Dan... Semua yang kukira akan terjadi sebenarnya sama sekali tidak terjadi hari itu. Vivian bahkan... Atau mungkin lupa padaku. Dia beken di sekolah dalam sekejap. Tapi tidak ada adegan lovey-dovey antara dia dan Axel.
Bagaimana bisa? Tanyaku dalam hati sambil mengambil bola basket oranye yang bertebaran di lapangan indoor. Tinggal beberapa orang yang juga membantu Mr. Snow membereskan lapangan yang tadi dipakai kelas kami. Dan aku. Secara menakjubkan. Mencari Axel. Dia tidak ada. Kuangkat bahuku, dia tidak penting.
"Sudah selesai?" tanya Tiffany yang baru keluar dari gudang penyimpanan peralatan olahraga. Aku mengambil bola oranye yang satu itu, "uhm... Yeah." Dengan susah payah aku mengangkut enam bola oranye sekaligus.
Tiffany mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Hanya tinggal kami berdua. Dia menghela nafas. "Sorry. But I have to go. Aku belum mengerjakan tugas matematika dari Mr. Brendan."
Aku memutar bola mata, "kau pintar tapi malas mengerjakan tugas."
Tiffany memberikan kunci gudang penyimpanan padaku, "daripada kau, mengerjakan tugas terus tapi otaknya tetap lemot." Dia menyeringai. Aku cemberut. Perkataannya selalu benar. "Nih kuncinya. Kalau sudah kau kasih ke Mr. Snow ya."
"Hem." Aku mengambil kunci tersebut menggunakan mulut karena tanganku penuh. Oh ya, kalau kau belum tahu, berat badanku berkurang 2 kg saat kemarin aku menimbangnya. Perubahannya tidak terlalu signifikan sih, tapi aku benar - benar senang. Pertama kalinya dalam hidupku, berat badanku berkurang bukan bertambah. Bertambah. Bertambah.
Aku berjalan menuju gudang. Kubuka pintu hitam tersebut menggunakan kaki. Setelah terbuka, aku celingak - celinguk. Kali saja ada maling atau makhluk pengganggu di sana. Aman. Aku bersiul sambil memasukkan bola basket dalam keranjang hitam yang besar.
Saat ingin membuka pintu untuk keluar dari gudang, helaan nafas teratur seseorang menghentikan semuanya. Aku menengok ke belakang. Mencari asal suara tersebut dengan kaki berjingkat. Hingga sudut gudang membuat perhatianku tertarik.
Di sana. Axel. Tertidur di matras. Seperti bayi. Bayi gorilla. Oke dia bukan bayi gorilla. Dia... Dia... Dia... Dia... Dia... Tampan.
Kutolehkan kepalaku ke kanan dan ke kiri. Tidak ada siapapun. Hanya kehehingan antara aku dan Axel. Aku tidak mempunyai ide apapun kenapa Axel tertidur di tempat seperti ini. Maksudku, dia sangat sangat sangat takut hantu kan? Gudang itu identik dengan hantu. Banyak sekali film horror yang ada adegan di gudangnya.
Jarang - jarang aku liat muka polosnya. Tanpa sadar aku menyeringai. Aku berjongkok di sampingnya. Memperhatikan wajahnya yang tertidur. HA-HA. Ternyata mukanya tidak seiblis yang aku duga.
Rambutnya yang berwarna cokelat itu berponi. Warna rambutnya kepirangan mungkin. Hidungnya mancung tanpa cacat sedikitpun. Baju olahraganya membalut sempurna tubuhnya... Yang atletis? Tidak tidak, dia triplek. Oke itu hanya salah satu alasanku yang tidak menerima kenyataan. Dia... atletis. Kuturunkan pandanganku dari hidungnya. Aku menelan ludah. Bibirnya berwarna merah muda. Sialan! Bahkan bibirku tidak semenarik itu. Kenapa dia punya segala yang tidak aku punya sih? Aku mulai mendumel dalam hati. Rasanya ingin kujambak rambut cokelatnya itu sampe dia botak.
"Udah puas muja wajah gue yang ganteng tak terkira ini?" tanya... Uhm siapa yang bertanya? Tapi suaranya milik Axel. Oh Axel yang bertanya.
Oh.
APA?! JADI DIA GAK TIDUR? Kurasakan darahku menaik, berkumpul di pipi.
"Aku gak muja wajah iblis kamu itu." elakku. Harga diriku tinggi. Enak saja.
Dia membuka sebelah matanya. Satu alisnya naik. Warna matanya cokelat. Astaga kenapa cowok iblis kutu kupret ini sangat amat amat tampan?
"Muka lo itu... Mesum, Tay. Lo kayak mau nerkam gue." Dia menyeringai.
KAMU SEDANG MEMBACA
ST [1] - (Fat)e
Teen FictionDisclaimer: Cerita ini adalah cerita amatir yang memiliki banyak kekurangan. Harap dibaca dengan bijak :) --- Sisterhood-Tale [1] : Taylor Hana Anderson Setiap perempuan selalu menjadi putri yang menunggu pangeran sejatinya datang. Taylor percaya k...