Mereka juga mulai memakai sepatu dengan ribut. Mereka lalu keluar lewat pintu utama sambil saling mendorong.
Aku menghela nafas, mereka memang gila. Maklumkan saja.
Pagi hari jam tiga pagi ternyata menyeramkan, masih gelap dan aku merasakan aura mistis yang tidak biasa. Oke, aku berlebihan. Tapi aku benar-benar tidak suka apapun jenis horror, catat itu baik - baik.
Kami berlari keliling komplek sambil bercanda-canda biasa. Yah, yang sering ngomong sih Mikayla atau Kiera.
"Taylor, waktu kamu nembak Abel, tuh, aku gak setuju loh. Itu tuh penghinaan dalam cinta," gerutu Kiera dengan nafas terengah karena masih berlari.
Uh, ini baru satu putaran dan aku sudah sangat lelah.
"Aku waktu itu gerak sendiri, aku juga sebenernya gak mau. Seakan aku, tuh, boneka kayu tau, gak. Digerak-gerakin sama orang yang gak keliatan," bantahku defensif sementara Keira manggut-manggut mengerti.
Lalu aku berhenti berlari, nafasku terengah dan aku menyeka peluh di pelipisku. Kedua tangan gendutku menumpu pada lutut. Keenam sahabatku ikut berhenti berlari, mereka menengok ke belakang tempat aku berhenti.
"Ayolah Tay! Semangat semangat!" ucap Mikayla sambil mengepalkan tangannya ke atas mirip pahlawan Indonesia.
"Tapi aku ch—capek banghet ..." kataku masih terengah-engah. Kadang aku bingung, kenapa mereka mau, ya, sahabatan sama cewek gendut seperti aku?
"Di putaran kelima kita istirahat, berjuang ya!" seru Ammabel dengan senyuman khasnya.
Aku mendongak, dan tanpa sengaja melihat mulut Tiffany berkomat-kamit. Lalu setelah dia menutup mulutnya aku merasa tubuhku lebih ringan. Aku tidak lagi menumpu pada kedua lutut, tapi aku berdiri tegak. Menaikkan alis, akhirnya aku pun berlari lagi bersama mereka.
"Kau aneh, tadi bilangnya capek. Tapi sekarang semangat banget," Danies mengerutkan dahi heran.
“Hm, gak tau deh,” aku mengangkat bahu dan meningkatkan tempo lari.
Ketika aku berlari, aku suka menyadari kakiku kokoh dan kuat seperti ini. Rasanya... aku bisa melakukan apapun. Seakan aku bisa melawan dunia.
Ammabel menepuk bahuku dan tersenyum kecil. Aku terkejut ketika tiba-tiba keenam sahabatku menghilang. Ke mana mereka semua? Awas saja kalau mengerjaiku!
“Kiera! Tiffany!”
“Ammabel! Mikayla!” aku berteriak sambil memutar badan gemukku.
“Danies! Car—“
“Berisik, woi, masih pagi udah teriak-teriak!” Potong seseorang. Mungkin dia salah satu tetanggaku yang terganggu tidurnya karena teriakan tadi.
“Maaf,” sesalku meski mungkin tak terdengar olehnya. Yah, yang penting sudah minta maaf, oke.
“Kemana, sih, mereka?” gerutuku pelan sambil mencoba berjalan hati-hati.
Oke, aku mulai takut tanpa alasan, ini persis seperti film-film horror. Oh, bisa saja aku seperti anak yang ada di Insidious. Mungkin saja ini mimpi! Tetangga tadi bisa saja ... Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Langit berwarna biru neon dan lampu-lampu di teras rumah menyala redup sepanjang jalan. Embun yang menyentuh lembut tengkuk sedikit membuatku berjengit.
Aku jadi ingat lagu Acha Septriasa. Kalau tak salah, judulnya Embun Di Pagi Buta, mungkin. Aku hanya hafal liriknya sebagian.
Embun di pagi buta...
Menebarkan bau asa...
Detik demi detik ku...hitung.
Inikah saatnya kupergi...
Oh tuhan kucinta di—
Ya, ya, aku tahu! Aku hanya mengalihkan topik. Jangan pandang aku seperti itu.
Akhirnya aku kembali berlari dengan perasaan jengkel. Lagipula, aku harus kurus untuk Abel. Hingga sampai dua menit berlalu, mataku membelalak terkejut. Tepat di depan, hanya berjarak 5 meter dariku. Aku melihat Abel yang juga memakai baju jogging dibalik embun pagi buta. Tampaknya dia sedang beristirahat karena Abel duduk di trotoar. Tangannya menyeka keringat di pelipis dengan saputangan.
Aku mulai berjalan dengan kaki gemetar. Sudah dua kali aku berhadapan dengannya sedekat ini. Wajahnya benar-benar we o we dan bercahaya.
Lalu, duniaku seakan jatuh ke bawah. Pandanganku hanya bisa melihat sepatu adidasnya yang mengkilap. Kedua lututku sakit karena tergesek aspal. Ternyata aku jatuh tersandung kerikil.
Aku melihat sepatu itu berjalan, mendekat ... lalu berhenti nyaris di depan mataku. Begitu aku mendongakkan kepala, mataku mengerjap saat pandangan kami bertemu.
“Lo gak apa-apa?” tanyanya sambil nyengir.
Dia—tidak mungkin! Kita berbicara tentang Abel, loh. Tidak mungkin, dia tidak menampilkan senyum iblisnya padaku.
Jangan tanya kenapa aku jadi suka padanya.
“Gue tanya, lo gak apa-apa? Kok malah bengong?” tanya Abel lagi dengan mulut berkedut seperti menahan tawa.
Aku mendengus, lalu berdiri dengan mudah. Sekarang, aku sama saja dengan badut gagal. Aku melotot pada Abel yang malah tertawa.
“Kenapa ketawa?” tanyaku ketus.
“Lo ... lo lucu kayak badut!” jawabnya ngocol.
Cahaya remang-remang dari lampu perumahan membuat wajah Abel tersamarkan. Aku menggeram jengkel dan berlalu dari hadapannya. Jika saja bisa, aku ingin menonjok wajah cakepnya itu. Uh, jangan, deh. Lupakan perkataanku barusan.
Aku masih cinta setengah mati padanya.
“He—hei Taylor!”
Dia menyebut namaku! Ini bukan mimpi ‘kan? Ah, apa mungkin ini mimpi? Atau ini sequel film Insidious? Atau ini acara reality show?
Pikiranku mulai ngawur.
“Apa?” tanyaku sambil menaikkan satu alis, menengok ke arah Abel.
Entah kenapa, aku merasa Carmen dan lainnya sedang terkikik di semak-semak. Oh, tidak. Mereka memang lagi asik menertawakanku.
“Lo biasa jogging kayak gini, tapi tetep gembrot?” dia bertanya di sela-sela tawanya yang sulit dihentikan.
Ini... ini... MENYEBALKAN!
KAMU SEDANG MEMBACA
ST [1] - (Fat)e
Fiksi RemajaDisclaimer: Cerita ini adalah cerita amatir yang memiliki banyak kekurangan. Harap dibaca dengan bijak :) --- Sisterhood-Tale [1] : Taylor Hana Anderson Setiap perempuan selalu menjadi putri yang menunggu pangeran sejatinya datang. Taylor percaya k...