Matanya masih menatapku tajam. Suara hujan terdengar menerpa aspal. Lampu jalan berpendar, memantulkan cahaya oranyenya, mengenai genangan air hujan dan wajah Axel.
Axel terlihat tampan meskipun pakaiannya basah. Rambut cokelatnya pun basah, menutupi matanya sedikit. Kulit pucatnya semakin menjadi di malam berhujan. Sementara mata cokelatnya, yang biasa bersinar jahil dan tidak bisa diam sekarang terasa dingin.
Aku tersentak. Tidak bisa bicara apa-apa lagi. Padahal banyak sekali cacian dan makian yang ingin kulontarkan padanya.
Aku juga ingin berlari ke arahnya, lalu memeluknya hingga dia kehabisan nafas dan mati.
Sekarang, aku hanya bisa menatap wajah tanpa ekspresi itu.
Dia berjalan perlahan, lalu...
Dia melewatiku.
Begitu saja.
Semudah itu.
"A-" nafasku tercekat, bahkan untuk memanggilnya aku sama sekali tidak sanggup.
"Xel..." bisikku pelan ketika bayangan Axel menghilang, dia masuk ke dalam rumahnya.
Tanpa mengatakan apa-apa.
Dia mengacuhkanku.
Hening. Air hujan membuat semuanya terasa samar. Semuanya terasa aneh. Ada lubang yang kian membesar di hatiku. Ini aneh. Perlu kuingatkan sekali lagi, dia bukan siapa-siapa bagiku.
Tapi kenapa rasanya begitu hancur?
"Ehm, Tay?" gumaman seseorang membuatku tersadar.
Aku mendongak, mataku langsung menatap kedalaman mata Abel. Bisa kurasakan pandangan ibanya. Aku benci itu. Tapi aku hanya bisa menggelengkan kepala. Rasanya sakit.
"Lo mau pulang?" tanya Abel, melirik rumahku yang sudah dekat.
Aku bergeming. "Kau sendiri?"
Hening.
"Terserah lo."
-Princess Series-
Hamparan rumput yang membentang luas menusuk retinaku. Bau sehabis hujan masih menyengat hidung. Lututku sedikit sakit begitu tersentuh rumput tersebut, jadi aku menekuknya. Punggungku bersandar pada pohon besar yang ada di puncak bukit kecil ini.
Abel di sampingku.
"Aku gak tau ada bukit di tengah-tengah Jakarta kayak gini." kataku datar.
"Ini... Axel yang tau."
Keheningan yang canggung langsung melingkupi.
"Tay."
"Apa?"
"Lo mau gak jadi..." Abel terdiam sebentar, sementara dahiku mengernyit heran. "Jadi sahabat gue?" tambahnya malu-malu.
Aku langsung duduk tegak, menatap Abel dengan heran, mulutku ternganga. "Bel? Kamu lagi gak gila kan?"
Abel menggeleng.
Aku menghela nafas dramatis, menatap ke depan lagi. Lalu memijit pangkal hidungku, "Abel, kamu gak inget sebutan kamu buat aku apaan?"
"Er... Emangnya apa?"
Senyum kecil tersungging di bibirku, "bola besar hidup."
"Ya maap."
"Dulu kamu juga pernah malu-maluin aku di depan umum."
Abel mulai terlihat salah tingkah, "gue juga minta maap," dia bergerak tak nyaman lalu mengerlingkan matanya padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
ST [1] - (Fat)e
Teen FictionDisclaimer: Cerita ini adalah cerita amatir yang memiliki banyak kekurangan. Harap dibaca dengan bijak :) --- Sisterhood-Tale [1] : Taylor Hana Anderson Setiap perempuan selalu menjadi putri yang menunggu pangeran sejatinya datang. Taylor percaya k...