengerikan. Lagi-lagi aku menelan ludah.

“Hanya... oh iya kenapa kalian semua berada di sini?” tanyaku mengalihkan topik pembicaraan.

Aku tidak ingin mereka tahu kalau mimpi-mimpi mengerikan tersebut kemarin menghantuiku-walaupun malam ini aku mendapatkan mimpi indah-. Mereka semua mudah khawatir, termasuk Mikayla. Sementara aku tahu, Tiffany diam-diam pun khawatir padaku dan juga yang lainnya. Bagiku, dia dan Ammabel adalah orang yang paling dewasa di antara kami. Mereka... entahlah, mereka seperti memiliki tujuan hidup yang jelas di usia empat belas tahunnya. Mereka selalu mengarahkan semua pada kebaikan jika kami mulai nakal. Menurutku, mereka-Tiffany dan Ammabel- adalah panutanku.

ST [1] - (Fat)eTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang