Fate - 23

79.8K 6.1K 70
                                    

"Kalau begitu gue ke kelas dulu ya," Abel tersenyum kecil padaku. Berdiri. Lalu sedikit melambaikan tangan dan berjalan menuju pintu keluar gedung olahraga. Aku menghela nafas lega. Berada di dekat makhluk itu, hanya berdua, masih membuat jantungku jumpalitan dari atas sampai ke perut. Perutku pun seringkali mengeluarkan naga genit saat Abel tersenyum.

Ngomong - ngomong... sebenarnya bukan hanya berdua sih.

Aku menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri, lalu begitu merasa aman aku berjingkat pelan menuju gudang penyimpanan. Hal yang harus kulakukan adalah mengusir biang kerok itu dan mengunci pintu gudang. Setelah masuk ke dalam, dia masih berada di sana. Dengan posisi yang sama, tengkurap di lantai. Duh kasiannya anak Damaryan. Hahahahaha.

Matanya yang sedari tadi terpejam perlahan mulai terbuka, "ngomong apa loe dut, sama cowok dingin itu?" tanyanya tak acuh. Dia keluar dari tempat persembunyiannya. Menepuk pelan seragamnya yang sedikit berdebu dan berjalan congkak menuju keluar gudang.

Aku mendumel dalam hati, tu cowok tetep aja sengaknya gak kebangetan. Gak tau apa dia cowok yang pertama kali cium...

Astaga! Kenapa aku masih kepikiran soal ciam-cium itu sih? Taylor, ambil nafas... Buang... Ambil lagi...

"Lo kenapa kayak lagi latihan yoga gitu sih? Tarik napas, keluarkan, tarik napas, keluarkan terus." Axel yang berdiri di ambang pintu melihatku heran. Aku berdeham malu dan menghampirinya sambil menunduk, mengusir dia dari ambang pintu dan mulai mengunci pintu gudang menggunakan kunci yang tadi kutaruh di saku rok. Axel memperhatikanku dari samping.

"Loh loh loh jadi diem gini? Berasa kuburan tau gak."

Sabar Tay... Sabar Tay... Jangan lihat mukanya... Jangan sampai dia tahu pipimu merona seperti pantat monyet. "Tay?" 

JANGAN PERNAH MELIHAT MUKANYA! Kuambil kunci tersebut, lalu mengecek apakah sudah benar apa belum. Begitu pintu benar-benar terkunci, aku memasukkan kunci itu di saku rokku lagi.

"Taylor Hana Anderson, sejak kapan lo jadi diem, lesu, nelangsa kayak bayi gurita gitu? Apa... Abel nyakitin lo lagi? Iya? Bilang aja sama gue."

Dag.Dig.Dug.Dag.Dig.Dug.Dag.Dig.Dug.

Dia perhatian. Walalupun ada embel-embel bayi guritanya, tapi aku tahu dia khawatir. Iblis itu khawatir padaku, astaga-astaga-astaga. Yang benar saja!

"Aku gak apa-apa. Abel gak nyakitin aku. Udah ah sana hush hush. Ini udah jam pelajarannya Mr. Brendan, Axel. Nanti aku telat, trus Mr. Brendan marah sama aku. Ngehukum aku di depan kelas. Udah ya. Bye jelek."

Aku berbalik, menuju pintu keluar ruangan olahraga indoor yang berjarak tidak lebih dari sepuluh meter. Tapi rasanya sangat amat jauh jika kau ingin menghindari seseorang yang sekarang berada tepat di belakang punggungmu. Bisa kurasakan tatapan Axel dari belakangku. Oh-tuhan-jangan-lakukan-ini-padaku.

"Tunggu."

Skak. Mat.

Tetap berjalan santai Taylor... Abaikan semua bisikan setan yang menyuruhmu untuk berhenti berjalan.

"Lo budek? Perlu ke dokter? Lo gak denger gue bilang apa tadi?" tanyanya beruntun.

Tetap berjalan... Axel itu iblis. Ingat itu Taylor. Kenapa sepuluh meter seperti seratus meter jauhnya sih?

"Enggak. Mungkin aku salah denger. Oh ya kau mungkin berbicara dengan kucing di belakangmu."

"Gak ada kucing di belakang gue."

"Kecoa kali."

"Taylor." Dia menggeram kesal di belakangku.

"Axel." Aku meniru suaranya, entah untuk yang keberapa kalinya.

"Berhentilah menghindari gue, astaga lo buat gue gila."

"Kamu emang udah gila."

"Balik badan."

"Gak." Aku ngotot masih berjalan menjauh.

"Balikin badan gembrot lo ke sini, Taylor."

"Enggak."

"Balik. Badan."

"SEKALI ENGGAK TETEP ENGGAK!" Aku berlari tak karuan begitu selesai berteriak. Kakiku tergopoh-gopoh menuju pintu keluar gudang. Bisa kurasakan pergerakan kaki di belakang punggungku. Sip, cowok psikopat itu sekarang berusaha mengejarku.

Hal-hal yang harus kupikirkan sekarang;

1. Bagaimana caranya kabur dari pemain basket profesionall itu yang larinya kayak singa ayan yang lepas dari kandang? 

2. Alasan apa yang tepat untuk mengelak semua tuduhan Axel nantinya saat aku tertangkap?

3. Dimana aku bersembunyi?

Hal nomor tiga sepertinya terjawab. Senyumku mengembang begitu melihat tulisan toilet di sudut koridor sekolah. Dengan segera aku masuk ke dalam toilet tanpa memikirkan apapun kecuali cara untuk kabur dari psikopat itu. Bilik satu, dua, tiga, empat... semuanya penuh! Sial! Kubuka pintu bilik nomor tiga karena aku sudah mendengar suara langkah kaki Axel yang berderap mendekat.

Aku mengunci pintu bilik tersebut. Menghembuskan nafas lega sesaat. Setidaknya aku akan aman dari kejaran Axel untuk saat ini. Tapi aku tidak tahu ke depannya seperti apa. Lagipula aku tidak ingin dia tahu hatiku dag dig dug gak keruan saat dia ada. Kubalikkan badanku dengan santai sambil memejamkan mata nyaman. Betapa aku adalah murid yang tidak teladan. Jam kegiatan belajar seharusnya berlangsung, aku malah berencana berada di toilet hingga jam pulang tiba.

Kubuka mataku perlahan...

Tidak.

Ini amat sangat lebih buruk daripada harus menghindari Axel.

Aku melihat Abel yang sedang berusaha memakai celana seragamnya lagi.

AS-TA-GA. Tuhan, hari ini berat sekali sepertinya.

*TBC*

ST [1] - (Fat)eTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang