Taylor.
Aku tahu hal ini sudah harus kulakukan sejak aku mengingat tragedi itu, tapi aku terlalu takut respon apa yang akan diberikan Mami begitu aku mengatakannya. Marah kah? Sedih kah? Tapi semuanya terlambat, karena sore itu sehabis pulang sekolah aku terlanjur masuk ke dalam ruang kerja Mami yang ada di rumah. Mami seperti biasa, bajunya asal-asalan. Dia memakai piyama saat bekerja! Astaga, Mamiii. Sudah kubilang, Mami rempongku ini benar-benar ajaib.
"Taylor? Tumben kamu dateng ke sini," sapa Mami sambil menutup layar laptopnya, senyuman manis tersungging di wajahnya.
Aku duduk di hadapannya, berusaha untuk tidak gugup, tapi setelah melihat Mami tersenyum penuh damai, aku tetap tidak bisa tenang. Sinar matahari yang berada di belakang Mami, membuat wajah Mami lebih bercahaya. Aku semakin gugup tak terkendali.
"M-Mi..."
Mami terlihat khawatir mendengar suara kambing sekaratku, dia melepaskan kacamata bacanya dan menangkup wajahku dengan kedua tangan.
"Ada yang salah, Taylor?"
Aku menggeleng. Lihat mataku saja, Mi. Aku tidak sanggup berbicara. Tepatnya, aku tidak sanggup jika Mami membenciku. Lebih baik aku mati saja.
"Kenapa... kenapa kau menangis? Ya tuhan, Taylor. Apa kamu punya masalah?"
Dengan cepat, Mami keluar dari mejanya dan berlutut di hadapanku, senyuman manisnya sirna begitu melihat air mataku menetes satu persatu tanpa henti. Dia memelukku dan mengusap punggungku, mengatakan semuanya baik-baik aja.
Aku tidak baik, Mi. Kugigit bibir bawahku perlahan, aku kotor. Aku kejam, jahat, egois, tidak pernah menuruti kata orang tua. Aku...
"Maafkan aku, Mi. Aku benar-benar minta maaf. Aku egois, aku..."
"Taylor, ada apa?" Mami bertanya cepat.
"Papi meninggal bukan karena yang Mami bilang dulu... Papi meninggal karena aku, Mi! Karena aku..." aku terisak kecil, menunduk, sama sekali tidak ingin tahu reaksi apa yang akan diberikan Mami.
Mami mengangkat wajahku dengan tangan lembutnya, dia tersenyum sedih. Dengan perlahan, dia mengusap air mataku sementara matanya sendiri pun berkaca-kaca. Aku tidak tahu apa yang ada dipikirannya, karena aku sibuk mengatur isakanku supaya berhenti.
"Mami tanya, Taylor mengetahuinya dari siapa?"
"Aku bermimpi..."
"Sudah kuduga," Mami mendesah.
Lalu Mami menyuruh salah satu pelayan untuk membuatkan teh hangat, dia menghelaku menuju taman belakang. Aku memandang tanaman yang mulai berbunga dengan pandangan kosong, Mami di sebelahku, memandang lurus ke depan. Tak lama, teh pun datang. Aku berterima kasih singkat pada pelayan tersebut dan mulai menyesap tehku.
"Suatu hari... keluarga Anderson dikaruniai sepasang anak kembar cantik bernama-"
"Tunggu! Kembar?!" Aku menolehkan kepalaku ke arah Mami dengan pandangan shock.
Mami menjentikkan jarinya dengan anggun, "peraturan pertama, tidak boleh memotong pembicaraan orang lain di rumah ini."
"Maaf, lanjutkan."
"Dia bernama Taylor dan Maddie. Mereka sangat dekat dan selalu bermain bersama. Keluarga Anderson sangat senang dengan kehadiran buah hati mereka. Untuk itu mereka mengajak kembar identik tersebut ke sebuah taman kota di London. Sebelumnya... mereka pernah ke Indonesia beberapa kali. Papi mereka, Jeff, menggiring kedua anak kembar iti ke penjual gulali. Di sana, tanpa Jeff sadari, kedua anak tersebut menyelinap di antara kerumunan pembeli gulali tersebut. Sementara Maminya sendiri... dia sedang berbicara dengan musisi yang membuatnya tertarik di ujung taman." Di situ raut wajah Mami terlihat menyesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
ST [1] - (Fat)e
Teen FictionDisclaimer: Cerita ini adalah cerita amatir yang memiliki banyak kekurangan. Harap dibaca dengan bijak :) --- Sisterhood-Tale [1] : Taylor Hana Anderson Setiap perempuan selalu menjadi putri yang menunggu pangeran sejatinya datang. Taylor percaya k...