Fate - 12

91.6K 7.1K 56
                                    

Aku tahu saat mereka berenam keluar kamar dengan wajah sangat cemas, secepatnya aku harus bisa menata hatiku kembali. Jika mereka terkejut (memang terkejut sebenarnya) dengan pernyataan dan juga penjelasanku tadi, aku harus bisa kembali menjadi 'Taylor' yang dulu.

Maksudku, aku pesimis (mungkin). Aku juga tak pernah percaya diri pada apa yang ada di diriku. Tapi aku bukan tipe 'Pembawa Masa Lalu yang Kelam', uh itu bukan tipeku. Mungkin hal itu membebani setiap langkahku (yang seharusnya papi bisa juga melangkah kalau bukan karena kesalahanku), nafasku (sampai sekarang seharusnya papi bernafas), dan juga mami yang sudi mengurusku setelah kejadian mengenaskan itu. Tapi aku tahu satu hal : papi melindungiku, dia memberikan nyawanya. Hanya untukku, putri satu - satunya.

Hidup harus tetap berjalan, lagi - lagi aku merapal dalam hati. Papi pasti tidak senang jika aku menyesali masa lalu. Walaupun sebenarnya aku tidak mengingat dengan jelas rupanya, dan itu membuatku sedih.

"Taylor," Kepala Kiera lagi - lagi menyembul dari celah pintu kamar.

Aku tersenyum, tidak menangis dan meratap seperti tiga puluh menit yang lalu. "Ada apa, Rara?"

Nama panggilan Kiera memang Rara, tapi entah kenapa cewek manis dan romantis itu tidak suka dengan panggilan 'Rara'. Entah kenapa.

Dia cemberut, sepertinya sebal dengan panggilan itu. Lalu ekspresinya berubah secepat aku mengedipkan mata, dia tersenyum lebar.

"Kau udah gak kenapa - kenapa, aku lega jadinya." Kiera berjalan menuju tempat tidurku dan duduk di sisi ranjang.

"Axel yang menolongmu loh tadi pas kamu pingsan di sekolah."

Aku manggut - manggut saat dia bercerita. Tapi setelah mencerna apa maksudnya, aku menoleh ke arahnya hingga kurasa leherku sakit.

"APA?!?! Bohong! Iblis itu..." Aku bergedik jijik, "gak mungkin."

Sepertinya Kiera tampak tertarik, matanya berbinar. Persis seperti penjual yang menawarkan dagangannya pada pembeli. Uh, aku benci Axel! Benci benci benci! Dia manusia paling menyebalkan di muka bumi ini!

"Dia nelpon ke rumah ini tiga menit sekali," Kiera mengedipkan mata kanannya. "Dan dia gak mau kamu tau kalo dia nelpon. See? Apalagi jika itu bukan cinta?"

Dengan gerakan cepat aku melempar bantal ke muka mesum Kiera. Dia tertawa dan menampik bantal tersebut dan berlalu dari hadapanku.

Aku menyandar pada bantal, lalu menutup mukaku (yang aku yakin seperti pantat monyet) dengan boneka beruang.

Cinta ya? Tanpa sadar aku tersenyum, lalu cepat - cepat cemberut. Gak! iblis itu gak mungkin cinta sama aku!

-Princess Series-

"Hoy."

Karena ini akhir pekan, seperti biasa aku keluar rumah dan menyiram tanaman (catat : aku masih memakai piama, oh dan juga bersama keenam sahabatku) tapi tiba - tiba saja iblis dan keronconya datang dengan wajah polos ke halaman depan. Berdiri sambil menyandar pada pilar.

Aku melongo, mereka ini benar - benar mirip tapi sifat beda jauh. Yang satu slengean, yang satu tenang tapi nyelekit. Ingatanku kembali melayang pada pernyataan cinta konyol yang kulakukan dua hari yang lalu, sangat memalukan.

"Ngapain kalian berdua ke sini?" dan kenapa dibolehkan oleh para pelayan? Tambahku dalam hati, setengah jengkel.

"Ngajak kamu kencaaan," kugetok kepala Kiera memakai sapu, ni anak ngomongnya yaaa, gak bisa di sensor dikiiit aja.

"Mastiin keadaan lo aja, cewek bagong."

Kayaknya hati aku sudah melambung sampai ke atassss dan hanya sepersekian detik langsung ambrol jatuh ke dasar neraka. Iblis sialan!

"Please, kalo kalian cuman niat buat ngatain aku, mending kalian pergi dari sini sekarang juga. MUAK tau!" Dengan amarah yang meluap, aku melempar selang air pada Axel dan buru - buru masuk ke dalam rumah lagi.

"Biar! Sekarang juga gue bakalan pergi!" teriakan Axel masih bisa kudengar.

"Axel, dia masih shock soal--"

Langkahku terhenti, aku berbalik arah dan menutup mulut Tiffany. "Gak! Jangan kasih tau."

Mataku melotot pada keenam sahabatku, berusaha membungkam mereka. Akhirnya mereka mengangguk, dan aku melepaskan mulut Tiffany dari tanganku. Dengan puas aku berbalik lagi untuk menuju rumah, hingga sebuah tangan menahan lenganku.

"Apaan sih," kutatap datar Axel yang sekarang menatapku tajam.

"Kasih tau maksud dari perkataan Tiffany tadi."

"Apa perduli kamu sih? Kamu gak akan perduli kan misalkan aku mati? Misalkan aku nangis? Misalkan aku bunuh diri? Terus kenapa aku harus cerita sama kamu? Emangnya kamu siapa aku? Kita bukan temen, bukan sodara, bukan sahabat, dan terlebih, aku bukan pacar kamu!"

"Taylor."

"Axel," aku meniru suaranya.

Dia menghela napas dan melepaskan tahanan tangannya, lalu berkacak pinggang.

"Mandi sana! Ganti baju yang bagus, dandan, jangan malu - maluin gue."

"Maksud kamu apa sih? Kok aku gak ngerti." Seenaknya aja dia nyuruh - nyuruh aku!

Tiba - tiba Carmen menyeletuk, "ngajak kencan, tolol."

"Sama Abel juga, nona sok tau," balas Axel dengan muka pantat monyet. Nah lho wabah pantat monyet sekarang menyebar ya? Gini - gini nanti ada pantat monyet epidemik, hihihi.

"Kalian semua juga boleh ikut kok, kita ke Secret Cafe. Kita yang traktir," tambah Abel dengan senyuman khasnya, jahat tapi menawan.

Mereka berenam saling lirik, lalu tiba - tiba saja keributan masal terjadi. Ribut masukin selang air ke tempatnya, ribut masuk ke rumah, ribut naik tangga spiral. Ish para bocah ababil ini ribut banget sih! Oh iya sih, pantas. Secret Cafe kan langganan mereka semua. Pasti seneng kalo dapet gratisan. Ckckckck.

"Lo gak mandi?" tanya Axel yang ternyata mash setia di hadapanku, aku mendongak menatap mata cokelatnya. "Sana mandi, atau..."

Matanya berkilat jahil, "atau mau gue mandiin?"

Aku mendorong tubuhnya yang sekarang merepet padaku, lalu dengan muka pantat monyet aku masuk ke dalam rumah. Terdengar gelak tawa dari Axel yang ada di luar.

ME-NYE-BAL-KAN! Dasar mesum!

ST [1] - (Fat)eTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang