Fate - 10

91.9K 7.3K 122
                                    

"Ambil. Sekarang. Juga." ucap Axel dengan penekanan di setiap katanya, membuat tubuhku bergetar oleh rasa takut.

Dengan tersaruk - saruk aku mengambil iPhone sialan itu sambil mengempit lubang hidungku dengan tangan. Sialan, ini menjijikan. Kesal, aku melempar iPhone itu pada Axel yang langsung menerimanya. Tatapan tajamnya sesekali mengarah padaku, sumpah aku takut setengah mati.

"Hape gue rusak, gak bisa nyala."

Entah kenapa nada yang keluar dari Axel membuat tubuhku merinding takut. Sepertinya aku harus pergi dari sini sekarang juga, persetan dengan detensi itu. Aku tak perduli. Yang kuperdulikan sekarang itu satu : nyawaku.

Aku pernah melihat di film thriller jika ada seseorang yang emosi, dia bisa membunuh istrinya sekalipun. Ih pikiranku mulai miring ya, itu kan film. Ya kali, Iblis di depanku itu mau repot - repot membunuhku. Yang ada dia capek ngiris leherku yang gempal. Ish serem ah kata - katanya.

Saking aku asyiknya melamun, aku baru tersadar bahwa Axel sudah berdiri di hadapanku dengan berkacak pinggang.

"Woi cewek bagong! Ganti. Rugi!"

Serius, apapun asal jangan sebutan 'cewek bagong'. Itu kelewatan.

"Cewek bagong apaan si! Gak sopan banget sih kamu jadi cowok. Iya ah gampang, hape gitu doang lebay banget sih," aku serius loh. Itu memang sepele-bagi keluargaku tentunya, bukan aku-.

"Lo bilang gue lebay? Lexie yang gue beli pake uang tabungan sendiri, udah mati kecebur di lubang nista toilet, terus lo bilang gue lebay?" pertanyaan Axel yang spontan sukses membuatku melotot.

Astaga... cowok di hadapanku otaknya benar - benar miring. Bisa - bisanya dia (cowok yang sekarang menjadi incaran cewek - cewek di klub cheerleader) menamakan iPhonenya sendiri dengan sebutan Lexie? Apa dia gila? Oh ya dia memang gila, dan aku jadi merasa gila karena meladeninya.

Aku melengos dan kembali menyikat wc toilet, bergumam. "Aku minta maaf udah ngebuat LEXIEmu mati. Itu di luar rencanaku, tadinya aku pengen ngebuat LEXIEmu itu ancur keinjek buldozer."

"Taylor," suara di belakangku menggeram kesal. Keren, dia memanggil namaku, mana panggilan cewek bagong itu? Tertelan LEXIE ya?

Dan aku tanpa alasan malah tersulut emosi.

"Oiya kali aja LEXIEmu itu bisa disembuhin pake klinik tong fang. Atau gak ke Eyang Subur aja kalo kamu mau. LEXIE mungkin juga seneng diajak ke kokoh - kokoh konter hape," gumamku asal.

SROKKKK. Kusikat sekali lagi wc toilet sepenuh tenaga, lalu membalikkan badanku. Mengacungkan sikat wc di hadapan Iblis menyebalkan itu.

"Denger ya, LEXIEmu itu gak lebih penting daripada aku!"

Axel mengerutkan keningnya heran, "maksud lo apa sih? Kok gue gak ngerti."

Aku menurunkan acungan sikat wc, lalu ikut mengerutkan dahi. Kenapa aku marah - marah seolah aku cemburu pada iPhone yang sudah tak bernyawa itu?

"Tau ah," ucapku tak acuh sambil menggeret ember menuju toilet yang lain.

"Eh kok lo jadi marah gak jelas gini sih?"

Berhenti menggeret ember, aku menengok padanya yang terpaku di belakangku. "Apa peduli kamu sih kalo aku marah?"

Pada akhirnya aku dan Iblis menyebalkan itu bersama - sama membersihkan toilet - toilet dalam diam. Sementara perutku bergolak minta diisi, baru aku sadar dari pagi aku belum makan apa - apa.

-Princess Series-

"Fuwahhh," aku keluar dari toilet terakhir yang sudah dibersihkan dan merenggangkan tubuh. Capek sekali rasanya. Tampak Axel yang memanggul tasnya dan berjalan sengak melewatiku. Di luar hari sudah gelap, bahkan aku baru sadar ternyata sekolah ini benar - benar sepi.

Aku takut, jelas. Tapi aku tidak terlalu takut jika Axel masih berkeliaran di dekatku. Aku hanya benar - benar paranoid jika ditinggal sendiri. Seperti saat aku dan keenam sahabatku mengadakan slumber party di rumah Tiffany, mereka meninggalkanku sendirian di gudang tua yang pengap. Itu benar - benar mimpi buruk.

"Lo gak pulang?" tanya Axel tak acuh, dia sudah siap pulang dengan lengan kemeja digulung sampai siku dan dasi merah yang dilonggarkan. Oke, aku masih merasa dia adalah Abel jika bertanya dengan nada tenang seperti tadi. Bukan menjerit seperti gadis kecil yang melihat laba - laba. Sudah jelas aku manusia, rutukku.

Aku mengambil tas yang kutaruh di lantai koridor dan mengangguk, "iya."

"Oh. Kalo gitu bareng ya," katanya masih dengan nada tak acuh, membuat aku menaikkan satu alis, heran.

"Kamu? Dan aku? Tumben," tapi akhirnya tanpa curiga aku berjalan bersisian dengannya.

Ternyata dia sangat tinggi, aku benar - benar minder. Serius, sepertinya aku tampak sangat bantet jika bersanding dengan cowok sempurna sepertinya. Ngomong - ngomong... apa dia punya kelemahan?

Baru saja aku bertanya seperti itu di dalam hati...

"AAAAAAAAAA!"

"Astaga! Ada manusia monyet!"

"HUWAAAAAA! MAMIIII, AXEL BELOM MAU MATI MIII."

Tiba - tiba saja di balik pintu kelas seseorang keluar dan menjerit. Jantungku hampir saja meloncat keluar saat menatap wajah monyet tersebut. Dan siapa sangka, Axel sudah berlari mundur, jauh di belakangku. Hey, kemana wajah angkuhnya itu? Wajah itu sudah berganti menjadi pucat pasi, ketakutan.

"Huahahahahahahahha," manusia monyet itu melepaskan topeng yang dia pakai.

Untuk kesekian kalinya, rahangku jatuh ke bawah.

Abel, manusia monyet itu Abel.

"Sialan lo," Axel kembali mendekat, dan wajah ketakutannya berangsur - angsur berubah lagi menjadi wajah angkuh.

"Gue selalu menikmati saat - saat dimana wajah lo itu jadi kayak cewek, ketakutan. Bahahaahahaha. Bola besar idup aja gak setakut lo," mataku menyipit curiga. Tunggu, ada sesuatu yang tidak kuketahui, dan itu penting. SANGAT PENTING...

"Abel, Axel itu takut sama hantu?"

"Diem lo Bel!" ancam Axel, melebarkan matanya pada Abel yang tersenyum miring penuh arti padaku.

"Dia itu takut sama hantu, apapun jenisnya. Karena dulu pas dia ikut main hallowen di luar negeri. Dia... dia ketemu kepala buntung beneran, wakakakaka. Habis itu dia gak bisa tidur pas malemnya, manggil nyokap gue terus. Oh astaga hahahaha." Kubiarkan Abel dengan tawanya itu, aku menyeringai pada Axel yang mukanya memucat.

Yes! Yes! Akhirnya aku tahu kelemahan cowok sengak itu!

Tapi sebelum aku bisa berkata apa - apa, mataku terasa meredup dan kepalaku pusing luar biasa. Aku mengerjap, dan semuanya menghitam. Masih bisa kudengar teriakan cemas Axel, uh dia cemas padaku? Sepertinya tidak. Itu hanya ilusi.

ST [1] - (Fat)eTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang