Fate - 22

79K 6.6K 55
                                    

Taylor.

Jika di situasi yang lain, aku pasti akan senang Abel datang mencariku. Mungkin aku akan mengadakan pesta besar jika itu terjadi. Tapi aku di sini. Sangat mencurigakan jika aku membuka pintu gudang... Dan Axel di belakangku. Rasanya itu seperti... Oke sekarang aku harus bagaimana?

"Taylor!"

"Uhm ya? Ada apa? Aku sedang ganti baju!" Sialan kenapa otakku tidak menemukan alasan yang lebih bagus daripada itu?!

Kulirik Axel yang wajahnya sudah pucat. Otak ayolah bekerja sama sekarang! Kuedarkan pandangan ke sekeliling gudang. Hanya ada keranjang basket. Matras di sudut kanan. Tempat duduk panjang di tengah gudang. Lemari yang aku tidak tahu terkunci atau tidak. Dan beberapa tongkat bisbol dan raket.

"Lo ganti baju di gudang?"

"I-iya!"

"Lo terdengar gugup. Tay. Ada masalah?"

"Tidak-tidak. Aku baik - baik saja," aku menatap manik mata Axel. Lalu menunjuk lemari tersebut. Dia mengangguk dan mencoba membuka lemari tersebut. Kenyataan pahit. Lemari tersebut ter-kun-ci.

"Jadi boleh gue masuk sekarang?" tanya Abel lagi, nadanya sudah terdengar kesal.

"Tidak! Aku sedang memakai baju. Kau mau lihat aku telanjang?!"

"FINE!"

"Oke, sekarang gue harus sembunyi di mana?" Axel berbisik.

"Kau bisa sembunyi di bangku panjang itu!"

"Kayaknya gak bisa, gue kan tinggi gak kayak loe."

"Kamu sempet - sempetnya ngatain aku?!"

"Taylor, lo gak sendiri di sana?" Abel menggedor pintu gudang lagi.

Aku panik. Aku terserang panik attack. Dengan cepat aku menunjuk tempat duduk yang panjang tersebut. Dia mendumel dan masuk ke dalam sana. Kakinya yang menjulur kututup dengan kain yang tadi tersangkut di dinding. Oke, sekarang aman.

"Kau boleh masuk sekarang! Atau aku yang keluar?"

Dia masuk. Pandangannya beredar mencari sesuatu. "Gue tadi denger suara Axel. Lo ngapain di sini sama dia?" tanyanya menuduh.

Aku pembohong yang baik, dan ini salah satu kesempatanku untuk berbohong. "Tidak. Aku di sini sendiri. Mungkin kau salah dengar. Oh ya, ada apa kau mencariku. Di sini pengap, bisa kita bicara di luar?" Aku berkata dengan wajah polos.

Sepertinya Abel tidak percaya. Dia mengerutkan dahinya dalam. Menatap ke sekeliling lagi. Lalu mengangguk kaku. "Kalo begitu ayo bicara di luar. Walaupun... gue masih bingung kenapa lo ganti baju di sini. Ganti baju olahraga atau ganti baju seragam, Tay? Gue rasa tadi lo baru selesai olahraga. Sekarang olahraga lagi?" Dia. Bertanya. Dengan. Nada. Sarkastik. Sip.

"Yah ayo keluar," aku tersenyum kecil, lalu menggandeng tangannya menuju ke luar pintu. Tapi dia langsung menepisnya. Menjauh sedikit padaku sambil memandang tangan yang kugandeng tadi dengan pandangan tidak percaya.

Sebegitu kotornya kah aku?

Abel.

Please jangan bercanda. Gue tau di sini ada Axel. Gue juga tau Taylor bohong. Tapi gue males kalo sampe tau apa yang mereka lakuin di sini.

Dan tadi? Dia menggandeng tangan gue? Apa dia gak tau saat tangan kami bersentuhan gue ngerasa ada listrik yang menyengat tangan gue? Gue serius, gak bercanda.

"Oh maaf," wajah Taylor terlihat terluka.

Gue diem. Membuang muka sambil memasukkan kedua tangan di saku celana. Shit. Gue gak mungkin suka sama Taylor kan? Gue suka sama dia, bukan Taylor.

"Ayo keluar." Gue berujar dingin.

Taylor keluar sambil menundukkan wajahnya. Gue menghela napas berat dan keluar dari gudang. Kami berdua pun memilih duduk di tribun penonton. Pandangan kami mengarah ke depan. Sama sekali tidak melihat satu sama lain.

Awkward.

"Jadi kenapa kamu manggil aku?" tanya Taylor sambil mengayunkan kedua tungkai kakinya.

"Nilai matematika lo berapa?"

"Itu... Memalukan. Apa kita tidak bisa membicarakan hal lain?" Taylor mendengus kesal.

"Justru itu," gue membalikkan tubuh, menghadap ke arahnya. "Mr. Brendan menyuruh gue buat jadi tutor lo."

Hening lama. Dia diem. Diem. Diem. Diem. Siap - siap telinga, Abel. Gue langsung menutup telinga saat Taylor sudah mencerna apa yang gue maksud. Dia langsung histeris. Sepertinya di dalam badan yang besar terdapat kekuatan yang besar juga. Fine, gue ngerasa kotor.

"Bisa diem gak sih?" gue mulai sewot, ya iyalah suaranya itu loh. Mengalahkan eyang subur sekalipun. Ckckckck.

"Tapi aku... aku... Gak percaya masa kamu yang jadi tutorku?! Kata Mr. Brendan yang bakal jadi tutornya Damaryan..."

"Damaryan nama keluarga gue, jangan bodoh."  

"Aku gak bodoh!" dia menatap gue sengit.

"Lo bodoh."

"Enggak!"

"Fine." Gue mengangkat kedua tangan tanda menyerah. Taylor membuang muka dari hadapan gue. Lagi - lagi keheningan ini terasa bener - bener canggung. 

"Lo gak mau gue jadi tutor lo?"

"Mau." Tanpa sadar gue tersenyum kecil, "tapi tanpa ledekan. Cacian. Hinaan. Atau apapun itu. Aku sangat amat lemah di Matematika."

"Itu bukan kesepakatan yang bagus." Gue menyeringai ke arahnya. Dia menelan ludah.

"Lalu mau kamu apa?" tanya Taylor hati - hati.

"Gue mau lo pergi sama gue ke suatu tempat-"

"Itu kencan?" tanyanya cepat.

"Mungkin. Kita per-"

"Ke suatu tempat? Kau mau membunuhku?" Dia menatapku sengit-lagi-.

"Bisakah gue menyelesaikan omongan gue tanpa dipotong - potong?" gue bertanya dengan nada sarkastik.

"Fine. Apa?"

"Kita pergi ke suatu tempat setelah lo mendapat nilai matematika yang bagus di Ujian Negara. Gue gak bunuh lo. Gue gak akan ngelakuin tindakan apapun yang merugikan lo. Bagaimana?"

"Ujian Negara itu... Astaga Abel. Itu masih tiga bulan lagi! Aku bisa mati bosan jika-"

"Take it or leave it?"

...

Taylor mengerucutkan bibirnya. Dia. Manis. Banget. Kenapa gue gak sadar dari dulu sih? Lima detik kemudian, Taylor menghela napasnya.

"Mungkin kamu tutor yang bagus untukku. Tidak ada pilihan lain." Dia menjulurkan kelingkingnya tepat di depan mata gue. Alis gue naik, dia mau nyolok mata gue? "Pinky promise?" tanyanya malu-malu.

1...2...3...4...5...6...7...8...9...10...

PINKY PROMISE?! Umur dia berapa sebenernya huh? Dia bayi? Bayi gede maksudnya. Gue hampir aja ketawa ngakak. Gue mengaitkan kelingking gue dengan kelingkingnya. Lalu berhigh-five.

"Pinky! Pinky Promise!" teriak kami berbarengan. Taylor menatap gue. Gue menatapnya. Setelah itu gue gak bisa menahan tertawa gue. Taylor tadi cemberut. Tapi akhirnya dia ikut tertawa bersama.

Berapapun umurnya dia, dia masih suka 'Pinky Promise', gue rasa itu manis...

*TBC*

Awwww Abel (fall) in love with Tay? That's karma? Taylor love him. But he didn't. Then Taylor start to forget him. And he's realized that Taylor make's him mind-blowing!

Nyahahahaha. *evil laugh #abaikan

ST [1] - (Fat)eTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang