Fate - 07

100K 8.1K 115
                                    

Aku menatap garang Abel yang masih tertawa menyebalkan. Dengan gerakan cepat aku menggetok kepala itu dengan tangan gempalku. Dia meringis, menatapku tidak percaya.

"Kamu itu gak sopan banget sih!" dia menaikkan satu alisnya mendengar gerutuanku.

"Kok jadi lo yang repot sih? Ini diri - diri gue, suka - suka gue dong. Urusin dulu noh badan lo yang segede bagong," ucapnya lagi - lagi menyebalkan.

Ingin... aku ingiiiiiin sekali menyumpal mulut seksi itu dengan gumpalan koran yang sudah diremas - remas. Atau aku ingiiiiiin sekali menelanjangi tubuh atletisnya lalu kugantung di ujung monas di samping tugu emasnya itu! Dia benar - benar tidak sopan, aku sama sekali tidak percaya Abel yang sekarang sama dengan Abel-yang bersikap angkuh dan tenang-yang ada di sekolah. Beda jauuuuuuh!

Atau dia jelmaan setan? Atau film Insidious memang ada sequelnya? Tanda tanya besar. Kalau bisa tanda tanyanya tiga kali biar mantap.

"Kamu Abel kan?" oke, dia berhenti tertawa saat pertanyaan itu kulontarkan. Mungkin dia memang hantu, diperkuat lagi karena tadi dia menyebut namaku, juga berlari seperti orang gila di komplek perumahan ini.

Di dini hari yang masih buta.

"Gue Axel," jawabnya dengan nada tersinggung berlebihan, matanya menyipit curiga. "Lo gak kenal gue tapi mau ngomong sama gue?"

NAMANYA AXEL???

Tunggu, berikan aku ruang untuk berpikir. Jadi dia bukan Abel, lalu kenapa...

KENAPA MUKANYA SAMA??? (Kan aku sudah bilang, memakai tanya tanyanya tiga kali biar mantap. Pakai huruf kapital juga.)

Mungkin sekarang ekspresiku lebih jelek daripada muka datarku. Eh memang jelek, bukan 'mungkin'. Mulutku melongo, rahangku jatuh ke bawah. Jika di anime pasti rahangku jatuh berlebihan sampai mencium aspal.

"Gue kembarannya Abel, identik," jawabnya datar seakan tahu apa yang ada dalam pikiranku.

Lalu kenapa dia tahu namaku Taylor? "Dan gue yakin lo cewek bagong yang diceritain Abel kemaren," lagi - lagi dia menjawab pertanyaan yang ada di otakku.

Tapi aku tidak terima diejek cewek bagong, sama sekali tidak bermartabat dan itu menyebalkan. Aku mendesis sinis pada Axel seraya berkacak pinggang.

"Aku gak peduli ya mau kamu tuh kembarannya Abel kek, kembarannya gorilla kek, atau kembarannya monyet kek. Kamu tuh nyebelin tau! Aku emang gendut tapi aku gak terima dibilang bagong! Emangnya kamu sempurna apa sampe ngata - ngatain orang. Liat aja aku bakalan jadi langsing! Liat aja sendiri, bweee."  

Setelah meninju wajahnya dengan kekesalan yang meluap aku berbalik lagi menuju rumahku. Biar saja keenam sahabatku datang ke rumah. Paling mereka bakal mengomel karena aku meninggalkan mereka.

Dari kejauhan aku bisa mendengar suara menyebalkan Axel bergaung di telingaku.

"Gue Axel, dan gue yakin lo gak bakal langsing tanpa bantuan gue!"

Sialan, dia kira dia tuhan? Menentukan takdirku seenaknya!

-Princess Series-

"Dia marah," suara Mikayla menelusup telingaku. Huh peduli amat, aku tidak ingin keluar dari selimutku lagi. Tadi setelah aku pulang dari acara gagal jogging, aku langsung membungkus badanku dengan selimut.

Tanpa membuka sepatu khusus joggingku, itu artinya aku kesal banget.

"Sst, diam dulu," bisik Danies pada yang lainnya.

"Ammabel, kau berani membangunkannya?" tanya Tiffany tenang.

"Uh sepertinya tidak," jawab Ammabel. Sepertinya dia tahu aku sedang tidak ingin diganggu.

"Kemarin kamu datang, akunya bingung~ Kita baru kenalan satu minggu saja. Kemarin kamu datang~ membawa bunga. Kita baru kenalan satu minggu saja," nyanyi Kiera dengan suara sumbangnya. Kalau Ammabel jenis orang yang tahu aku sedang tidak ingin diganggu, Kiera kebalikannya.

"Kiera, lo nyanyi kayak gitu lagi, siap - siap dapat tinju dari gue," Carmen bersuara dingin.

"Eh? Aku sudah menyanyikan lagu itu dalam hati--" kau tahu? Sepertinya yang beranggapan Keira jenis 'itu' bukan aku saja, tapi Carmen. Karena aku langsung merasakan pergerakan tiba - tiba dari Carmen yang duduk di sisi kanan tempat tidurku.

"Carmen! Kau gila," ucap Danies dengan suara tercekik.

Ada apa di luar sana? Aku tak tahu dan tak perduli.

"Astaga, aku kaget. Ammabel tolong--"

"BISAKAH KALIAN DIAM SEBENTAR SAJA?!" teriakku frustasi, menyibakkan selimut yang  

tadi membungkus tubuhku.

"Um tidak... eh maksudku ya ya! Kami bisa!" ucap Kiera, saat dia menatap wajah garangku dia menyambung kalimatnya.

SIIING...

Semuanya diam, diam sambil menatapku. Aku menaikkan satu alisku, "kenapa diam semua?"

"Loh tadi nyuruh diam kan?" tanya Tiffany dengan wajah yang tetap tenang. Dia lalu menengok ke arah jendela dan menunjuk dengan jari lentiknya. Matahari sudah muncul malu - malu di kejauhan.

"Tapi sepertinya kita harus mandi sekarang juga. Sekarang sudah jam enam pagi," tambahnya masih dengan ekspresi tenang.

1...

2...

3...

4...

5...

"JAM ENAM?!" teriak kami berenam terkecuali Tiffany, kami segera beranjak dari tempat dan buru - buru mengambil handuk. Bersiap mandi.

ST [1] - (Fat)eTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang